Tradisi adalah sebuah istilah yang merujuk pada adat atau kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, atau peraturan yang dijalankan oleh masyarakat. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitu pula dengan kebudayaan.
Kedua kata ini merupakan personifikasi dari sebuah hukum tidak tertulis yang menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar. Menurut Piotr Sztompka, tradisi merupakan segala sesuatu yang meliputi adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, ajaran dan sebagainya, dan telah berlangsung secara turun temurun dari masa lalu ke masa kini dan masih melekat dalam kehidupan.
Singkatnya, kita dapat memahami bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang diwariskan secara turun temurun, dianggap baik atau benar, baik itu secara lisan ataupun tertulis, dan telah dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan diakui di dalam kehidupan masyarakat, entah itu dilakukan setiap hari maupun dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dapat kita sebut sebagai tradisi.
Salah satu bentuk dari tradisi yang kita lihat dapat berhubungan dengan kearifan lokal, sebagai salah satu bagian dari tradisi ataupun kebudayaan pada suatu daerah atau dalam suatu masyarakat tertentu yang telah diwariskan secara turun temurun.
Lebih lanjut, kearifan lokal juga diartikan sebagai kemampuan beradaptasi, berorganisasi, dan membudayakan keselarasan dengan alam sebagai kekuatan pendorong perubahan dan pelestarian keanekaragaman budaya khas Indonesia.
Kearifan lokal dapat juga berupa pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau persepsi serta kebiasaan atau etika, dan juga adat-istiadat yang menjadi pedoman perilaku manusia dalam kehidupannya.
Salah satu suku di Indonesia yang memiliki kekayaan tradisi sebagai bagian dari kearifan lokalnya ialah suku Toraja, suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Suku Toraja juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias.
Setelah melalui proses akulturasi maupun asimilasi budaya, wilayah Toraja juga dikenal sebagai Tondok Lapongan Bulan Tana Matari’allo (negeri yang bulat seperti bulan dan matahari).
Berbagai bentuk kearifan lokal sebagai bagian dari tradisi baik itu dalam bentuk tarian, nyanyian, ritual dan lain sebagainya menjadi salah satu kekayaan yang tidak dapat dipisahkan dari suku ini.
Kita tidak dapat memisahkan suku/masyarakat Toraja dengan ritual yang berhubungan dengan kematian (rambu solo’) maupun ritual yang berhubungan dengan tindakan syukur (rambu tuka’) karena ini merupakan ritual penting dalam peristiwa daur hidup masyarakat Toraja, secara khusus dalam hal ini ialah ritual rambu solo’ yang disebut sebagai suatu perayaan kehidupan menuju alam lain.
Ritual rambu solo’ selalu menampilkan berbagai bentuk tradisi dalam pelaksanaannya, salah satu kegiatan atau tradisi yang dilakukan dalam pelaksanaan ritual ini ialah mangriu’ batu simbuang/mangriu’ batu (menarik batu simbuang).
Mengenai Batu Simbuang
Batu simbuang merupakan sebuah batu besar atau bisa disebut menhir atau batu megalitik. Pada umumnya, batu yang ditanam berbentuk persegi panjang atau bentuk oval. Bentuk tersebut ada yang diperoleh secara alam namun kebanyakan dipahat sampai menjadi bentuk yang diinginkan.
Batu simbuang dipahat sehingga membentuk sebuah tugu. Batu itu bukan sembarang batu yang didirikan dengan kokoh. Keberadaan batu simbuang merupakan suatu bagian simbol yang sangat penting dalam suatu proses daur ulang manusia Toraja.
Simbol dapat menjadi penanda akan adanya sesuatu atau hendak menyatakan suatu hal yang di dalamnya mengandung maksud tertentu.
Simbol tentunya tidak akan pernah lepas dari kehidupan masyarakat, banyak hal yang dapat kita mengerti dan pahami dengan memperhatikan dan menyelidiki berbagai bentuk dan simbol.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, “batu simbuang”merupakan simbol status sosial yang menjelaskan kelas bangsawan dari orang yang mendirikan dan memiliki batu tersebut.
