Melasti, sebuah upacara persembahyangan atau membakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tuhan yang dipuja oleh umat Hindu. Upacara ini bertujuan untuk mengambil tirta suci atau air suci yang terletak di sumber mata air terdekat di daerah masing-masing.

Umat Hindu di Kabupaten Blitar yang terletak di Provinsi Jawa Timur melaksanakan upacara Melasti di Pantai Jolosutro. Air di pantai ini sangat berlimpah dengan tempat yang sudah disediakan khusus oleh pemerintah Kabupaten Blitar untuk melaksanakan upacara Melasti. Upacara ini dilakukan setiap setahun sekali pada bulan Maret tepat pada beberapa hari ganjil sebelum Hari Raya Nyepi dilaksanakan.

Melasti menjadi salah satu ritual khusus yang harus dilakukan sebelum Catur Brata Penyepian atau Hari Raya Nyepi. Pada upacara Melasti, banyak persiapan yang harus dilakukan dan disediakan untuk mendukung kelangsungan acara. Persiapan yang dilakukan antara lain sarana ritual, mulai dari banten atau sesajen hingga tempat upacara.

Berhubung kondisi cuaca di alam terbuka tidak menentu, penggunaan terop sangat diperlukan dalam acara ini untuk melindungi alat musik gamelan, banten, dan tempat yang digunakan pandita untuk memimpin upacara persembahyangan.

Persiapan lainnya yang harus ada pada saat pelaksanaan ritual persembahyangan seperti ini adalah pandita. Pandita menggunakan genta untuk memimpin ritual persembahyangan. Genta atau lonceng dalam bahasa Bali disebut dengan bajra, suatu alat bantu untuk melaksanakan persembahyangan yang digunakan oleh pinandita atau pandita.

Pandita pada saat memimpin upacara Melasti/ Indah Wahyuningsih

Genta dan Melasti

Genta dijadikan alat bantu persembahyangan karena apabila disucikan maka akan bersemayam Dewa Siwa (Jro Mangku Made Sukarna, 2020). Pada genta terdapat ukiran yang menggambarkan keberadaan dewa-dewa dalam agama Hindu.

Dewa-dewa itu sesuai dengan arah penjuru mata angin dimulai dengan arah timur yang diyakini sebagai Dewa Iswara, arah selatan sebagai Dewa Brahma, arah barat sebagai Dewa Mahadewa, arah utara sebagai Dewa Wisnu, dan terakhir yang berada di tengah sebagai representasi Dewa Siwa.

Genta dalam penggunaannya dianggap ekslusif karena hanya seorang pandita atau pinandita yang dapat menggunakannya. Melasti sebagai salah satu upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu tidak dapat dilepaskan dari sosok yang memimpin ritual persembahyangan.

Orang yang memimpin atau muput upacara persembahyangan Hindu ialah pandita dan pinandita. Mereka akan memimpin persembahyangan dengan menggunakan sarana genta, banten, dan mantram.

Oleh karena setiap sarana upacara saling berhubungan, maka genta dalam persembahyangan Melasti menjadi komponen penting. Selain itu, genta merupakan perlambangan suara Tuhan yang mana terdapat dalam ajaran Hindu itu sendiri.

Umat Hindu pada umumnya sudah mengetahui kegunaan genta, yakni untuk persembahyangan tanpa harus mengerti makna yang terdapat didalamnya. Namun, sebagai masyarakat awam yang melihat dari kejauhan atau mendengarkan suara genta, benda ini menunjukkan kegunaannya sebagai bahasa isyarat.

Larung sesaji yang diadakan oleh umat Hindu menggunakan puluhan iringan suara genta dari pinandita (seseorang yang dipersiapkan untuk menjadi pandita). Genta menjadi sebuah penanda atau isyarat tanpa harus mengucapkan perintah atau kalimat kepada jemaat. Pada umumnya, mereka sudah mengetahui kesakralan genta.

