Ada banyak cara untuk mengungkap pola kehidupan atau perjalanan hidup manusia. Kesenian tradisional seringkali digunakan sebagai media ekspresi untuk mengungkap hal itu.

Sebagai bagian dari suatu tradisi, tarian dipelihara oleh suatu masyarakat atau suku bangsa dan diwariskan secara turun-temurun. Sebagaimana pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, norma, serta kebiasaan lain yang diperoleh dari masyarakat terdahulu.

Kebudayaan adalah cara hidup beraneka segi, abstrak, dan luas. Banyak pengaruh budaya yang berdampak pada perilaku komunikasi. Aspek sosial budaya ini tersebar luas dan mencakup berbagai jenis kesenian, salah satunya adalah tarian.

Tarian mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena dapat membawa banyak manfaat. Antara lain, dapat digunakan sebagau hiburan dan komunikasi. Tari, mengingat letaknya, dapat hidup, berkembang, dan mengikuti perkembangan zaman.

Tarian tidak bisa dinilai hanya dari keindahan geraknya saja. Hal ini merupakan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat, bahwa suatu tarian barulah dapat dikatakan indah jika dibawakan oleh penari yang menarik, dengan gerak tubuh yang indah, dan lain sebagainya. Sedangkan simbolisme atau pesan yang terkandung dalam tarian terkadang terabaikan.

Keberadaan tarian tradisional dalam suatu kelompok masyarakat dapat dikatakan sebagai bagian dari identitas kebudayaan suatu etnis. Di Indonesia, terdapat berbagai macam tarian tradisional yang ditampilkan oleh individu maupun kelompok. Salah satunya oleh Suku Toraja.

Toraja, sebagai daerah yang kaya akan tradisi dan ritual juga memiliki sejumlah tarian tradisional. Salah satunya adalah Ma’katia. Ma’katia merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Toraja berupa tarian yang ditampilkan dalam pelaksanaan ritual kematian rambu solo’.

Ma’katia merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok wanita (antara 8-12 orang atau bahkan lebih) dengan menggunakan pakaian adat dan dilengkapi perhiasan berupa sa’pi (berbentuk miniatur rumah Toraja) yang diletakkan di atas kepala bersama-sama dengan kandaure (suatu kumpulan manik-manik yang dirangkai dan diletakkan di pundak penari).

Ma’katia ditampilkan dalam ritual rambu solo’ bagi mereka yang tergolong bangsawan sebagai tarian penyambutan bagi tamu yang hadir dalam ritual.

Tari ma’katia atau dalam ungkapan bahasa Toraja disebut dengan gellu’ pa’katia. Secara terminologi, gellu’ adalah kata kerja dari “menari” (mengayunkan tangan dengan melentikkan sambil menggerakkan pergelangan tangan), pa’ adalah pelaku atau orang yang melakukan, dan katia adalah sebuah lagu. Sehingga, ma’katia adalah orang yang melakukan suatu tarian sambil melantunkan syair lagu.

Ma’katia merupakan tarian unik yang penampilannya diiringi lagu atau syair-syair yang disebut dengan bating. Bating merupakan ungkapan kesedihan atau ratapan atas wafatnya seseorang yang dilukiskan dalam syair berisikan sejarah hidup mendiang yang diritualkan melalui tangisan atau ratapan.

Asal usul seni tari ma'katia pada rambu solo' tidak diketahui secara pasti dan hanya dikenal secara lisan sebagai tradisi warisan nenek moyang Suku Toraja.

Munculnya tarian ma’katia pada rambu solo’ dalam masyarakat Toraja hanya diketahui melalui cerita lisan. Bahwa pada dasarnya, tarian ini berasal dari penganut kepercayaan asli Suku Toraja, yaitu Aluk Todolo.

Menurut kepercayaan nenek moyang orang Toraja, tarian ma’katia diciptakan di atas langit. Dipercayai bahwa pada zaman dahulu, di atas langit telah berlangsung kehidupan seperti kehidupan di bumi ini.

Ma’katia kemudian dibawa turun ke bumi oleh nenek moyang atau manusia Toraja pertama yang dikenal dengan To Manurun Di Langi’.

Pada dasarnya, terdapat berbagai bentuk atau gerakan dari tarian ma’katia, antara lain:

Disoyang badong. Gerakan pembuka yang diiringi kata-kata atau syair sebagai bentuk penghormatan kepada seluruh pelayat yang hadir. Bagian ini dikenal sebagai pendahuluan atau kebiasaan masyarakat Toraja sebelum memulai suatu acara dengan memberikan sapaan.

Masyarakat Toraja memaknai ragam disoyan badong sebagai simbol kerapuhan lantaran sedang dirundung duka.

Tampak dari gerakannya, di mana para penari saling bergandengan tangan dengan menautkan jari kelingking atau yang disebut ma’pasikala taruno. Gerakan ini mengajarkan manusia Toraja tentang pentingnya saling merangkul, khususnya dalam keadaan berduka.

Gerakan ini juga menjadi pengingat bagi keluarga yang sedang berduka tentang keberadaan Tuhan dan kerabat yang selalu mendukung.

Pada gerakan ini, penari berdiri sejajar atau disebut dengan ma’dandan yang dimaknai bahwa di mata Tuhan adalah sama, tidak ada dikotomi kaya atau miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, karena semua akan kembali kepadaNya.

Pa’gellu’. Gerakan yang dimaknai sebagai pujaan dan juga sanjungan yang berisi ungkapan terima kasih kepada tamu yang hadir.

Pa’sisula’ sirrin. Gerakan ini merupakan tanda penghormatan bagi para tamu yang hadir. Menandai kemajemukan dalam tradisi Toraja, bahwa strata sosial tidak menjadi penghalang dalam ritual rambu solo’

Pa’para-para. Suatu ungkapan bahwa ritual adat yang dilakukan pada dasarnya dipersembahkan kepada Sang Pencipta.

Pa’bone balla’. Gerakan yang dilakukan sebagai penghormatan terhadap suku-suku yang ada di sekitar Toraja, secara khusus Bugis dan Balla’.

Pa’panduru Dalle. Gerak tari berisikan urutan-urutan permohonan atau doa yang dimohonkan kepada Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa).

Pa’massimanna. Suatu ungkapan rasa syukur dan terima kasih keluarga yang telah didoakan dan dinyatakan dengan uang (ma’toding) yang diletakkan di atas kepala para penari.

Pa’kapala moyong. Gerakan ini menggambarkan bahwa orang yang diupacarakan merupakan anggota keluarga dari keturunan bangsawan.

Pa’illalla’. Gerakan yang mengingatkan seluruh kerabat, keluarga, dan pelayat yang hadir agar ritual kematian yang sedang berlangsung dapat diwariskan dari  ke generasi.

Pa’pondan. penghormatan terakhir sebelum para penari mengakhiri tariannya. Gerakan ini dimaknai sebagai sebuah harapan agar arwah yang diupacarakan dapat berbahagia di alam selanjutnya, sekaligus menjadi ungkapan syukur kepada Tuhan dan seluruh pelayat yang hadir.

* Ilustrasi Makam Batu Toraja: “Toraja rock-hewn tombs. Lemo, Tana Toraja, South Sulawesi”. Foto/dok: Dominique Kirsner, circa 1976. Wikimedia Commons.

Penyunting: Nadya Gadzali