Etnis.id - Bukan sesuatu yang mustahil jika pertarungan hidup dan mati yang terjadi di masa lampau, dialami kembali oleh kita saat ini. Sebab sesuatu yang dianggap usang, bukan berarti telah kehilangan persambungan dengan masa sekarang.

Ada pula hal-hal yang tak dapat diringkus oleh logika, seperti suku Kaili yang menandai daerah rawan bencana lewat penamaan tempat, orang-orang Simeulue yang tetap setia melestarikan tradisi lisan sebagai langkah mitigasi bencana, hingga tradisi ruwatan yang kembali digelar guna memulihkan kosmos ke keadaan semula.

Jejak petaka masa lampau

Pada akhir masa tanggap darurat bencana Palu dan Donggala, Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis data korban sebanyak lebih dari 4000 jiwa. Sebagian besar diperkirakan tertimpa reruntuhan saat gempa bumi, sedangkan yang hilang tak teridentifikasi, diduga tersapu gelombang tsunami.

Tak kurang dari 110 ribu unit rumah pun mengalami kerusakan. Di antaranya, berasal dari kawasan Petobo, Jono Oge dan Balaroa yang amblas akibat fenomena pembuburan tanah atau likuifaksi.

Beberapa waktu sebelum gempa bumi berkekuatan 7.7 skala richter mengguncang Kota Palu, tim ekspedisi Palu-Koro yang diketuai oleh Tri Nirmala Ningrum baru saja merampungkan penelitian terkait ancaman bencana di Kota Palu.

Mereka melakukan strategi mitigasi dalam bentuk film dokumenter, namun rencana yang ia gagas belum sempat terrealisasi. Respon pemerintah setempat pun terbilang ala kadarnya. Hal-hal seperti ini memang rentan disalahartikan. Kepanikan masyarakat dan kekacauan iklim investasi masih menjadi pertimbangan utama.

Sepekan pasca bencana, tepatnya bulan Oktober 2018, saya bergabung ke dalam barisan relawan. Di lokasi, saya mendapati kisah tentang asal-usul penamaan (toponimi) Balaroa tengah diperbincangkan di sana-sini. Termasuk ketika saya menghadiri pertemuan di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Kota Palu.

Perjumpaan dengan beberapa ahli geologi petang itu, membukakan mata saya ihwal keterkaitan toponimi suatu daerah dengan jejak petaka di masa lalu. Sebab gempa dan tsunami senyatanya adalah dua peristiwa alam yang cukup dekat dengan keseharian masyarakat Palu.

Secara geografis, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah itu berada dalam jalur patahan (sesar) aktif yang membentang dari utara ke selatan, Teluk Palu hingga Lembah Koro, bahkan hingga ke Sesar Matano di bagian Timur. Keadaaan itulah yang membuat kota yang dijuluki Mutiara khatulistiwa itu harus berdamai dengan status kegempaan yang cukup tinggi.

Di tengah ancaman bencana begitu rupa, tidaklah mengherankan jika leluhur Suku Kaili, penduduk asli Palu, menandai wilayah berbahaya berdasarkan riwayat bencana yang pernah terjadi di daerah tersebut.

Untuk menyelamatkan anak-cucunya, Suku Kaili juga mewariskan petunjuk mitigasi lewat penuturan tradisi lisan. Di antaranya, hikayat Tagari Lonjo yang kembali digaungkan selepas bencana. Tawarik ini berkisah tentang daerah rawan bencana di jalur perlintasan menuju Pasar Tua Bambaru.

Alkisah, kerbau milik Raja Palu menghilang di sumur bagian Timur Lonjo yang berada tak jauh dari Tonggo Maggau, tempat para pengangon menggembalakan hewan-hewan ternaknya.

Sumur itu digambarkan sebagai puse ntasi. Menurut penuturan warga, ketinggian air di sumur air asin puse ntasi dipengaruhi oleh pasang-surut air di Teluk Palu. Di bawah permukaan tanah, tampaknya ada saluran yang terhubung dengan lautan.

Dalam kamus Kaili-Ledo, puse ntasi adalah pusat laut. Beberapa saksi mata bertutur tentang hewan-hewan ternak yang ditemukan di Teluk Palu selepas tenggelam di puse ntasi. Lokasi inilah yang kelak, seiring pembangunan dan tata kelola lahan, dikenal sebagai Perumnas Balaroa—kawasan yang bersalin rupa menjadi kuburan massal saat diterjang likuifaksi.

