Karya seniman Bali kembali hadir di Lawangwangi Creative Space. Kali ini, I Ketut Teja Astawa, pelukis dengan bahasa visual hybrid khas yang dikategorikan sebagai pascatradisi, terakomodir di antara lipatan dua fasilitator pameran seni terkemuka, Galeri Zen1 Bali dengan ArtSociates (Lawangwangi) Bandung.
Karya epik inkonvensional itu adalah upaya untuk menghidupkan kembali warisan kuno melalui platform komposisi abstrak, menurut Rizki Ahmad Zaelani, kurator pameran tunggal Teja Astawa bertajuk "The Unusual Epic".
Kehidupan sehari-hari masyarakat awam menjadi gagasan artistik Teja dalam menampilkan gambaran epik khas Kamasan yang bersifat luhur dan bermuatan sejarah yang terikat dengan tempat-tempat suci Hindu.
I Ketut Teja Astawa ingin mempertahankan tradisi Kamasan bercorak pewayangan, namun di saat yang sama hendak melintasi batasan itu melalui eksplorasi warna, penyederhanaan bentuk, dan permainan bidang yang tak biasa. Keunikannya terletak pada figurasi bentuk yang lugu, spontan, dan di saat yang sama juga berani.
Peneliti budaya dan kurator Jean Couteau mengidentifikasi Teja Astawa sebagai seniman yang brilian dalam warna. Teja Astawa tumbuh sebagai generasi seniman Bali yang terdidik secara formal di akademi seni; karya-karya lukisannya pun dimaksudkan untuk menafsirkan perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, menurut pindaian Couteau.
Direktur ArtSociates, Andonowati, mengoleksi tak kurang dari 40 lukisan Teja yang dipamerkan bersama karya-karya baru di Lawangwangi sepanjang 15 Desember 2023 hingga 15 Januari 2024 nanti. Ia menginisiasi pameran dengan spirit retrospektif yang mengakomodir alur perkembangan Teja dari masa ke masa (complete series).
Persinggungan antara yang lama dan yang baru itu serupa benang yang ditarik utuh, sejak Teja masih duduk di bangku kuliah hingga saat ini, dan ke depannya diharapkan dapat terus mengawal progress Teja Astawa, sebagaimana diungkap Nico, pendiri Galeri Zen1. Sebab baginya, belum pernah ada karya seniman Kamasan yang sesimbolik ini, dalam konteks seni kontemporer.
Selaku kurator, Rizki mengemukakan bahwa seni lukis Kamasan sesungguhnya lebih luhur dan tradisional, namun Teja menghendaki adanya pembebasan. Ia membongkar tradisi Kamasan dengan membuka ruang bagi penafsiran seluas-luasnya dan menggali kedalaman dari banyak segi, baik kisah pewayangan, lakon Wayang Beber, pengalaman pribadi, hingga perangkat untuk mengemukakan kritik dan gagasan.
Paradoks karya-karya Teja menjadi sublim ketika dapat ditafsirkan secara luas. Tradisi selalu menjadi latar belakang, namun ia tidak melihat tradisi sebagai sesuatu yang suci, spiritual, yang membatasi penafsiran dan kreativitas, ungkap Andonowati.
Senada dengan pernyataan Asmudjo yang meresmikan pameran Teja, ia menangkap fenomena bahwa orang Bali sulit keluar dari tradisi lantaran secara sosio-genesis berada di dalamnya dan hidup dengan nilai-nilai tradisi.
Keengganan untuk mengikuti arus zaman hanya akan membuat seni lukis Bali tertinggal di belakang dan sulit berkembang. Teja menyatakannya melalui latihan perang, antikekerasan, peluru karet, penguasa yang disimbolkan dengan raksasa, hingga strategi bertahan dengan bentuk kura-kura. Fragmen yang diangkat dari wiracarita (Mahabharata dan Ramayana) yang bersifat eposal selalu muncul di alam bawah sadar Teja, bahkan ketika anak panah secara intuitif ia gambarkan sebagai senjata yang lentur, melengkung ketika mengenai sasaran.
Seni lukis dari Desa Kamasan dalam pandangan dua orang asing—Miguel Covarrubias, seorang etnolog, sejarawan seni, dan ilustrator berkebangsaan Meksiko, serta Rudolf Bonnet, pelukis Belanda yang notabene merupakan karib Covarrubias—tak lebih dari karya seni tradisional yang bersifat monoton dan repetitif sehingga sulit menampilkan orisinalitas, namun keduanya diketahui menjadi kolektor lukisan Kamasan terbaik di kemudian hari.
