Indah kabar dari rupa, tutur sebuah peribahasa. Kita kerap memaknainya sebagai kabar selalu melebihi keadaan sebenarnya. Ungkapan ini memberikan nasihat tak langsung. Tidak menggunakan kalimat imperatif, tidak melarang, tetapi ungkapan itu menggemakan salah satu watak tercela manusia yaitu kebohongan.

Lembaga pendidikan melalui perangai ilmiahnya ternyata tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga memahat kecakapan nonteknis seperti karakter siswa, kecerdasan sosial, kemampuan adaptasi, dan seterusnya. Praktik ilmiah, misalnya, menguji sikap objektif pelajar. Di sini, kejujuran seseorang dipertaruhkan. Tanpa menambah mata pelajaran yang terkait langsung dengan pendidikan karakter, praktik-praktik ilmiah yang dijalankan dengan ketat sebenarnya sudah bisa menata tabiat siswa.

Tetapi, aktivitas ilmiah hanyalah salah satu cara menempa bawaan seseorang. Ada jalan lain yang lebih tua, cara yang digunakan leluhur kita sebelum mengenal aksara: Membangun sifat manusia melalui bahasa. Salah satu ragam retorika yang kita warisi dari nenek moyang, yaitu peribahasa.

Sebagaimana yang telah disinggung, wawasan peribahasa tidak disampaikan secara langsung seperti ungkapan ada udang di balik batu atau buruk muka, cermin dibelah. Kata-kata itu menyembunyikan maksud. Kalimat peribahasa membutuhkan tafsir dan guru di sekolah dasar telah menerjemahkannya untuk kita.

Gaya implisit peribahasa diciptakan dengan motif untuk menjaga perasaan lawan bicara, sebab lidah tak bertulang. Kata-kata tajam yang berpotensi menyinggung perasaan bisa diakali dengan menggunakan tamsil.

Tetapi tamsil tidak hanya memiliki fungsi etis. Pada masyarakat kelisanan yang hanya mengandalkan memori, metafora juga menjadi alat untuk menahan ingatan. Tuturan yang menggunakan permainan rima lebih mudah dihafal ketimbang kata-kata yang memiliki bunyi centang perenang. Itulah mengapa puisi lisan seperti pantun, syair, seloka, talibun, karmina, bidal, atau gurindam yang dilahirkan masyarakat mnemonik menjadikan rima untuk memudahkan transmisi pengetahuan dan mengawetkan ajaran-ajaran tersebut dalam ingatan generasi penerusnya.

Peribahasa memang tidak dikategorikan dalam karya sastra (lisan), melainkan peranti-peranti sastra seperti metafora. Ditilik dari fungsinya, peribahasa memiliki peran seperti sastra. Horace akan setuju jika—sebagaimana sastra—peribahasa menghibur (dulce) dan bermanfaat (utile). Sisi menyenangkan peribahasa bisa dilihat dari akrobatik kata-katanya yang tak lugas. Sementara itu, peran mendidik peribahasa tersembunyi di balik ungkapan-ungkapannya.

Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, Aristoteles telah memberitahu kita bahwa sebuah persuasi yang mangkus ditentukan oleh kualitas komunikator dalam menyampaikan logos (logika), pathos (emosi), dan ethos(etika).

Retorika dimaknai sebagai seni bertutur elok. Retorika dianggap seni berbicara yang baik, sebab ia berkaitan dengan keterampilan bertutur dan berorasi ringkas, lugas, padat-berbobot, dan mengesankan.

Di Yunani Kuno, seni berbicara semacam ini didemonstrasikan para kaum sofis. Sisi mengesankan sebuah peribahasa dapat dilihat dari kemampuannya menghadirkan perangkat retorika.

Peribahasa tidak memersuasi audiensnya secara langsung. Pertama-tama, sebagaimana retorika ala Aristoteles, ia harus mengesankan. Kesan sebuah peribahasa dapat ditemukan dari bagaimana ia menggunakan sifat dan perangkat retorika: padat dan figuratif.

Ketika sebuah ungkapan yang berbunga-bunga menarik impresi, audiens akan terdorong untuk menafsirkannya. Pertemuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) yang padu, bahasa dan makna yang tepat dan mengesankan, akan mendorong seseorang untuk mengubah sikap.

