Jika mendengar kata gambus, maka mungkin beberapa dari kita akan membayangkan musik Islami dari Timur Tengah, atau mungkin beberapa alat musik yang mengingatkan pada gitar dengan jumlah nada minimal lima, atau mungkin kita akan menghubungkannya dengan zapin dan khas Melayu. Konon, pada masa penyebaran Islam, gambus tiba di Nusantara. Gambus diyakini berasal dari jalur perdagangan Selat Malaka, mencapai Pulau Sumatera, dan kemudian menyebar ke Kepulauan Nusantara, antara lain Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.

Uniknya, jika gambus di Sumatera kerap ditampilkan untuk mengiringi kesenian bernafaskan Islam seperti barzanji, hadrah, dan tari zapin, berbeda halnya dengan di Sulawesi. Di wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara, musik gambus dipakai untuk mengiringi tradisi lisan yang mengangkat tema kehidupan sehari-hari. Ada yang mengungkapkan perasaan gembira, perasaan sedih, cerita dongeng, legenda, atau nasihat kehidupan. Apakah di Sulawesi umumnya musik gambus berfungsi untuk mengiringi pantun? Dan berbeda dengan gambus Sumatera yang kental nuansa islaminya, apakah gambus Sulawesi lebih bersifat sekuler?

Persebaran dan Perubahan Musik

Persebaran musik maupun instrumen musik memberikan bukti bahwa kontak antar budaya dan masyarakat sudah terjadi sejak masa lampau. Nettl dalam Theory and Method in Ethnomusicology (1964) menguraikan risetnya tentang bagaimana persebaran musik dapat menyebabkan perubahan gaya musik.

Ia menyelidiki faktor perubahan musik dengan dua pendekatan, yaitu evolusi dan geografis. Evolusi mencakup bagaimana tahapan gaya musik berkembang dari sederhana menjadi kompleks. Nettl mencontohkan tahapan musik monofoni yang mengembangkan musik polifoni. Contoh lainnya bisa kita lihat pada tahapan tangga nada yang tadinya dua atau tiga nada menjadi empat dan lima nada.

Nettl juga mengutip pendapat Bartok tentang tiga tahap dalam perkembangan musik rakyat. Tahap pertama adalah repertoar yang homogen, kemudian subgaya tertentu meluas menjadi kategori tertentu seperti lagu natal, lagu pernikahan, atau lagu upacara. Pada tahap ketiga, hubungan antara fungsi dan gaya musik hilang seiring dengan hilangnya ritual-ritual. Gaya musik bercampur-baur sehingga tidak ada lagi sekat yang jelas antar kategori. Namun, Nettl menganggap pendekatan geografis lebih cocok untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan historis seputar perubahan musik.

Nettl menerapkan pendekatan ini karena melihat pembuktian teori antropologis bahwa persebaran geografis menunjukkan adanya kondisi atau peristiwa tertentu di masa lalu. Unsur-unsur musik yang tersebar layaknya persebaran unsur budaya telah menunjukkan bahwa antar masyarakat pernah berasosiasi satu sama lain.. Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana unsur musik yang serupa antar wilayah ini memiliki persamaan dan perbedaan? Adakah yang berubah? Apa saja elemen yang menjadi indikator perubahan itu? Nettl memberikan tiga pendekatan alternatif untuk mempelajarinya.

Pendekatan pertama berkaitan dengan elemen musik. Pendekatan ini terbagi menjadi (1) umum yang meliputi jenis tangga nada pentatonik dan aspek ritmis musik; dan (2) khusus yang meliputi pola-pola tipe melodi (naik, turun, interval). Selanjutnya, pendekatan kedua adalah persebaran komposisi lagu. Kita akan mengidentifikasi (1) bentuk-bentuk yang serupa dari hubungan genetik dan (2) bentuk serupa yang mirip karena gaya (tangga nada, ritme, dan sebagainya). Membedakan bentuk ini agak sulit. Ia mengutip penelitian Wiora tentang homogenitas musik Eropa.

Melodi serupa yang dinyanyikan di Hungaria, Spanyol dan Irlandia ternyata memiliki varian yang berbeda karena gaya dari ketiga kebudayaan ini berbeda. Berikutnya, pendekatan ketiga adalah identifikasi wilayah musik. Sebuah wilayah musik ialah wilayah yang menunjukkan homogenitas musik dalam kadar tertentu. Wilayah musik merupakan perangkat untuk mengukur kadar kesamaan musik dan menyusun klasifikasi musik. Uniknya, batas antara wilayah musik dapat benar-benar dikenali (tidak rancu), karena wilayah musik sama dengan wilayah budaya, wilayah alam, dan linguistik (Nettl, 1964:256-257).

Gambus Muna dan Gambus Gorontalo

Kemiripan antara musik gambus Sulawesi Tenggara dan gambus di Sulawesi Utara dapat dijelaskan dengan pendekatan wilayah musik yang dikemukakan Bruno Nettl di atas. Kita bisa mengamatinya dari dokumentasi pertunjukan gambus Muna berjudul “Kabelano Lalo” yang dibawakan oleh Zainuddin Busaru dan gambus Gorontalo “Panthungi Limutu Hulonthalo” yang ditampilkan Risno Ahaya.