Sebagai salah satu seni klasik Bali, lukisan gaya Kamasan juga mengundang decak kagum Umar Kayam— penulis, budayawan, sekaligus akademisi yang mengamati seni lukis Bali di era modern—yang dengan bangga mengatakan bahwa sifat tradisional-klasiknya masih tetap hidup sebagai seni fungsional, anonim, dan sebagai bagian dari kosmos kehidupan yang utuh dan milik bersama (Kayam, 1981:60).
Seni lukis Kamasan memiliki karakteristik komunal dan berciri religius namun tetap dapat diperlakukan sebagai komoditi. Itulah tampaknya yang membuat seni lukis Bali mampu bertahan di tengah geliat zaman yang kerap menempatkan karya-karya seni arkais pada dilema dan situasi kompleks.
Lukisan-lukisan Teja Astawa mengekspos penyederhanaan bentuk wayang melalui ekspresi karikatural yang diparodikan, namun gagasan artistiknya tetap menggambarkan realitas kehidupan masyarakat Bali (atau bukan Bali) yang sarat filosofi.
Seni lukis Kamasan merupakan ekspresi tradisi seni yang terikat pada kepentingan ajaran nilai-nilai agama dan kepercayaan sebagai bagian dari keindahan dan cara manusia memperoleh salah satu sifat Tuhan, yaitu Sundaram (keindahan), di samping sifat Satyam (kebenaran), dan sifat sivam (kesucian). Seni, pada dasarnya, menandakan ekspresi kehadiran Tuhan (Karja, 2020: 11).
Pewayangan menjadi narasi budaya yang diartikulasikan secara intens oleh Teja, sembari mendaras daya magis, kekuatan alam, dan prinsip kosmologi Bali. Dalam “Logic of Sensation,” Gilles Deleuze menjelaskan bahwa daya kekuatan (force) memang mesti dirasakan berpengaruh secara langsung terhadap tubuh dan berbeda dengan pengaruh daya itu terhadap kondisi yang memungkinkan adanya pengalaman merasakan itu (Deleuze, 2004: 48).
Tradisi yang liris diungkap Teja melalui bentuk-bentuk wayang yang memiliki kaitan erat dengan figurasi bentuk dan ekspresi bidang-bidang warna, jauh sebelum ia mengeksplorasi yang epik dari kehidupan sehari-hari.
Ketika meresmikan pameran, Asmudjo (officiated) melengkapi paparan karya Teja dengan menghubungkan antara struktur bentuk wayang yang memiliki pakem tradisi dengan imajinasi sang seniman yang tercipta dari pengalaman-pengalaman dan peristiwa hidup.
Aspek emansipatif seperti poskolonial dan feminisme kerap muncul ke permukaan. Dalam pandangan Asmudjo, fenomena itu terjadi lantaran pengaruh pendidikan formal. “Ketika seniman Bali mulai sekolah, maka yang terjadi adalah bentuk-bentuk hibrida.”
Seperti pariwisata, Teja mengelola aspek hibriditas sambil tetap mengandalkan warisan tradisi. “Lukisan lama Teja itu mengandung aspek formal, tradisi, dan ekspresi kritis, termasuk pariwisata Bali yang problematis, menjadi sumber ekonomi di satu sisi, namun menjadi sumber persoalan di sisi lainnya.
Konteks persoalan dalam karya-karya Teja dibangun di atas struktur narasi yang unik. “The unusual epic” menjadi medium penyampai pesan dan pengalaman estetik Teja yang disusun secara acak dari pelbagai dimensi ruang dan waktu atau yang disebut dengan concentric plot.
Intensitas yang unik dari sebuah karya seni, termasuk karya-karya Teja Astawa yang oleh tim ArtSociates dirumuskan sebagai hal “epik yang tak biasa”, agaknya mampu menjawab pertanyaan Deleuze tentang yang esensial dari sebuah karya seni. Perbedaan yang mutlak, tak terbantahkan, dan mengkonstistusi tiap keberadaan atau eksistensi (manusia), serta menjadikan masing-masing manusia sebagai eksistensi hidup yang bisa dipahami (Deleuze, 1972:41).