Ironisnya, tak lagi banyak yang memaknai istilah Balaroa sebagai sebuah petunjuk. Padahal, catatan sejarah menunjukkan adanya suatu keadaan darurat di wilayah tersebut. Balaroa bukan semata-mata padanan dua suku kata, bukan pula sekedar dinamai tanpa arti—melainkan pengalaman nenek moyang masyarakat Palu terkait realitas geologis yang melingkupi.

Smong dan Simeulue

Ketika Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diguncang gempa berekuatan 9,3 skala richter pada 26 Desember 2004, Simeulue yang berada cukup dekat dengan episentrum gempa hanya melaporkan 3 orang korban jiwa dari total 70000 penduduknya.

26 Desember 2004, pukul 07.59 WIB, gempa dahsyat menerjang Serambi Mekkah. Disusul gelombang setinggi tiga puluh meter berkecepatan 360 kilometer per jam. Menewaskan ribuan orang di Banda Aceh dan Meulaboh. Pertanyaan besar terlintas di dalam benak. Apa yang dilakukan penduduk Simeulue hingga bernasib mujur pada peristiwa itu?

Tahun 2016, saya bertolak ke Simeulue untuk meneliti fenomena tersebut. Hasil penelitian itulah yang kelak saya terjemahkan ke dalam sebuah karya tari berjudul “Untold Story of Smong”: sebuah pertunjukan tari yang menggambarkan obsesi manusia terhadap tragedi, sekaligus menjabarkan realitas negeri cincin api yang harus mewaspadai sederet ancaman bencana.

Setelah menempuh delapan jam perjalanan menggunakan kapal ferry dari Labuhan Haji, Aceh Selatan, akhirnya saya tiba Sinabang, ibukota Kabupaten Simeulue. Masih terjadi keriuhan di jalan-jalan sore itu. Sejumlah pedagang masih menjajakan kuliner khas Serambi Mekkah, di saat beberapa orang lainnya tampak bergegas memasuki surau, hendak menunaikan salat Magrib berjemaah.

Selain pesona alamnya yang memikat, ombak Simeulue juga digandrungi oleh para peselancar. Namun siapa sangka, di kemudian hari, gulungan ombak itu berubah menjadi gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daratan Simeulue.

Sepekan terlewati, pertemuan demi pertemuan pun terlakoni, hingga akhirnya saya berkesempatan mewawancarai pejabat daerah setempat. Katanya, “orang Aceh akrab dengan tradisi tutur. Di Simeulue, tradisi itu bernama Nandong. Dibawakan di berbagai kesempatan untuk menyampaikan pesan nenek moyang kita tentang bencana Linon dan Smong,” ujar Hasrul Edyar, Wakil Bupati Simeulue periode 2012-2017 saat dijumpai di sela-sela kesibukannya.

Mewawancarai Hasrul Edyar, Wakil Bupati Simeulue 2016/Etnis/Nadya Gadzali

Smong yang dalam bahasa lokal Simeulue berarti ‘tsunami’, menjelma primadona sastra lisan yang dibawakan sebagai dongeng pengantar tidur bagi kanak-kanak. Bahkan, Smong masih menjadi tema hangat yang diperbincangkan di kedai-kedai kopi hingga saat ini.

Hikayat ini diterjemahkan dari pengalaman para penyintas bencana tsunami 1907 yang diceritakan ulang dari generasi ke generasi, hingga akhirnya tercerap sebagai ingatan kolektif.

Berikut ini adalah petikan syair Smong yang saya sadur ke dalam visual gerak (pertunjukan tari) sesuai yang tertera di foto utama:

Enggel mon sao curito
Inang maso semonan
Manoknop sao fano
Uwi lah da sesewan
Unen ne alek linon
Fesang bakat ne mali
Manoknop sao hampong
Tibo-tibo mawi
Anga linon ne mali
Uwek suruik sahuli
Maheya mihawali
Fano me singa tenggi
Ede smong kahanne
Turiang da nenekta
Miredem teher ere
Pesan dan navi da

Artinya

Dengarlah sebuah cerita. Pada zaman dahulu kala. Tenggelam satu desa. Begitulah yang dikisahkan. Diawali oleh gempa. Disusul ombak yang sangat besar. Menenggelamkan seluruh negeri. Tiba-tiba saja. Gempanya berguncang kuat. Disusul air yang surut. Segeralah cari. Daratan yang lebih tinggi. Itulah smong namanya. Sejarah nenek moyang kita. Ingatlah ini betul-betul. Pesan dan nasihatnya.

