Tabuhan suara kendang mengiringi denyut aktivitas Kota Banjar sejak pagi hari. Kota yang menyimpan narasi kejayaan Kerajaan Kertabumi pada abad ke-15 itu tengah didaulat menjadi tuan rumah bagi pelaksanaan Pasanggiri Pencak Silat tingkat provinsi.

Bak negeri para pendekar, Pasanggiri Pencak Silat mampu mengubah Kota Banjar menjadi lautan jawara berpakaian pangsi dan iket kepala Sunda. Mereka berkumpul memenuhi ruang-ruang kota dan bergegas menuju Gelora Banjar Patroman yang berada di Kecamatan Langensari, Kota Banjar.

“Patroman” yang tersemat di belakang nama Kota Banjar diambil dari nama jenis tanaman yang tumbuh subur di wilayah Banjar, tepatnya di tepi Sungai Citanduy. Masyarakat Banjar menyebutnya tarum areuy atau tarum rambat, tumbuhan yang kerap dimanfaatkan sebagai pewarna biru alami dalam pemotifan kain batik tarum ébég, lambang kesuburan tanah sekaligus ikon Kota Banjar.

Ajang kompetisi pencak silat tingkat provinsi Jawa Barat berlangsung di dua titik pakalangan atau arena pertandingan sejak 24 hingga 27 Agustus 2023. Acara ini terselenggara berkat kerja sama organisasi PPSI (Persatuan Pencak Silat Indonesia), BPK (Balai Pelestarian Kebudayaan) wilayah IX, dan Pemerintah Kota Banjar.

Tidak hanya melahirkan para jagoan, gelaran pasanggiri juga menjadi kawah candradimuka bagi para pesilat muda dalam hal pembentukan karakter, ikatan persaudaraan, kedisiplinan, kekesatriaan, dan bela negara.

Rekor MURI Seni Ibing Pencak

Diikuti sekitar 15.000 peserta dari ratusan perguruan pencak silat se-Jawa Barat, Museum Rekor Republik Indonesia (MURI) mencatat rekor pementasan “Seni Ibing Pencak” dengan peserta terbanyak dalam prosesi pembuka gelaran pasanggiri.

Seni Ibing Pencak yang ditampilkan sebagai pemecahan rekor MURI semakin mengukuhkan seni bela diri Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada tahun 2019.‌‌

Estetika yang dituangkan dalam musik dan tari, diungkap oleh Ketua Umum DPW PPSI, Galih Santika, menjadikan seni ibing muncul sebagai “kembang pencak”, terlebih ketika dibawakan secara rampak (serempak).

Seni Ibing Pencak tidak ditujukan untuk menggantikan jurus-jurus yang telah ada. Sebaliknya, para jawara silat dapat terus berlatih seni bela diri sambil berkamuflase layaknya penari.‌‌ Pasalnya, pada masa penjajahan Belanda, Pencak Silat dianggap sebagai bentuk perlawanan kaum pribumi terhadap bangsa kolonial.

Pasca kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1949, para jawara menghimpun kekuatan untuk menumpas tentara TII (Tentara Islam Indonesia) bentukan Kartosuwiryo, yang secara terang-terangan memproklamirkan kumpulannya sebagai penegak NII (Negara Islam Indonesia).

PPSI didirikan pada tahun 1957 di bawah dukungan Kodam III Siliwangi, dilatari oleh keresahan para jawara silat akan kemunculan gerombolan NII. “Jadi, PPSI dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1957 itu sebetulnya dilandasi oleh rasa cinta tanah air dan semangat bela negara”, pungkas Galih.

