Kekuasaan dan Anasir Budaya: Mendamba yang Hening, Menjauh yang Gaduh
Mereka meninggalkan kegaduhan, melepaskan tahta, memilih menjadi sudra, bergaul kembali dengan masyarakat biasa, bertapa dan kemudian moksa, hilang tak berbekas.
Etnomusikolog, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Mereka meninggalkan kegaduhan, melepaskan tahta, memilih menjadi sudra, bergaul kembali dengan masyarakat biasa, bertapa dan kemudian moksa, hilang tak berbekas.
Seniman-seniman tradisi memang mulai banyak beradu keuntungan di jagat digital, tapi ekstase yang didapat adalah berupa katarsis berpentas, bukan keuntungan finansial.
Wayang sinematik telah berhasil menjadi sajian baru yang layak diapresiasi. Setidaknya, menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gersang dan jemunya pertunjukan wayang pada umumnya.
Dicaci tetapi tetap dinikmati. Gerakan mencintai “keanehan” sebenarnya telah berusia lampau, di kala ukuran estetika seni dianggap mengalami kemandegan.
Seringkali tokoh-tokoh pewayangan yang dianggap sakral dan berwibawa, seperti Bima atau Krisna, justru membawakan peran yang menghibur lewat aneka lelucon.
Kini, tatkala dunia dilanda wabah, kita mulai merenungkan kembali manfaat "padasan". Warisan budaya leluhur yang nyaris ditinggalkan.
Tanpa musik dari sekelompok pemuda kala sahur, kita kehilangan apa yang disebut “nuansa Ramadan”.
Di liminasa media sosial, hampir semua seniman mengeluh (menjerit) sebab pelbagai pembatalan kontrak yang didapatnya.
Ritual tolak-bala semakin kehilangan eksistensi, tak banyak dihadirkan karena dianggap sudah tak selaras pula dengan zamannya.