Penolakan terhadap draf RUU KUHP berlangsung secara masif. Banyak pasal yang dianggap merugikan dan beberapa di antaranya dipandang tidak lagi relevan untuk diterapkan dewasa ini (baca peninggalan atau warisan kolonial).

Dari sekian banyak, salah satu pasal yang menuai polemik adalah tentang “santet”. Apabila kita baca draf yang ada, pada pasal 252 misalnya, dijelaskan bahwa setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik, seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Tidak cukup sampai di situ, apabila setiap orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan satu pertiga.

Saat zaman yang telah berkembang dengan begitu pesat, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi mengabarkan berbagai hal tentang rasionalitas, toh hal itu tak menyurutkan konstruksi kebudayaan masyarakat kita dalam hal mengultuskan nalar ritual yang transenden.

Kenapa santet masih bertahan? Tentulah harus dibaca dalam konteks kebudayaan, tidak melulu dari cara pandang rasional berupa pasal-pasal yang seringkali sumir.  

Budaya Tandingan

Seringkali kita membaca fenomena santet di Nusantara sebatas dalam konteks hitam dan putih, alias dalam ukuran benar dan salah. Kita tidak berupaya menelisik lebih jauh kenapa fenomena itu tumbuh dan bertahan kendatipun zaman telah berganti.

Hadirnya nalar ritual atau klenik, harus diakui, diproduksi tidak hanya dalam konteks kehidupan masyarakat akar rumput, tapi juga pada budaya elit. John Pemberton lewat bukunya On The Subject of “Java” (2003) melihat bahwa gejala pemberhalaan pada sesuatu yang transendental (di Jawa) justru dimulai dan dipicu dari dalam tembok keraton.

Dikisahkan, saat Keraton Mataram Islam Jawa mengekalkan ritus pertemuan antara raja dan Ratu Pantai Selatan sebagai sebuah cermin tradisi besar dari apa yang disebut: “kebudayaan adiluhung”, masyarakat kecil menirunya dengan membentuk laku budaya tandingan.  

Jika Ratu Pantai Selatan dipercaya mampu memberi ketentraman dan kehidupan yang baik dalam tembok keraton, masyarakat akar rumput melakukan hal serupa dengan membuat mitos-mitos tentang penghuni sendang, pohon, sumur tua, dan kuburan yang juga dianggap memiliki serpihan-serpihan kekuatan Ratu Pantai Selatan.

Pada akhir abad-19, muncul dengan gempar mitos Mbah Meyek di kampung Bibis Kalang Solo yang berdiam dalam sumur tua. Untuk membawanya agar tampak sepadan dengan mitos Ratu Pantai Selatan, oleh masyarakat setempat, ritual-ritual digelar dengan harapan agar roh (Mbah Meyek) dapat memberi berkah dan keselamatan hidup (sebagaimana yang dilakukan Ratu Pantai Selatan pada keraton).

Begitupun saat keraton mengultuskan senjata-senjata sakti (keris, tombak, parang dan lain sebagainya), masyarakat juga melakukan hal yang sama, mereka menjalani laku spiritual agar memperoleh senjata yang kurang lebih memiliki efek kekuatan serupa.

Tentu kita masih ingat tentang polemik kesaktian Dimas Kanjeng Taat Pribadi beberapa tahun lalu, pimpinan sebuah padepokan besar di Probolinggo, Jawa Timur, yang diyakini mampu menghadirkan (menggandakan?) uang secara gaib.

Ia memiliki puluhan ribu pengikut setia. Pun lebih jauh, munculnya Ponari, bocah asal Jombang dengan batu ajaibnya. Di saat biaya berobat ke rumah sakit dan dokter begitu mahal, hanya dapat dijangkau oleh kalangan bangsawan berduit, masyarakat menempatkan Ponari dengan batu magisnya sebagai upaya budaya tandingan.

Sebagaimana kisah sumur keramat di atas, batu dari Ponari dianggap mujarab menyembuhkan berbagai macam penyakit. Ribuan orang mengantre saban hari dengan membawa sebotol air agar dapat tercelup oleh batu itu. Hal ini sebagai bentuk upaya melawan atau menandingi konstruksi kebudayaan kaum elit berduit yang dengan mudahnya mengakses fasilitas kesehatan tanpa beban (ekonomi).

Para jemaah Dimas Kanjeng adalah wujud “budaya tandingan” dari masyarakat akar rumput terkait sulitnya mencari pekerjaan di negeri ini. Saban hari mereka menyaksikan dan mendengar peristiwa tentang kekuasaan, uang, dan korupsi.

Di layar kaca, mereka melihat kapitalisme melalui kehidupan artis yang menjual kemewahan. Film-film berkisah tentang kekayaan dan kehidupan yang glamor, kisah pejabat negara dengan harta yang melimpah, tak sedikit yang didapat dari hasil korupsi.

Poin terakhir itu setidaknya menjadi penting untuk diperhatikan. Masyarakat merasa haknya telah diambil dan dirampas (dikorupsi). Fenomena mendapatkan uang secara instan dalam waktu yang cepat (korupsi) telah ditontonkan secara jamak dan menjadikan masyarakat kecil melakukan perlawanan serupa dalam bentuknya yang lebih transendental.

Demikian pula dengan kultur santet di negeri ini. Apabila diamati lebih jauh, fenomena ini adalah sebentuk ketidakmampuan manusia Indonesia dalam mengatasi persoalan atau konflik antar sesama, kebuntuan nalar, kemudian memilih jalan penyelesaian dengan santet.

Di kala komunikasi tidak lagi membutuhkan kehadiran tubuh, jarak telah dilipat lewat dunia virtual-digital, kita masih memperdebatkan persoalan santet dan sejenisnya. Lebih jauh, pembacaan pada santet juga tak cukup dengan hanya melihatnya dalam kacamata transendental (secara klenik dan magis), tetapi juga ditelusuri lebih dalam terkait latar belakang, kebudayaan, eksistensi dan sejarahnya.

Barangkali, kita masih membutuhkan santet sebagai suatu bentuk budaya tandingan, di kala hukum memang tak lagi berpihak pada rakyat. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika demikian, biarkan santet yang berbicara. Aduh!

[Disclaimer] foto pendukung tulisan hanya sebatas ilustrasi, tidak mewakili praktik klenik atau ritual mistis etnis tertentu.  

Penyunting: Nadya Gadzali