Keselarasan antara gerak tubuh pesilat dengan ansambel kendang pencak dirancang untuk mengelabui musuh. Di kemudian hari, ibing pencak menjadi sebuah kesenian atraktif yang menjadikan citra Pencak Silat tidak hanya dikaitkan dengan sebuah pertarungan, tetapi juga sebagai pertunjukan serta alat diplomasi politik dan budaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan pencak silat sebagai keahlian mempertahankan diri dengan cara menangkis, menyerang, serta membela diri, baik dengan ataupun tanpa senjata. ‌‌

Saat ini, PPSI sudah tersebar di 17 provinsi. Awalnya, jurus-jurus pencak lebih dikenal di pulau Jawa dan Bali, sedangkan penggabungan dengan istilah silat lebih banyak dipengaruhi oleh seni bela diri yang dibawa oleh bangsa Melayu.

Aliran Pencak Silat diketahui berasal di Jawa Barat pada abad ke-17 dengan munculnya Pencak Cimande. Pencak Silat merupakan gaya pencak ibing tertua di Tanah Pasundan. Pada masa pemerintahan Aria Wiratanu Datat, Bupati Cianjur ke-5, Pencak Cimande disebut demikian lantaran dibentuk di wilayah Kecamatan Cimande.

Sekitar abad ke-18, di kawasan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, pencak silat jenis baru terbentuk, dipelopori oleh Haji Ibrahim. Sebagaimana Pencak Cimande, aliran Cikalongan diadaptasi dari nama tempat di mana pencak itu dilahirkan.

Pasanggiri Pencak Silat Tingkat Provinsi

‌‌Gerak-gerik pesilat yang berlaga di arena pertandingan begitu bernas diiringi permainan alat musik kendang pencak yang membangkitkan semangat.

Peserta dari sejumlah paguron (perguruan) Pencak Silat di Jawa Barat berkumpul untuk meraih prestasi yang dapat dipersembahkan sebagai wujud pelestarian budaya yang diwariskan oleh leluhur Sunda.

Pesan moral, sosial, budaya, dan spiritual dalam Pencak Silat mengejawantah ke dalam jati diri masyarakat Sunda yang berfungsi sebagai sarana pendidikan mental, pembentukan karakter, ikatan persaudaraan, tata krama, dan solidaritas antar sesama pesilat.

Seni bela diri Pencak Silat diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad ke-7. Sejumlah ahli sejarah mengungkap bahwa Pencak Silat pertama kali dijumpai di Provinsi Riau pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, Pencak Silat masih terbatas pada gerakan tangan dan kaki. Seni bela diri ini kemudian menyebar ke wilayah semenanjung Malaka hingga Pulau Jawa.

Pencak Silat saat ini sudah dikenal luas oleh masyarakat. Diaspora para perantau dari Jawa Barat membawanya ke seluruh pelosok nusantara bahkan ke manca negara, sehingga Pencak Silat dikenal di seluruh penjuru dunia.

Adil A. Fadilakusumah, Ketua Umum DPP PPSI, dengan bangga menyebutkan bahwa Pencak Silat adalah satu-satunya seni bela diri di Indonesia yang diiringi oleh permainan alat musik.

‌‌Gerakan ibingan (tarian) di dalamnya juga tidak terlepas dari estetika dan filosofi. “Tepak dua menggambarkan keindahan gerak, tepak tilu menampilkan kekayaan gerak, dan yang terpenting adalah padungdung atau jurus untuk menghadapi situasi to kill or to be killed”, terang Adil.

Koordinator Juri DPW PPSI, Deden Gumilar, menjelaskan bahwa kriteria penilaian dalam Pasanggiri Pencak Silat meliputi ana uwuh, adeg-adeg, inti sari pola pencak, dan wirahma. Keseluruhan unsur pembentuk seni bela diri Pencak Silat itu diharapkan dapat menuntun para pelakunya pada keselarasan antara wirasa, wirama, dan wiraga.

Dwi Ratna Nurhajarini, Kepala BPK Wilayah IX berharap bahwa gelaran Pasanggiri Pencak Silat dan pemecahan rekor MURI tahun ini bukan sebatas seremonial atau ajang adu kemampuan semata, tetapi juga menjadi kegiatan yang dapat mendorong sinergitas antar lembaga, meningkatkan motivasi para pesilat, serta mampu menggerakkan perekonomian daerah yang didaulat sebagai tuan rumah.