Pulau Bungin, salah satu desa yang terletak di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa. Sebuah desa berpenduduk lebih dari 3000 jiwa yang disebut-sebut sebagai pulau terpadat di dunia.

Saya pernah melakukan riset di Pulau Bungin dan menyaksikan pemandangan yang unik ketika pertama kali menginjakkan kaki di desa itu. Saya melihat kambing memakan kardus dan kertas, biasanya kambing memakan daun dan rumput-rumputan. Bahkan, menurut masyarakat Bungin, kambing kerap masuk ke dalam rumah warga.

Ketika warga Bungin ingin membangun rumah, mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk membeli tanah yang ditumpukkan diatas batu karang, sehingga tanah itu akan menjadi padat dan menjadi tempat layak untuk mendirikan rumah.

Mayoritas rumah di Pulau Bungin masih tinggal rumah panggung seperti masyarakat Sumbawa lainnya. Pengerjaan rumahnya pun masih menggunakan sistem gotong royong, sehingga solidaritas dan kekeluargaan masyarakat Bungin masih erat. Kuatnya budaya gotong royong, selain kaya akan budaya dan tradisi.

Adanya atau ditempatinya Pulau Bungin erat kaitannya dengan tokoh sakti dari Suku Bajo, yakni Panglima Mayu. Menurut Arif (keturunan Panglima Mayu) suatu hari Panglima Mayu dengan keluarganya berlayar dari Sulawesi, namun di tengah perjalanan tiba-tiba kapal yang ditumpanginya di bawah oleh angin besar ke suatu tempat, yakni di tengah laut, tetapi gundukan pasir akan muncul ketika air sedang surut.

Pulau itu dijadikan pangkalan para bajak laut dari Johor, Malaysia, lantaran cukup dekat dengan pemukiman penduduk. Segerombolan bajak laut pernah menculik si Rantaq dan si Tentah dari Kampung Labu Sawah dan Bajo Rai ketika kedua warga tersebut sedang memancing di laut.

Peristiwa tersebut sampai ke telinga Panglima Mayu, sehingga suatu hari ia mendatangi markas bajak laut dan menantangnya untuk mengadu kesaktian.

Dikarenakan Panglima Mayu memiliki ilmu kedigdayaan atau kejayaan, segerombolan bajak laut mampu dikalahkan dan dipukul mundur dari pulau itu. Masyarakat merasa aman dari ancaman bajak laut.

Cerita tentang kekalahan dan terusirnya gerombolan bajak laut terdengar sampai Kerajaan Sumbawa, sehingga Panglima Mayu dipanggil oleh Sultan Sumbawa, Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II (memimpin tahun 1762-1765) untuk datang ke Kesultanan Sumbawa.

Panglima Mayu memenuhi panggilan Sultan Sumbawa dan mendapat amanah dari sultan untuk menjaga daerah miritim Kesultanan Sumbawa yang terbentang dari Labu Lalar sampai Labu Bontong.

Selain diberi amanat itu, Panglima Mayu juga diperintahkan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II untuk mendiami Pulau Bungin bersama dengan keluarganya, sehingga sampai saat ini Pulau Bungin masih didiami bahkan jumlah kepala keluarga semakin bertambah.

Selain mendiami Pulau Bungin, Panglima Mayu menjaga keamanan dan ketenteraman daerah maritim Kesultanan Sumbawa, juga dihadiahi bendera Kesultanan Sumbawa oleh Sultan Sumbawa yakni bendera perang atau biasa disebut dengan bendera lipan api.

Bahkan, sampai sekarang bendera tersebut masih disimpan oleh keturunan Panglima Mayu dan sudah berusia 1 abad bahkan lebih, sebagai saksi kejayaan Kesultanan Sumbawa.

Masyarakat Pulau Bungin masih mempertahankan adat dan budaya yang diwarisi oleh nenek moyangnya di tengah kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Selain mempertahankan identitasnya (budaya) masyarakat Bungin juga mempertahankan atau menjaga bahasa, yakni bahasa Bajo yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, tetapi mereka juga mengerti bahasa Sumbawa.