Instrumen gambus yang dipetik oleh keduanya sama-sama memiliki 7 senar. Sekilas, musik gambus mereka terdengar serupa. Keduanya kental akan pengaruh musik melayu. Lagu bertempo cepat dan dinamis, bunyi petikan senar terdengar nyaring, dan banyak menggunakan not 1/16. Interval antar melodi sering naik turun berjarak seconddan fourth. Gambus Muna memakai tangga nada G minor harmonis (G-A-Bb-C-D-Eb-F#), sedangkan gambus Gorontalo memakai tangga nada G (G-A-B-C-D-E-F#). Keduanya sama-sama menggunakan 7 nada dan tiap frase berakhir di not G.

Baik gambus Muna maupun gambus Gorontalo, sama-sama dibawakan untuk mengiringi tradisi lisan pantun. Orang Muna menyebutnya ‘kabhanti’, sementara orang Gorontalo menyebutnya ‘panthungi’. Meski musiknya memiliki fungsi yang sama, jika disimak baik-baik, kita bisa temukan perbedaan dalam struktur komposisi lagu. Gambus Muna terdiri dari frase A, frase B, pengulangan frase A, pengulangan frase B, lalu interlude. Sedangkan gambus Gorontalo terdiri dari frase A, frase B, dan interlude yang lebih panjang.

Amonimo te baini, te baini

Aku berkunjung di Baini, di Baini

Aerako, aerako seghulu wela

Aku tangkap, aku tangkap seekor kakatua putih

Aelagu o lagu ini, lagu ini

Aku nyanyikan lagu ini, lagu ini

Agholu-gholu, eda ngkabhela

Aku mengikat-ikat, hati yang luka

Aembulumo ro paria, ro paria

Aku petik daun paria, daun paria

Arawue, arawue ne wea ifi

Aku tutup, aku tutup bara api

Ane pae mbaria-ria, mbaria-ria

Kalau saja tidak senang bercanda, senang bercanda

Nolapamo, nolapamo atidolifi

Tidak akan, tidak akan ada yang melirik

Penggalan pantun di atas dikutip dari kabhanti “Kabelano Lalo”. Pantun ini mengungkapkan hati yang terluka dan perasaan mendamba kehadiran kekasih. Satu bait terdiri dari 4 baris dan memiliki rima a-b-a-b. Pada bait pertama, ‘te baini’ berpasangan dengan ‘lagu ini’, sementara ‘seghulu wela’ berpasangan dengan rima ‘ngkabhela’. Pada bait kedua, akhiran –ria pada kata ‘paria’ selaras dengan ‘mbaria-ria’, sedangkan ‘wea ifi’ berpasangan dengan ‘atidolifi’. Tiap satu baris dalam pantun tersebut dinyanyikan dalam satu frase. Dengan demikian, struktur empat frase dalam satu bait lagu mengikuti struktur pantun yang memuat empat baris.

Pantun yang berima juga dapat kita temukan pada pantun Gorontalo ‘panthungi’ yang ditampilkan Risno Ahaya. “Panthungi Limutu Hulonthalo” mengungkapkan kerinduan seseorang terhadap kampung halamannya di dekat Danau Limboto. Di dalam pantunnya, Risno juga menambahkan kritiknya terhadap kondisi perubahan di sekitar danau, misalnya pada terjemahan lirik “aku dari Sipatana mampir sebentar ke Dumati/kasihan masyarakat zaman sekarang tak ada lagi menangkap ikan” maupun “aku berjalan lagi sampai ke Moggolito/kasihan nasib danau sekarang yang semakin surut”.

Meskipun pengunggah video dokumentasi tidak menyertakan lirik bahasa aslinya, kita bisa menangkap rima a-a pada tiap bait pantun, misalnya bait ke-8 memiliki rima akhiran -to pada kata ‘Monggolito’ di baris pertama dan kata ‘wepito’ di baris kedua.

Dapat disimpulkan bahwa gambus Muna dan Gorontalo berada di dalam wilayah musik yang sama karena memiliki beberapa indikator yang homogen, di antaranya kesamaan instrumen musik petik, warna musik melayu, fungsi musik sebagai pengiring pantun, tangga nada yang terdiri dari 7 nada, dan interval melodi yang sangat mirip.

Kajian ini bisa dikembangkan lagi dengan mempelajari musik gambus dari wilayah lainnya di Sulawesi, sebab saat menelusuri “gambus Makassar” di YouTube,  musik gambus Makassar juga terdengar senada dengan kedua jenis musik gambus sebelumnya. Ya, walaupun bentuk gambus Makassar lebih kecil dan ramping menyerupai perahu. Hal ini membuat saya menduga-duga, apakah musik di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan masih berada dalam satu wilayah musik? Hal ini juga menunjukkan bagaimana antar kelompok masyarakat di pulau yang luas dan besar ini dahulu sudah saling terhubung satu sama lain.

Dok/foto: Puji Hastuti/Wikimedia "Alat Musik Gambus"

Penyunting: Nadya Gadzali