Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp kembali menggelar Bandung Dance Meeting (BADAMI) pada Jumat (28/6) di Ruang Gugum Gumbira, Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung.
Dalam program dwibulanan volume ketiga itu, tiba giliran Densiel P. Lebang, koreografer dan pekerja budaya kelahiran Bulukumba-Sulawesi Selatan mempresentasikan karya tumbuhnya yang diberi tajuk persis sama dengan nama ritual rasa syukur masyarakat Toraja, Ma’bua’.
BADAMI Vol. 03 didukung oleh Dana Indonesiana dan merupakan kerja sama antara Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp dengan Prodi Studi Humanitas (Integrated Arts) Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, ARS TV dari ARS University Bandung, Institut Seni Budaya Indonesia (Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISBI), Himpunan Mahasiswa Tari (HIMATA), dan Obah Dance Laboratory.
Berangkat dari karya Densiel, Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp mengambil tajuk “Mengapa Ma’bua’: Horison, Utopia Seni, dan Ritus” untuk mengungkap esensi dan poros imajiner yang tercipta dari tegangan antara Densiel sebagai subjek dan kebudayaan sebagai objek.
Ketertarikan Densiel mengulik tema-tema yang berkaitan dengan kompleksitas relasi urban dan rural (pedesaan), membawanya pada temuan-temuan berupa kode kultural dan beragam konteks sebagai pijakan untuk mencari berbagai pendekatan dan artikulasi artistik, termasuk kode kultural dan konteks yang terdapat pada ritual Ma’bua’.
Riset artistik yang dilakukan Densiel berjangkar pada pengertian ma’bua secara harfiah, yang dalam bahasa lokal diartikan dengan ‘berbuat’. Melalui karyanya, ia menafsir ulang simbol-simbol yang muncul dalam ritual Ma’bua’ dengan melihat bagaimana dirinya sendiri ma’bua’ (berbuat).
Dengan mengkaji perubahan-perubahan sebelum dan sesudah ritual, seniman yang menamatkan studi pascasarjana di Program Seni Urban Institut Kesenian Jakarta itu memperoleh gambaran bahwa ma'bua’ merupakan prasyarat, perbuatan, atau metode ruang liminal untuk mencapai kesuburan.
Densiel mendapati bahwa praktik ritual Ma’bua’ merupakan ruang transisi yang menunjukkan adanya perilaku dua kali, terkodekan, dan dapat ditularkan. Dalam kapasitasnya sebagai seniman, ia menerjemahkan Ma’bua’ ke dalam pertunjukan dengan melihat bahwa pengertian performance merupakan hasil dari interaksi ritual dan permainan.
Bukan tanpa alasan jika istilah permainan Densiel lekatkan pada Ma’bua’. Pasalnya, ia melihat bahwa teknologi dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan kode-kode kultural yang ia peroleh dari ritual Ma’bua’; mengantarkan audiens pada ‘ruang antara’ yang ia kemas melalui pertunjukan tari dan video ritual Ma’bua’ yang ditampilkan dalam waktu bersamaan.
Dalam presentasi karya tumbuhnya, Densiel tidak hanya menampilkan karya koreografi tetapi juga berperan dalam teknis pertunjukan dengan memainkan perangkat infocus; memberi jatah cahaya pada enam sisi blackbox untuk menayangkan rekaman gambar pada saat ritual Ma’bua’ dilaksanakan; memancarkan sorot cahaya pada lipatan, sudut, permukaan datar, dan berakhir pada perpindahan blocking seorang penari perempuan.
BADAMI memfasilitasi ruang dialog antara pencipta karya dengan akademisi, profesional, peneliti, pemerhati lintas bidang untuk menggali isu yang diangkat dalam karya-karya seni pertunjukan yang diciptakannya. Selepas pertunjukan, gagasan aristik Densiel tentang ma’bua’ dikaji oleh dua narasumber lintas bidang: Dr. Thomas Kristiatmo, S.S., M.Hum., STL dan Theo Frids Hutabarat, S.Sn., M.Sn.
Melalui kerangka kerja yang Densiel dilakukan—menghimpun data, menganalisis, mengolah, dan menyajikannya ke dalam karya koreografi dan film tari—maka seni tidak hanya berpeluang untuk dilihat sebagai ekspresi personal murni, tetapi juga menjadi pintu gerbang lahirnya pengetahuan-pengetahuan baru.
