
Pendidikan Musik yang Berkemanusiaan
Musik, terutama berbasis tradisi senantiasa menyimpan kekayaan kultural yang menunggu untuk dibongkar dan dibaca.
Etnomusikolog, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Musik, terutama berbasis tradisi senantiasa menyimpan kekayaan kultural yang menunggu untuk dibongkar dan dibaca.
Di kala komunikasi tidak lagi membutuhkan kehadiran tubuh, jarak telah dilipat lewat dunia virtual-digital, kita masih memperdebatkan persoalan santet dan sejenisnya.
Karya Kinanthie Sandoong memang terdengar problematis. Di satu sisi ia memunculkan satu wacana pembelaan bagi tradisi gamelan bahwa: bergamelan bukan sekadar bermusik namun juga “berilmu pengetahuan”.
Mereka terlunta-lunta mempelajari bidang yang bukan kompetensinya hanya untuk memenuhi permintaan sekolah.
Kesenian Singo Ulung seperti layaknya pertunjukan barongsai, menggunakan medium topeng besar berbentuk hewan (singa) yang menutupi seluruh tubuh pemainnya.
Mereka meninggalkan kegaduhan, melepaskan tahta, memilih menjadi sudra, bergaul kembali dengan masyarakat biasa, bertapa dan kemudian moksa, hilang tak berbekas.
Seniman-seniman tradisi memang mulai banyak beradu keuntungan di jagat digital, tapi ekstase yang didapat adalah berupa katarsis berpentas, bukan keuntungan finansial.
Wayang sinematik telah berhasil menjadi sajian baru yang layak diapresiasi. Setidaknya, menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gersang dan jemunya pertunjukan wayang pada umumnya.
Dicaci tetapi tetap dinikmati. Gerakan mencintai “keanehan” sebenarnya telah berusia lampau, di kala ukuran estetika seni dianggap mengalami kemandegan.
Seringkali tokoh-tokoh pewayangan yang dianggap sakral dan berwibawa, seperti Bima atau Krisna, justru membawakan peran yang menghibur lewat aneka lelucon.