Batu simbuang menunjukkan bahwa seseorang dari kalangan bangsawan/ to sugi’/to kapua/ tana’ bulaan baru saja melakukan sebuah upacara Rambu Solo’ dengan sangat meriah dirapa’i.
Batu Simbuang merupakan sebuah simbol (simbol factum), tanda peristiwa atau kejadian yang pernah terjadi pada suatu waktu, di mana seseorang telah melaksanakan suatu perayaan kehidupan, simbuang juga menjadi simbol post factum, yaitu suatu nilai sejarah di kemudian hari yang senantiasa hadir, dikenang atau memiliki dimensi anamnesis begitulah ungkapan dari Nattye dalam tulisannya.
Mangriu' Batu Simbuang
Dalam pelaksanaannya, ritual rambu solo’, batu simbuang akan ditarik (diriu’) oleh banyak orang (gotong-royong) yang dikomando oleh pemangku adat. Batu yang telah diikat dengan tali ditarik oleh banyak orang disebut sebagai siarak pu’pu’, di mana semua orang akan bersama-sama menarik batu itu dan mendirikannya.
Batu simbuang diletakkan pada suatu tempat yang disebut rante atau suatu lapangan/halaman luas atau suatu tanah datar di mana batu yang ditarik tersebut akan ditanam. Setiap keluarga bangsawan memiliki rantenya masing-masing, sehingga rante sering disebut sebagai perkampungan kecil.
Rante menjadi suatu bagian dari tiga komponen penting dalam pemukiman tradisional Toraja, yaitu rante (tempat upacara), liang (kuburan), dan juga tongkonan (rumah adat).
Batu simbuang/menhir tidak sekedar ditanam/didirikan begitu saja. Setiap batu yang didirikan atau ditanam akan diberikan nama sesuai dengan orang yang diupacarakan (meninggal).
Batu simbuang diyakini telah menjadi refleksi dari orang yang meninggal. Oleh sebab itu, menurut kepercayaan tradisional Toraja, seseorang yang meninggal bila belum diupacarakan pemakamamnya, maka mendiang akan tetap dianggap masih hidup.
Sekalipun dalam kepercayaan tradisional Toraja dikenal istilah yang menyatakan bahwa seorang yang telah putus nyawanya/ka’tumo sunga’na namun tetap dipercaya bahwa mendiang masih hidup, dan dipercaya bahwa sang mendiang akan menyatu dengan batu simbuang yang didirikan baginya.
Batu simbuang yang ada akan didirikan atau ditanam berdampingan dengan simbuang induk, kalosi, lambiri dan, kamiri yang secara adat simbuang induk akan digunakan untuk unsankin/ menambatkan tali tedong/kerbau balean, simbuang kalosi untuk menambatkan tali kerbau bonga, simbuang lambiri untuk menambatkan tali kerbau pudu’ dan simbuang kamiri untuk menambatkan tali kerbau sambao’, semuanya ditanam dan akan menjadi simbuang dan dipercayai bahwa didalamnya tidak sekedar didirikan namun mengandung makna yang dalam berupa doa dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Batu simbuang akan menjadi simbol ataupun tanda yang akan selalu dikenang oleh anak cucu, simbol yang akan melekat dalam hati, yang memberikan pemaknaan dan penghayatan bahwa orang tua dari rumpun keluarga yang telah meninggal akan tetap bersama dengan keluarga.
Saat batu tiba di rante dan telah berdiri kokoh maka akan dilakukan penyiraman dengan air biasa dan akan didoakan dengan harapan bahwa semua rapu tallang, anak cucu tetap dalam keadaan yang masakke-sakke/aman, damai, dan baik-baik saja.
* Ilustrasi Suku Toraja: foto/dok Wikimedia Commons, circa 1938.
Penyunting: Nadya Gadzali