Etnis.id - Ramadan telah datang. Di balik pembatasan sosial akibat virus corona atau Covid-19, di bulan ini kita masih bisa melihat berbagai macam bentuk ekspresi kreatif yang muncul dari masyarakat, terutama dalam konteks musik.

Di liminasa media sosial, banyak dijumpai video sekelompok pemuda (dengan menjaga jarak dan menggunakan masker) yang kreatif membangunkan sahur dengan membunyikan pelbagai alat musik alternatif, bersama teks lirik yang tidak saja menghibur, tapi juga kocak hingga membuat pendengarnya tertawa terpingkal-pingkal. Instrumen musik yang digunakan seringkali berasal dari galon air mineral, panci, ember, dandang, besi bekas dan sejenisnya.

Tradisi membangunkan sahur tetap bertahan, kendati perangkat teknologi telah mengontrol rutinitas laku hidup manusia. Jam weker ataupun alarm ponsel barangkali mampu membangunkan manusia dari tidur, namun tanpa musik dari
sekelompok pemuda kala sahur, kita kehilangan apa yang disebut “nuansa Ramadan”.

Makanya musik sahur tidak saja berupaya mencetak bunyi, namun juga mengekalkan pentingnya rangkaian ritus puasa di negeri ini. Terlebih jika itu adalah musik tradisi.

Tradisi

Tradisi membangunkan sahur kala Ramadan berkembang menjadi berbagai macam ekspresi musik di banyak daerah di Indonesia. Di wilayah Madura, teradapat musik patrol, secara khusus dibunyikan kala bulan puasa.

Musik itu terdiri dari beberapa instrumen yang terbuat dari kayu, seperti kentongan dengan berbagai ukuran, dug-dug, serta khol-khol. Bahkan saat Ramadan, banyak lomba patrol digelar, merebutkan hadiah yang tidak sedikit. Para peserta beradu kreatif, membentuk musik seindah mungkin, dan yang lebih penting mampu membangunkan seseorang dari tidurnya.

Tentu saja membangunkan orang dari tidur itu mudah, cukup membuat kegaduhan bunyi sekecang-kecangnya. Tapi dalam konteks musik patrol, orang yang terbangun diharap tidak dalam keadaan kesal atau marah karena kaget, tapi larut menikmati keindahan suguhan bunyi musik yang dibawakan.

Nama-nama tradisi membangunkan sahur juga beragam. Di Majalengka dan daerah pantai utara Jawa, disebut komprekan atau ngomprek. Sementara di Gorontalo disebut tumbilotohe. Warga Betawi menyebutnya dengan ngarak bedug (memakai instrumen bedug).

Di Kalimantan Selatan disebut dengan badarakan. Sebagian daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebutnya kotekan atau tektekan. Di Cirebon disebut ubrok-ubrok. Di Salatiga dengan percalan. Semuanya bertujuan sama, dan tentu saja, selain menggunakan alat-alat yang sederhana, adakalanya lagu-lagu tradisi dan pop juga disenandungkan.

Dengan bahasa dan nada-nada yang khas dari daerah terkait seperti di Banyuwangi, tradisi membangunkan sahur diikuti dengan menyenandungkan lagu-lagu kendang kempulan serta memainkan instrumen musik kuntulan dan jidor.

Hal yang lebih penting adalah pertemuan antartubuh manusia. Anak-anak yang saban hari menjadi soliter, sibuk bermain gim online, berlama-lama menyendiri di kamar, kemudian bertemu dan berkomunikasi dengan teman sebayanya. Seringkali mereka tidak tidur di rumah, tapi di masjid, surau atau musala.

Sebelum berkeliling membangunkan masyarakat kampung, mereka berlatih terlebih dahulu, membentuk pola-pola perkusif sederhana, mencari harmoni antarsatu instrumen, berdiskusi dan kemudian diambil kesepakatan.

Lewat musik sahur, mereka diajarkan tentang kerjasama, berkomunikasi dan saling memahami. Dan lebih utama, tradisi itu senantiasa menuntut kebahagiaan, canda, dan tawa yang riang. Masjid atau surau tidak semata menjadi tempat beribadah, namun ruang sosial bagi mereka.

Menjadi semacam titik penting, sebuah siklus, tentang pawai membangunkan sahur harus diawali dan diakhiri. Bagi anak-anak, lewat musik sahur, Ramadan hadir dengan penuh kegembiraan.

Ramai-ramai membangunkan orang tidur barangkali hanya persoalan yang biasa, tapi ingatan tentangnya akan dibawa hingga mereka dewasa. Kala hidup di rantau, pengisahan tentang masa kanak-kanak menjadi peristiwa yang tidak saja dikenang, tapi juga dirindukan.

Musik sahur tidak melulu berbicara tentang bunyi atau suara, tapi juga kearifan lokal. Berkat kegiatan itu, anak-anak dikenalkan dengan musik-musik tradisi (perkusif), menumbuhkan semangat untuk terus menjaga agar detaknya tidak mati.

Gelaran-gelaran lomba dan festival musik sahur bermunculan, menandakan bahwa Ramadan selalu dinanti. musik sahur menuntut kreativitas. Mereka yang sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan dunia musik, lalu dituntut menjadi pemain dengan daya kreatif semampunya.

Hasil karya itu kemudian dinikmati dan tentu saja diapresiasi dengan baik oleh publik. Bunyi musik di kala sahur menandakan tentang suara masyarakat akar rumput. Lewat musik sahur, mereka menjadi aktor atas dirinya sendiri.

Tidak ada yang membayar atas aktivitas itu, semata dilakukan dengan penuh ketulusan dan keiklasan tanpa mengharap pamrih berlebih. Sayangnya peristiwa yang idealnya digunakan sebagai ajang silaturahmi sosial-kultural itu, seringkali menjadi tidak produktif bila tidak diikuti dengan empati dan kearifan diri.

Banyak kekerasan-tawuran-vandalisme yang terjadi di sahur keliling, pertikaian antarpemuda kampung hanya karena persoalan yang remeh-temeh. Musik harusnya menyatukan, bukan sebaliknya.

Walau demikian, saat sahur nanti, barangkali akan ada suara musik yang melintas di depan rumah Anda. Suaranya mungkin sesekali terkesan sumbang atau fals, temponya tidak teratur bahkan sering salah dan meleset. Musiknya tak indah, tapi menyimpan makna yang dalam.

Sesekali, coba lihatlah wajah-wajah mereka, anak-anak itu, hadir dengan penuh keriangan. Semata agar kita bangun dan mampu menjalani puasa dengan hati yang damai. Bahkan dalam kondisi mawas diri akibat virus seperti saat ini.

Editor: Almaliki