Di Kampung Bantar Panjang, seorang laki-laki uzur tampak mengayun-ayunkan pengamatannya. Merenung di balik kelambu, khidmat di pondoknya. Kuatnya debur ombak Teluk Banten tak mengalihkan perhatiannya.
Usia senja tak membuat Sang Puun hilang keteguhan dalam mengemban komitmen. Ia tetap setia menjalankan peran sejak dinisbat menjadi pemimpin tertinggi urang Baduy.
Petinggi adat itu tengah meresapi kemerisauan siang itu. Panggilan jiwa, bisik hati tentang geliat zaman yang menyeruak bersama kemajuan, berbeda dengan kesahajaan yang melingkupi Desa Kanekes, tempat ia mendharmakan diri.
Meski tinggal di pedalaman, desas-desus perubahan telah menjamah telinga. Namun Baduy—dan hatinya yang tua—tetap menaruh kepercayaan pada keseimbangan kosmos. Keyakinan itulah yang mendasari kearifan lokal mereka dalam mengelola perilaku dan lingkungan sekitar.
Setelah berkelindan dengan sunyi nan panjang, Sang Puun membisikkan sepenggal wejangan pada putranya yang duduk bersimpuh di sisinya, “Ieu mah teu lian, hilap ka alam rahayu.” Kemudian ia kembali memejamkan mata, menikmati gaung yang mengalun dari kejauhan.
Urang Kanekes—atau yang dikenal luas dengan sebutan Suku Baduy—adalah salah satu suku asli penduduk Banten Selatan yang masih konsisten mempertahankan tradisi nenek moyang. Secara administratif, permukiman mereka termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Namun, tampaknya garis batas geografis tak melulu mendefinisikan suku yang juga dikenal dengan sebutan Urang Tangtu (orang asli). Esensi ke-baduy-an mereka termanifestasi pada nilai-nilai adat dan budaya yang dijaga secara turun-temurun. Salah satu ritual penting yang mereka lakukan adalah Seren Taun, upacara ritual panen dan bersih desa.
Upacara Seren Taun Banten Kidul
Seren Taun merupakan ucapan syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur atas hasil panen yang melimpah. Ritual ini biasanya berlangsung selama tiga hari dan melibatkan seluruh warga. Mereka membersihkan pekarangan rumah, tempat ibadah, hingga seluruh penjuru desa dari sampah dan dedaunan kering.
Sampah organik seperti daun kering dan ranting pohon dikumpulkan untuk dibakar. Abu hasil pembakaran kemudian digunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Sedangkan limbah rumah tangga dan kotoran hewan ternak, ditumpuk untuk dijadikan pupuk kompos.
Setelah membersihkan setiap sudut desa, warga Baduy Luar berkumpul di Balai Adat untuk mengadakan ritual adat dan doa bersama. Mereka memohon kepada leluhur agar desa terhindar dari wabah penyakit dan panen tetap berlimpah di masa mendatang.
Selain Seren Taun, Suku Baduy juga menerapkan perilaku ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sangat menghargai kelestarian alam, sehingga tidak mengenal sistem pembuangan akhir untuk sampah anorganik.
Plastik dan barang-barang non-organik lainnya dipilah dan dikumpulkan untuk dijual ke pengepul. Hasil penjualannya digunakan untuk kepentingan warga. Adapun barang yang tak laku dijual, dimanfaatkan kembali secara kreatif.
Misalnya, kaleng bekas diisi pasir lalu dibakar untuk membuat percikan api pengusir nyamuk. Plastik dilebur menjadi lembaran untuk alas tidur bayi. Retakan genteng dialasi seng bekas sebagai atap sementara.
Perilaku bijaksana itu berangkat dari pandangan hidup Baduy yang menjunjung tinggi nilai kesederhanaan. Mereka hanya mengambil apa yang dibutuhkan dari alam dan menggunakannya tanpa ada yang terbuang sia-sia.
Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kedua kelompok ini memiliki keunikan masing-masing. Kehidupan suku Baduy dapat dikatakan sederhana dan harmonis dengan alam. Mereka menjaga keseimbangan alam dan manusia di wilayah mereka.
Keyakinan akan keseimbangan alam yang Maha Agung membuat Suku Baduy Dalam enggan mengenal teknologi modern. Listrik, kendaraan bermotor, hingga gawai tidak digunakan lantaran dianggap mengganggu keseimbangan kosmos, berbeda dengan pandangan Suku Baduy Luar.
Meski demikian, Suku Baduy Luar dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Misalnya, mereka memanfaatkan tenaga surya melalui panel matahari untuk menyalakan lampu. Serta perkakas pertanian tradisional yang dimodifikasi, seperti cangkul atau sabit dari besi.
Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam menjaga kelestarian alam bagaikan setangkai bunga teratai, meski hidup di tengah lumpur tetap mekar mengaur keindahan. Namun tangan-tangan mulia perlu berpadu untuk merawatnya agar keindahan itu tak cepat layu digerus derasnya arus perubahan.
Pemerintah daerah setempat perlu mendukung dan memfasilitasi warisan leluhur yang telah membumi. Seperti menyediakan tempat terpilah agar sampah tak berserak. Atau membeli barang tak terpakai untuk didaur ulang. Bermitra dengan pelaku usaha, dan mengolah sampah jadi furnitur. Hasil penjualannya digunakan untuk kesejahteraan warga.
Masyarakat umum pun harus ikut menjaga bumi. Mulai dari mengurangi barang sekali pakai atau mengolah sampah rumah jadi pupuk kompos. Dengan langkah kecil yang gigih, semua orang bisa menjadi pejuang lingkungan.
Lambat laun, cinta pada alam menjadi bagian karakter bangsa. Warisan berharga untuk diturunkan agar generasi penerus tumbuh dengan kesadaran, bahwa menjaga bumi tanggung jawab kita bersama.
Dengan begitu, kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem bumi akan tetap terjaga. Sampah dan polusi dikelola dengan bijaksana tanpa merusak alam. Manusia pun akan sejahtera karena mendapatkan berkah dari Sang Maha Pencipta.
Bagi Suku Baduy, sampah bukan lagi persoalan. Mereka mengembalikannya pada kesadaran diri sebagai bagian dari alam. Berdamai dengan kosmos, hidup selaras dengan ritme semesta. Maka bumi akan terus memberkati manusia dengan rahmatnya yang melimpah.
Penyunting: Nadya Gadzali