Di sinilah kita melihat sihir bahasa. Dahulu, sebagai bunyi, peribahasa memiliki daya sugestif ketika digunakan oleh masyarakat yang tidak mengenal tulisan. Ia mengandung energi psikokinetik yang menggerakkan perilaku seseorang. Maka, sebagaimana magi mantra, ia dirapalkan kepada para pendengarnya. Di dunia modern, sihir bahasa kerap dimanfaatkan oleh para motivator untuk memengaruhi audiens.

Tak hanya itu. Sebagai bangsa yang memiliki kultur nan lekat dengan agama, para rohaniwan acapkali mendakwahkan ajaran-ajaran religius melalui peribahasa. Tuturan beramsal seperti yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu yang tercatat di Injil atau hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali dalam hadis Nabi, memperkaya khazanah peribahasa di Nusantara. Bahkan, peribahasa habis gelap terbitlah terang yang penciptanya nisbatkan kepada Kartini bisa jadi pengadopsi ayat dalam kitab suci: setelah kesulitan, ada kemudahan.

Namun tak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan wahana alami untuk mentransfer peribahasa kepada anak muda. Generasi tua, kakek-nenek kita, yang pernah hidup cukup lama pada masa kelisanan akan spontan melontarkan peribahasa sebagai nasihat atau tanggapan ketika berhadapan dengan perilaku anak-cucunya. Apalagi dalam hajatan keluarga, misalnya, percakapan seringkali didominasi generasi tua dan melempar peribahasa menjadi kebiasaan yang tak terelakkan.

Di samping keluarga, lembaga pendidikan juga berkontribusi menebarkan peribahasa lama. Petuah-petuah beribarat yang dahulu hanya disampaikan dari mulut ke mulut tersebut bertahan karena tertera dalam buku-buku. Pada pelajaran Bahasa Indonesia, guru mengenalkan peribahasa-peribahasa lama kepada siswa.

Keluarga dan sekolah, kedua domain tersebut, kita akui telah berperan besar dalam melanjutkan tradisi berperibahasa. Namun, kini kita berhadapan dengan era virtual di mana layar gawai berkontribusi lebih sangkil dan mangkus dalam proses pewarisan peribahasa.

Jika Walter J. Ong memberi istilah ‘kelisanan kedua’ pada tradisi lisan pasca-tulisan, kini munculnya media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram memindahkan kelisanan ke medium lain: dunia maya.

Gaya tutur media sosial yang menyerupai obrolan menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia masih hidup di alam kelisanan (itulah mengapa wahana video lebih digemari ketimbang media tulisan). Sebagian orang akan menganggap bahwa kegandrungan generasi kiwari pada layar gawai merupakan sebuah kelemahan. Tetapi dalam konteks peribahasa yang tengah didiskusikan ini, barangkali kita boleh berharap dengan mengubah kelemahan itu menjadi kelebihan.

Tiktok dan Instagram kerap menyuguhkan konten video dan panel-panel berupa kutipan kata-kata mutiara. Tiga tahun lalu wabah mulai menghajar kita dan trauma pandemi telah menyisakan kesadaran baru tentang ketakpastian hidup. Itulah mengapa konten-konten berbau stoik menjadi kian subur. Tema stoik dibutuhkan untuk menghibur kemuraman anak-anak muda yang galau memikirkan arah masa depannya.

Dengan cara kekinian jualah peribahasa dapat dialihwahanakan. Pepatah-pepatah lama itu bisa ditampilkan dalam video dan panel yang menarik. Bahkan, peribahasa yang didimoninasi dialek Melayu akan lebih tepat ke sasaran anak muda jika dimodernkan menjadi bahasa yang akrab mereka gunakan dalam pergaulan sehari-hari.

Seberapa efektifkah peribahasa dalam membentuk tabiat anak-anak muda masa kini? Kita tidak tahu. Hal itu bergantung pada seberapa eratnya hubungan sebuah peribahasa yang terbaca seseorang dengan persoalan yang tengah dihadapinya.

Setidaknya kita telah berupaya—menurut cara zaman kita—untuk merevitalisasi warisan kebijaksaan lokal tersebut agar sintas. Sebab kita tahu, peribahasa bukan sekedar tumpukan kata-kata yang bersolek. Peribahasa adalah cermin yang memantulkan karakter sebuah bangsa. Dengan menanam peribahasa kepada generasi muda, kita berharap dapat memanen budi yang merefleksikan sifat bangsa kita sendiri.

Penyunting: Nadya Gadzali