Pada periode-periode sebelumnya, sejarah mencatatkan bahwasanya praktik seni mural muncul sebagai sikap kritis terhadap kondisi sosial kemanusiaan. Sebagaimana mural berjudul Guernica, karya muralis Pablo Picasso yang menggambarkan kritik peristiwa politik dan peperangan rakyat sipil di Spanyol pada tahun 1937. Mural menjadi medium manusia untuk merenungi arti sebuah kedamaian dan ketentraman.

Lain daripada Picasso, mural juga diekspresikan untuk menyampaikan kritik terhadap krisis perubahan iklim. Seperti pada karya Eduard Kobra, seorang muralis asal Brazil dengan lukisannya yang menggambarkan seekor beruang kutub sedang terkepung di lautan api. Karya itu menuntun nurani manusia untuk peduli dan menjaga kelestarian alam.

Sebagai seni publik, mural di Indonesia juga memuat pesan-pesan kritik bernuansa kearifan lokal. Eksistensi seni mural di Indonesia sendiri kian sporadis, mewarnai tembok-tembok bangunan di tengah hiruk-pikuk ramainya kota. Seperti yang dapat kita lihat di beberapa sudut kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Solo. Mural tak hanya membabar kesan keindahan visual yang mendukung landmark kota. Namun, kehadirannya mampu menghidupkan kembali memori di dalam kepala kita atas peristiwa bersejarah di masa lalu.

Sebagai salah satu episentrum kota budaya, Solo adalah salah satu contoh fenomena shared host culture, di mana esensi kebudayaan lokal menjadi sumber inspirasi dalam mempertahankan identitas kultural, cermin semangat egaliter, kotraktual, dan menjadi ruang transaksional bagi perjumpaan ragam kebudayaan. Secara inklusif, mural di Solo menjadi salah satu contoh seni lukis kontemporer beraura kebudayaan lokal Jawa yang mampu membangkitkan memori kolektif, menjadi medium untuk menumbuhkan sense of place dan sense of belonging bagi wisatawan yang menikmatinya.

Pergerakan Mural Solo

Kehadiran seni mural di Solo tak lepas dari peranan dan ide kreatif Choirul Hidayat, seorang muralis sekaligus Direktur Soloissolo, menginisiasi wajah tata kota dan perkampungan menjadi lebih kaya warna. Irul konsisten melakukan praktik menggambar mural sejak 2016. Sebagai akademisi seni, ia sadar bahwa menciptakan karya-karya mural di ruang publik membutuhkan pendekatan dan dialog, sehingga tujuan kegiatannya mendapatkan feedback positif dari warga sekitar.

Mural yang diciptakan Irul berkonsep seni berdampak. Pada tahun 2017, ia melakukan sebuah gebrakan seni rupa bertajuk “Festival Mural Solo Is Solo” dengan melibatkan 40an grup mural dan 100 lebih muralis yang melukis pada objek gambar di pintu-pintu pertokoan sepanjang koridor Jalan Gatot Subroto (baca:Gatsu), Solo.

Kegiatan tersebut sekaligus bentuk kolaborasi antara seniman, warga setempat, dan Pemerintah Kota Surakarta sebagai bentuk rekonsiliasi sosial atas Peristiwa 1998 di kawasan tersebut. Hasilnya, berbagai mural yang kaya makna terpampang di gang-gang Kampung Kemlayan dan di sepanjang koridor Jalan Gatot Subroto, Solo.

Program itu akhirnya semakin bertumbuh menjadi sebuah gerakan sosial, hingga pada tahun 2018 kembali digelar dengan tajuk Solo is Solo is Street Art sebagai ruang interdisipliner penciptaan karya seni untuk beinteraksi langsung di ruang publik yang melahirkan beragam segmentasi seperti art market, art performing, street dance, street music, art multimedia show.

Apresiasi yang tinggi dari masyarakat membuat pemerintah kembali merevitalisasi kawasan ini menjadi lebih estetik. Pada tahun 2022 digelarlah Solo is Solo #3 Revitalize, dengan melibatkan lebih dari 100 muralis Solo dan sekitarnya untuk mencipta dan memperbarui karya mural sebelumnya.

Sebagai misi pemberdayaan ruang publik kreatif yang konsisten, ekspresi mural di Solo menampilkan artistika seni dan daily aesthetic dengan tajuk Solo is Solo Street Art Market di setiap weekend. Kini Solo is Solo ini telah menjadi landmark budaya Solo dan berkembang menjadi komunitas kreatif yang semakin besar.

Sense of Place

Adanya lukisan mural pada objek-objek publik di kawasan Gatsu, Solo, secara esensial dapat memperkenalkan kembali kepada generasi penerus tentang muatan kebudayaan lokal, sejarah, tradisi, dan pendidikan dari bangsa ini.

Berkaca dari mural yang ada di Solo tentang sense of place, Kevin Lynch menyatakan bahwa sebuah citra mental memiliki peran dalam identitas yang kuat terhadap suatu tempat, menghadirkan rasa nyaman, dan mengintegrasikan pengalaman visual pengunjung dengan tempat lainnya.