Melalui syair ini, gempa yang dikenal dengan istilah linon oleh masyarakat Simeulue menjadi tolak ukur adanya bencana susulan dalam bentuk gelombang tsunami, sekaligus membuktikan bahwa pengetahuan lokal dapat berperan sebagai instrumen yang menumbuhkan kesadaran mitigasi.

Selain rupa-rupa pertanda yang disebutkan di dalam Hikayat Smong, sebuah teori menyebutkan bahwa hewan-hewan tertentu mampu mendeteksi aktivitas praseismik melalui sensor elektromagnet yang menangkap frekuensi pergeseran lempeng bumi.

Aelianus adalah seorang Romawi yang pernah memerhatikan ketajaman insting hewan dalam menangkap isyarat alam. Ia pernah membuat catatan penting ihwal keterkaitan hancurnya Helike, Kota Yunani Kuno—dengan fenomena hewan-hewan pengerat seperti tikus dan tupai yang berhamburan menjauhi pusat kota menjelang gempa bumi pada musim dingin 373 SM.

Sama halnya dengan orang-orang Jepang yang memprediksi datangnya tsunami melalui kemunculan Oarfish. Spesies hewan laut dalam itu ditemukan terdampar di pinggir pantai menjelang mega-tsunami 25 Maret 2011 yang melanda perfektur Miyagi. Bencana yang didahului oleh gempa bermagnitudo 9,0 itu menelan korban jiwa sebanyak 16.000 orang dan membuat reaktor nuklir di Fukushima rusak parah.

Hal serupa juga terjadi di Simeulue. Sebelum bencana besar memorakporandakan daratan, beberapa peternak mendapati tingkah laku yang tak biasa dari hewan-hewan ternaknya. Hal ini diperkuat oleh teori Roger Musson tentang kemungkinan bahwa hewan memang dapat mendeteksi gempa lewat getaran.

Meski begitu, dilansir dari platform berita Live Science, Musson juga berpendapat bahwa perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk memastikan keterkaitan antara sensitivitas indera yang dimiliki hewan dengan pertanda datangnya bencana.

Wabah dan aneka ritus penolak bala

Belum lagi tuntas berbenah akibat bencana alam, Ibu Pertiwi kembali dirundung kesedihan dengan merebaknya wabah virus korona. Seakan belum cukup diterpa kemalangan lewat seri bencana alam yang terjadi pada tiga warsa terakhir (Gempa Lombok, Tsunami Palu dan Tsunami Banten), kini tanah air dirundung pandemi COVID-19.

Sejak melaporkan kasus pertamanya pada tanggal 2 Maret 2020, masyarakat Indonesia semakin resah dengan fatalitas penularan yang begitu cepat. Rupa-rupa imbauan digiatkan guna memutus rantai penyebaran virus. Mulai dari penjarakkan sosial, penggunaan masker, hingga membudayakan kembali ramuan tradisional yang belakangan ini populer dengan istilah "empon-empon".

Dengan mengindahkan pembatasan sosial tertentu, sejumlah kelompok etnis di Nusantara pun melakukan hal serupa. Sebut saja suku Rejang di Bengkulu yang menggelar ritus Kedurai, masyarakat Papua Barat yang menjalani ritual Tah Was, hingga ritual membunyikan Canang yang digiatkan kembali oleh orang-orang Kerinci sebagai bagian dari ritus tolak bala.

Situasi kritis ini agaknya menjadi momentum yang tepat untuk kembali pada kosa tradisi yang kita miliki. Dengan begitu, kita tersadar, bahwa sejatinya alam tak membinasakan. Alam hanya memulai babak baru untuk menekan hasrat penghambaan manusia pada hal-hal yang selama ini dipandang sebagai target kemenangan.

Editor: Almaliki