Pelarungan sesaji palawija di Pantai Jolosutro/ Indah Wahyuningsih

Menjaga Keseimbangan Alam

Dengan melaksanakan upacara Melasti, berarti umat Hindu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi suci pada saat melaksanakan Hari Raya Nyepi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya Melasti bermakna pencarian tirta suci yang digunakan setelah melaksanakan persembahyangan dan dibagikan kepada umat Hindu.

Penyucian ini tidak hanya dilakukan oleh diri manusia sebagai perlambangan mikrokosmos, tetapi juga dilakukan untuk pembersihan alam sekitar sebagai representasi makrokosmos.

Alam yang ada di sekitar kita ini sudah sepantasnya untuk kita jaga dan lestarikan keberadaannya. Rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena telah menciptakan alam sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah kebutuhan manusia.

Tidak hanya rasa syukur yang dihaturkan, pembersihan alam juga dilakukan melalui pelaksanaan larung sesaji, sebagai bagian dari ritual Melasti.

Pelaksanaan larung sesaji ialah wujud sradha dan bhakti terhadap keberadaan Sang Hyang Widhi Wasa. Larung sesaji dalam pelaksanaannya hampir sama dengan acara sedekah bumi yang dilaksanakan di daerah lainnya, dengan melarung sebagian hasil panen palawija sampai dengan hewan ternak. Perbedaannya terletak pada tata cara mendoakannya saja namun tujuannya sama.

Upacara persembahyangan Melasti yang dilakukan oleh umat Hindu mampu menarik perhatian wisatawan yang datang khusus untuk menyaksikan kegiatan larung sesaji.

Kegiatan keagamaan yang dianggap magis mampu mengundang orang-orang untuk datang melihatnya. Hal ini disebabkan minimnya perekaman media pada saat pelaksanaan upacara Melasti, sehingga nantinya dapat dinikmati oleh masyarakat umum.

Mereka beranggapan tontonan upacara seperti ini hanya dapat dilihat setahun sekali maka sayang apabila untuk dilewatkan.

Blitar sebagai daerah yang masih kental dengan adat istiadatnya, menganggap larungan atau sedekah bumi merupakan hal yang lazim dilakukan.

Jumlah masyarakat yang menonton mampu menyedot para pedagang asongan keliling untuk mendekat dan menjajakan dagangannya, tiba-tiba saja ide berjualan bermunculan pada hari pelaksanaan Melasti.

Jenis dagangannya pun beragam, mulai dari aksesoris bercorak Hindu, makanan ringan, minuman dingin, hingga makanan berat. Hal ini disebabkan letak pantai yang jauh dari pusat kota ditambah dengan waktu persembahyangan yang relatif lama.

Selain mempersiapkan larung sesaji untuk dilarung ke laut, setiap pura yang ada di Kabupaten Blitar selalu membawa banten untuk kelompok pribadi yaitu untuk puranya masing-masing.

Banten ini digunakan untuk gendurinan sebagai bentuk rasa syukur yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi karena dapat berkumpul di Pantai Jolosutro dalam keadaan sehat dan tanpa halangan suatu apapun.

Gendurinan merupakan doa yang dilakukan secara tradisi Jawa dengan membawa nasi gurih dan lauk-pauk berupa sambal goreng serta ayam utuh yang dibumbui lodho atau hanya digoreng saja.

Rasa yang diciptakan sudah cukup untuk menggambarkan bahwasanya kegiatan ini menumbuhkan semangat gotong royong.

Mengingat kembali pelaksanaan larung sesaji dan gendurinan setelah upacara Melasti, makan yang terkandung di dalamnya adalah wujud yadnya yang dilakukan untuk alam.

Yadnya disini diartikan sebagai persembahan yang tulus ikhlas tanpa pamrih kepada Sang Hyang Widhi.

Keseimbangan alam nyatanya perlu dikompromikan untuk dijaga, bukan hanya untuk diambil hasilnya saja. Hasil alam yang beragam biasanya mampu membuat manusia melepaskan sifat-sifat buruknya. Merasa sudah ”adigang adilung adiguna” tidak berarti apa-apa jika tidak menunjukan kecintaan terhadap alam.

Penyunting: Nadya Gadzali

‌‌