Persoalan estetika dan kisah di balik penciptaan karya dari koleksi benda seni kerap menjadi perhatian para kolektor. Di kawasan Cigadung, Kota Bandung, kediaman seorang seniman tak pernah sepi pengunjung.

Alat pertanian dan perkakas dapur tradisional yang ia kumpulkan dari masa ke masa ditata sedemikian rupa sehingga memiliki daya tarik dan membangkitkan antusiasme, khususnya bagi para pecinta benda-benda klasik.

Orang boleh saja beranggapan bahwa benda-benda itu tak berguna lagi, apalagi dalam denyut kehidupan masyarakat modern yang dituntut serba cepat dan praktis. Tetapi dalam semesta Rosid, benda-benda budaya seperti hawu, seeng, aseupan, dan lisung tak hanya menyimpan kenangan, tetapi juga menangkap dan mengalirkan energi.

Sebagai perupa yang tumbuh dalam tradisi Sunda, tak sulit bagi Rosid memberi ruang dan getar pada benda-benda budaya. Tengok saja di salah satu sudut galerinya, koleksi macam-macam alat pertanian dan perkakas dapur dari berbagai daerah seolah mengungkap narasi tentang kekayaan budaya Nusantara.

Dalam pindaian saya, jika orang begitu giat mengoleksi barang antik atau benda seni, orang itu sedang menjalankan ikhtiar untuk memberi tempat yang istimewa bagi masa lalu.

Upaya mengoleksi benda melalui penelusuran jejak budaya, orang tak hanya dapat mengenang tetapi juga lebih siap menghadapi realitas hari ini dan masa mendatang.

Jika kemudian kolektor benda seni dan barang antik melakukan tindakan-tindakan di luar kelaziman selepas memburu benda-benda tertentu, besar kemungkinan mereka telah tergugah suatu pengalaman estetik atau jatuh hati pada sejarah benda-benda itu.

Tatkala konsep pengalaman estetik disandarkan pada teori Dewey, art as experience, istilah itu seolah menggambarkan pengalaman subjektif lantaran adanya kontak dengan gejala keindahan, dan pengalaman itu muncul setelah kualitas keindahan dikenali atau disadari.

Saat jiwanya tersentuh, seseorang cenderung menyatu, berimajinasi, dan terdorong untuk memanifestasikan keindahan dengan beragam cara. Ia berpeluang menjadi subjek yang memahami dunia secara berbeda menurut intuisinya, di luar prediksi, dan kreatif, melalui isyarat simbol, bahasa, warna, bunyi, maupun gerak.

Dari situlah kemudian mulai terrengkuh lapisan yang paling mendasar, yaitu merromantisasi atau mempertautkan kisah hidupnya dengan pelbagai memori benda. Semacam angan-angan untuk mengaitkan identitas dirinya dengan benda-benda tertentu, membawanya pada daya cipta, menyalin rupa benda-benda lama sehingga mampu menerjemahkan gagasannya yang paling abstrak.

Sulit merumuskan benda-benda budaya apa saja yang terbilang layak koleksi. Lebih kepada nilai historis, artistik atau kelangkaannya? Beberapa benda mungkin berhasil menjaring kesepakatan umum sebagai benda yang memenuhi kriteria untuk dikoleksi, seperti lukisan, patung, topeng, atau benda-benda seni lainnya.

Namun berbeda dengan benda tradisi. Nilai artistik dan historisnya seringkali baru mendapat perhatian ketika benda-benda itu semakin tersisih dari kehidupan masyarakat antroposentris.

Perburuan benda budaya umumnya merujuk pada definisi benda yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, terbuat dari material yang sulit diperoleh, tergolong benda pusaka atau terkait dengan upacara ritual suatu etnis.

Butet Kertaradjasa pernah menulis tentang perlakuan para kolektor terhadap benda-benda seni yang mereka gemari. Bahwa ketika seseorang berani merogoh saku sangat dalam bahkan sampai miliaran rupiah untuk membayar sebuah karya maestro ternama, sebenarnya ia tidak sedang membeli sebentang pigura dengan sehelai kanvas yang ditoreh dengan sebetan kuas atau cat minyak an sich. Melainkan membeli sepotong sejarah untuk kemudian menempelkan buah cintanya di dinding rumah. Itulah amsal dari perspektif budaya.

Orang-orang seperti Rosid yang sudah mengadu nasib di jalur perjuangan sebagai seniman, membendakan sejarah dan menuangkan rekaman perjalanan hidup melalui seni berarti mengembalikan peristiwa budaya pada kemurniannya. Alam pikir Rosid memiliki dinamikanya sendiri, yang unik dan eksentrik. Sebab kita akan dengan segera menjumpai pernyataan sederhana dan humanis ketika ia ditanyai soal latar belakang penciptaan karya-karyanya.