Seni mural menjembatani interaksi sosial antara manusia dengan lingkungannya, mengakomodasi ekspektasi wisatawan, mempertahankan kekayaan budaya lokal, dan memperkaya pengalaman wisatawan ketika berkunjung ke Solo.

Rekreasi visual yang memanjakan mata itu dapat dilihat pada mural di tembok-tembok perkampungan Kemlayan yang bergenre realis wajah sang maestro besar Gesang Martohartono, pencipta lagu Bengawan Solo yang dilukis lengkap dengan perahu kayu. Ada juga lukisan mural W.R. Supratman yang sedang memainkan violinnya, Nartosabdo yang tersenyum memakai blangkon gaya Surakarta sedang memegang kendang Jawa.

Visualisasi Mural Tokoh yang Mengingatkan Kembali Dinamika Peradaban Bangsa/ Foto: M. Fajar Putranto

Selain itu, ada juga mural dengan lukisan sosok terkenal seperti Ranggawarsita, Didi Kempot, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, hingga Wiji Tukul. Visualisasi mural dari masing-masing tokoh itu menumbuhkan kembali ingatan sejarah panjang tentang berbagai peristiwa penting dalam dinamika peradaban bangsa ini.

Mural Didi Kempot di Jalan Gatsu Solo/Foto: M. Fajar Putranto

Setiap panel mural yang tergambar pada tembok maupun pintu toko di sepanjang koridor jalan Gatsu Solo juga memiliki keunikan dan korelasinya masing-masing dengan budaya Jawa. Konsep seni mural yang diciptakan oleh Irul dan komunitas muralis Solo itu menghadirkan unsur budaya tradisional dengan bergaya kekinian, satire, lucu, dan sesuai jiwa zaman.

Gambar-gambar mural tersebut di antaranya terdapat pada toko jam bergambar sosok Peter Henlein, tokoh penemu jam tangan pertama di dunia. Namun, pada lukisan mural Henlein diekspresikan berkostum lurik Jawa.

Mural Monalisa Menggendong Sekeranjang Botol Jamu/ Foto: M. Fajar Putranto

Begitu pula di salah satu toko jamu tradisional, pada pintu toko itu bergambar tokoh Monalisa yang berpose sedang menggendong sekeranjang botol jamu. Pada toko tekstil juga dilukis mural dengan sosok Nyai Roro Kidul yang sedang membentangkan kain jariknya. Lukisan-lukisan mural itu selain menghadirkan citra estetik yang berkaitan langsung dengan jenis usaha mereka, juga memberikan ciri otentik pada masing-masing tokonya.

Dengan demikian konsep sense of place melalui karya seni mural di Solo sangat mempengaruhi terciptanya suatu public space. Selain itu, dampak positifnya adalah kini koridor Gatsu tumbuh menjadi ruang publik berbagai kegiatan pasar kreatif produk lokal generasi muda, menjadi ruang untuk berekspresi dan berapreasiasi seni. Mural memediumisasi potensi besar di bidang ekonomi dalam menghidupkan sendi-sendi ekonomi masyarakat sekitar.

Sense of Belonging

Sejalan dengan perkembangan di era digitalisasi ini, masyarakat sangat menyadari kebutuhan eksistensi dan aktualisasi diri. Karya-karya mural yang ada di sepanjang jalan koridor Gatsu bak magnet yang menarik perhatian publik wisatawan untuk mengabadikannya sebagai ruang pamer diri di media sosial. Dengan demikian, seni mural telah menciptakan pula arena psikis yang berorientasi pada munculnya sense of belonging.

Hagerty & Patusky (1995) mendefinisikan sense of belonging (rasa memiliki) sebagai bagian dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga individu dapat merasakan bahwa dirinya adalah bagian integral dari lingkungannya. Dalam konteks ini, mural menjadi bagian yang memantik tumbuhnya suatu perasaan bangga dan kesadaran rasa memiliki akan budaya lokal yang kaya. Sedangkan saat ini bangsa kita masih memiliki kecanggungan-kecanggungan untuk bersikap ‘lokal’.

Namun faktanya, banyak dari generasi muda bangga terhadap tren influencer daripada menyelami karisma tokoh seni maupun kekayaan budaya negeri sendiri. Artinya, pengetahuan kebudayaan pada generasi sekarang mengalami degradasi, sehingga mereka tidak tahu betapa luar biasanya nilai-nilai kearifan budaya lokal yang diwariskan pada bangsa ini. Hal itu menjadi parameter bahwa rasa cinta terhadap budaya sendiri hanya sampai di lisan saja dan belum tercermin pada sikap. Oleh karenanya, kehadiran mural di Solo setidaknya menjadi pemantik mental generasi muda untuk kembali ngugemi nilai-nilai kearifan lokal untuk kembali terhubung dengan akar mereka dan memahami identitas budaya mereka.

Penyunting: Nadya Gadzali