Eksistesi budaya di Pulau Bungin tentu dipengaruhi oleh masyarakatnya yang sadar akan mempertahankan identitasnya, di tengah derasnya arus modernisasi dan munculnya budaya-budaya luar, bak jamur di musim penghujan.

Dalam masyarakat Bungin banyak kita temukan budaya, ritual dan adat, seperti tradisi Toyah (dalam bahasa Bajo adalah ayunan), sadekah laut, tradisi Joge Bungin, tradisi doa tolak bala dan lain-lain.

Joge Bungin adalah sebuah ritual yang dilakukan masyarakat Bungin dalam bentuk tarian pada acara pernikahan dan khitanan. Pelaku Joge Bungin ini adalah nenek-nenek yang sudah berusia 40 tahun bahkan lebih. Ritual ini sangat sakral di dalam masyarakat pemiliknya, sehingga ritual tersebut harus dilakukan atau dilaksanakan oleh masyarakat Bungin.

Menurut kepercayaan orang Bungin, jika tidak dilakukan acara Joge Bungin maka akan berdampak keburukan atau kesialan terhadap pengantin dan anak yang dikhitan, seperti kelamin lama sembuh atau kelamin terus-menerus mengeluarkan darah.

Saking sakralnya Joge Bungin, pengantin tidak boleh tidur bersama sebelum menggelar acara Joge Bungin kendati mereka (pengantin) menurut aturan agama sudah sah. Tradisi Joge Bungin tempo dulu dilakukan setelah salat isya sampai menjelang waktu salat subuh, tetapi sekarang hanya dilakukan hanya sebentar atau beberapa menit.

Acara ini dipimpin langsung oleh Sandro(orang pintar), namun yang menarik dalam ritual ini adalah menggunakan berbagai perlengkapan seperti keris, telur ayam, parang, bunga, tombak, dila malam, bendera, beras, air, kendi, dedaunan dan lain-lain, sehingga bahan-bahan yang digunakan menarik untuk dikaji maknanya dan dikupas dalam bentuk tulisan agar menjadi pengetahuan bagi masyarakat umum.

Ritual Joge Bungin bukan tradisi yang hampa makna dan tujuan, tetapi memiliki makna dan tujuan yang hendak ingin dicapai dalam kehidupan masyarakat Bungin. Selain Joge Bungin yang ditampilkan, ada juga ritual menyiapkan air di dalam kendi kecil dan di dalam kendi kecil itu terdapat keris yang selalu digunakan dalam ritual yang disebut Tannah Boeh atau menyiapkan air.

Air di dalam kendi didiamkan semalam suntuk. Menjelang salat subuh, air di dalam kendi digunakan untuk memandikan pengantin. Upacara adat memandikan pengantin dilakukan oleh Sandro yang memimpin ritual Tannah Boeh.

Pengantin didudukkan di depan pintu kemudian dimandikan. Telur ayam sebagai simbol dibuang lewat pintu rumah. Masyarakat Bungin memaknai ritual memandikan pengantin tidak hanya untuk membersihkan badan atau lahiriah saja, tetapi juga membersihkan batiniah dari sifat-sifat buruk, agar dalam menjalin rumah tangga tidak terjadi hal-hal yang buruk yang bersumber dari hawa nafsu dan berdampak pada ketidaksakinahan bahtera rumah tangga.

Adapun telur ayam yang dilempar sehabis pengantin dimandikan juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Bungin, maknanya adalah agar kesialan dan sesuatu yang buruk tidak terjadi dalam rumah tangga, serta terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Jika melihat dari makna tradisi Joge Bungin, Tannah Boeh dan membuang telur, ritual-ritual itu merupakan bentuk ikhtiar, harapan, dan munajat doa yang dilakukan oleh masyarakat Bungin untuk kemaslahatan pengantin dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, sebagaimana masyarakat Sumbawa yang berprinsip bahwa hanya kematianlah yang dapat mengakhiri suatu ikatan pernikahan (seka neng pangkali).

Penyunting: Nadya Gadzali