Persepsi dan standar tentang benda koleksi memang kembali pada minat dan selera pribadi kolektor, kendati dalam perbincangan, kita sering mendengar bahwa benda tertentu lebih digandrungi lantaran bernilai investasi tinggi, prestisius dan liquid. Berbeda dengan kolektor benda-benda budaya yang umumnya terdorong oleh semangat pelestarian dan edukasi.

Dalam konsep tradisi paskamodern, perubahan fungsi benda-benda sosial menjadi benda-benda seni yang dipamerkan dan dinikmati secara visual tanpa mempersoalkan lagi kegunaannya merupakan gejala estetikasi kehidupan sehari-hari.

Karl Marx menyebut gejala itu sebagai ‘fetisisme komoditas’, di mana semakin tua usia suatu benda, semakin unik bentuknya dan langka jumlahnya, semakin terpenuhi pula kriteria collectible items pada benda itu.

Istimewanya, dalam era disrupsi teknologi, Rosid tetap mengusung gagasan masyarakat terdahulu tentang teknologi tradisional. Benda-benda yang dianggap usang dan hampa makna disusun kembali menjadi sebangun karya instalasi yang menggambarkan corak kehidupan masyarakat agraris. Dorongan reflektifnya tak lain adalah untuk mengabadikan ingatan masa kecilnya, termasuk bagaimana benda-benda itu terhubung dengan dirinya.

Seni instalasi dan lukisan yang dipamerkan di Studio Rosid—nama galeri seni dan kedai kopi yang ia dirikan sejak tahun 5 tahun lalu itu—seluruhnya terinspirasi dari benda-benda yang ada di tempat tinggalnya di Parigi, Pangandaran, Jawa Barat. Sejak kecil ia sudah terpapar benda-benda budaya khususnya alat-alat pertanian, mengingat ibu dan bapaknya bekerja sebagai petani.

Rumah Budaya Rosid & Cafe yang didirikan di areal seluas 1200 meter persegi itu terdiri dari tiga bangunan utama, yakni studio, saung yang terbuat dari lumbung padi Jawa Timur, dan galeri seni. Tribuana rekaan Rosid banyak menampilkan Yapin dan Sutijem, kedua orang tua yang merawat, membesarkan, sekaligus mengilhaminya dalam penciptaan karya.

Sejauh pengamatan saya, jangkarnya tak pernah terlempar jauh dari kekaguman terhadap ibu dan bapak, yang menjadi sumber inspirasi utamanya kelak, dan berpengaruh besar terhadap kepakarannya di bidang seni rupa.

Disadari atau tidak, benda-benda budaya yang dijumpai di Studio Rosid merupakan kala mula perkembangan teknologi mutakhir yang digunakan masyarakat modern saat ini. Berawal dari lumbung padi khas Jawa Timur yang diperoleh dari seorang kolektor di kawasan Dago Pakar pada tahun 2006, workshopnya secara bertahap menjadi ruang pamer, dan lambat laun mendekati tampilan konservatorium peralatan tani dan perlengkapan rumah tangga (tradisional).

Semula, lumbung padi itu semacam pojok literasi, spot untuk membaca yang disediakan bagi para pengunjung. Rosid menamainya ‘lumbung ilmu’, kemudian lambat laun menjadi ‘pancer’ Studio  Rosid.

Pernah di tahun 2013, lumbung itu diterbangkan ke Singapura untuk menjadi salah satu karya instalasi yang dipamerkan di Singapore Biennale selama empat bulan, pameran seni kontemporer dua tahunan berskala internasional yang berfungsi sebagai platform dialog antarnegara. “Ada yang kurang, tempat ini rasanya beda, kalau lumbung ini tidak ada.”, ungkap Rosid. Bukan asumsi semata, kesan itu ia dengar sendiri dari pengunjung tetap kedai kopinya.

Rosid adalah tuan rumah dari semesta instalasi dan lukisan yang ia ciptakan, karya-karyanya telah mendunia, namun ia lebih senang menyebutnya bakat alami yang diberikan Sang Pencipta. Galeri seni dan kedai kopi yang menampilkan konservatisme itu sedia memerangkap pengunjungnya ke masa lalu. Saya sendiri, secara sukarela terperangkap di dalamnya.

Mengenali semesta Rosid sebagai kolektor benda seni, termasuk usahanya menelisik motif-motif di balik fetisisme komoditas peralatan dapur dan perkakas tani, sesungguhnya kita sedang belajar tentang arti rendah hati.