Karya tumbuh Densiel dielaborasi ke dalam beberapa pertanyaan yang dilontarkan Keni Soeriaatmadja, Direktur Dayaloka Tari Sasikirana, yang pada malam itu hadir sebagai moderator. Keni membuka diskusi malam itu dengan sebuah pernyataan, “karya tumbuh layak dipresentasikan, wacana boleh dibicarakan dulu, dan karya nanti adalah puncaknya.” Dalam gelaran BADAMI, karya Densiel yang belum rampung bukan hanya dipresentasikan, tetapi juga dijadikan pembahasan dalam diskusi.
Menelisik ingatan kolektif yang dikodifikasi dalam tindakan pada ritual Ma’bua’, Densiel mencoba merangkum definisi ritual yang lebih luas lagi, yakni sebagai praktik yang dapat membantu masyarakat Toraja mencapai tujuan yang berorientasi pada keseimbangan kosmos melalui suatu perbuatan atau tindakan (pada masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “laku”).
Dalam karya tumbuh performatif Ma'bua', Keni mengamati adanya simbol-simbol dari tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat Toraja, seperti keberadaan tongkonan dan ritual penyembelihan hewan. Di tataran artistik, Keni mencermati pergerakan sorot lampu infocus, yang ia maknai sebagai “cahaya tradisi”, hanya mengikuti perpindahan satu penari perempuan.
Gerak spiral dan repetitif yang menuntut fisikalitas prima dari delapan penari juga tak luput dari perhatian Keni. “Koreografinya banyak dan acak, di sana ada disharmoni yang kemudian jadi harmoni ketika membentuk formasi lingkaran.” Selanjutnya adalah video conference Zoom yang digunakan Densiel untuk menghadirkan ‘realitas kedua’. “Gambar yang terbingkai di layar tidak simetris lantaran dimainkan oleh kreatornya karena dia punya kuasa atas pertunjukan”, lanjut Keni.
Pertunjukan berdurasi empat puluh menit itu juga diseksamai oleh Theo, Dosen Filsafat Universitas Parahyangan-Bandung, dari konteks pengalaman dengan meraba sudut pandang Densiel sebagai kreator. Ia mengatakan bahwa Ma’bua’ berangkat dari unfamiliar feelings (perasaan asing) terhadap objek, kemudian menghadirkan sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada.
Theo menyebut Densiel sebagai misteri. Kesan mendalam ditunjukkan melalui caranya memaknai kata ma’bua’ secara harfiah sekaligus menampilkan kesakralan ritual ke dalam sebuah pertunjukan yang kaya akan kosa gerak, bergerak lambat, dan mengandalkan tubuh kepenarian. Bagi Theo, yang dilakukan Densiel merujuk pada anotasi: dari ritus ke kreatornya.
Tanggapan Theo menandai keberhasilan Densiel menyampaikan gagasannya dalam karya tumbuh performatif Ma’bua’, terutama dalam membangun argumentasi ketika menyajikannya sebagai karya seni serta membangun intermedialitas melalui pengamatan dan riset tentang desain kultural.
Thomas Kristiatmo, yang akrab disapa Atmo, menyambung pernyataan Theo dengan menyoroti istilah permainan yang digunakan Densiel. “Video ritus dan pertunjukan, datang dan pergi, ini terasa seperti permainan. Faktanya, ritus dan seni memang punya keterkaitan sejak zaman primitif.”
Ajakan untuk memasuki ruang transenden pada karya tumbuh performatif Ma’bua’, ditampilkan melalui elemen-elemen artistik yang digunakan. “Situasi yang melampaui fisik, diperkuat sarananya melalui ritus. Realitas yang masuk ke dalam memori itulah transendensinya.”, Atmo menyelami perspektif lokal Densiel sebagai seniman berdarah Toraja.
Dibesarkan di keluarga yang masih memegang teguh tradisi, menggerakkan Densiel pada alam pikir dan realitas yang berbeda, antara percepatan dan dinamika budaya yang terjadi di Jakarta (merantau sejak 2012) dengan kehidupan masyarakat Toraja yang tradisional dan cenderun bergerak perlahan.
Densiel yang telah terpapar kehidupan dan pendidikan ibukota menyampaikan pandangan objektifnya tentang isu kelokalan Toraja, setelah sebelumnya berdialektika dengan kebudayaan Makassar yang lebih akrab dengan dirinya.
Lantas mengapa Ma’bua’?
Alih-alih mencerap makna, Densiel justru berhasrat untuk menangkap perasaan yang muncul dari ritual Ma’bua'. Ia mengembalikan Ma’bua’ pada makna literalnya, yang dilihat dari bagaimana dirinya sendiri berbuat atau bertindak.