Di dalam Negarakrtagama, kitab karangan Mpu Prapanca, Kompleks Candi Surawana disebut sebagai bangunan suci Surabhawana, tempat pendharmaan Bhre Wengker bersama Wijayarajasa yang dibangun di akhir abad ke-14 masehi atau diperkirakan pada tahun 1390-an, lalu selesai di tahun 1400-an dan sempat dikunjungi Hayam Wuruk sehabis melawat dari wilayah yang sekarang dikenal dengan Blitar.
Berlokasi di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 28 kilometer dari Kota Kediri atau 105 kilometer dari Kota Surabaya. Arsitektur candi berbentuk bujur sangkar dengan luas kurang lebih 8x8 meter, menghadap ke arah barat, dan memiliki satu tangga terbuat dari bebatuan andesit.
Dinding candi dihiasi ukiran yang menggambarkan adegan-adegan mitologi Hindu, antara lain Sri Tanjung, Bubuksah-Gagang Aking, dan Arjunawiwaha. Sedangkan alasnya dihiasi dengan ukiran yang berkaitan dengan tantri, ghana, dengan elemen flora, fauna, atau upacara.
Dilansir dari Kompas.com yang memberitakan petikan narasi dari Kitab Negarakrtagama, disebutkan bahwa Bhre Wengker membuka hutan di Churabahna. Diduga pula Surawana, Pasuruan, dan Pajang yang merupakan wilayah kekuasaannya.
Kemungkinan besar candi ini didirikan untuk menghormati Bhre Wengker, mertua Hayam Wuruk sekaligus penguasa wilayah yang masih berada di bawah yurisdiksi Kerajaan Majapahit.
Di sebelah selatan candi terdapat pecahan dan bongkahan komponen batu dari struktur asli Candi Surawana. Berdasarkan informasi dari situs resmi Kabupaten Kediri, nama asli candi itu adalah Wishnbhawanapura. Selain itu, muncul dugaan bahwa beberapa pilar di dalam candi berasal dari abad ke-14.
Alasan kuat dibangunnya candi ini ditujukan untuk memuliakan Bhre Wengker, mertua Hayam Wuruk sekaligus penguasa dari wilayah Wengker yang masih bagian dari Kerajaan Majapahit.
Di bagian selatan candi terdapat fragmen komponen bangunan dari Candi Surawana. Berdasarkan keterangan dari laman resmi Kabupaten Kediri, dijelaskan bahwa nama asli dari Candi Surawana adalah Wishnubhawanapura.
Diperkirakan, balok-balok yang berada di Candi Surawana berusia lebih dari 600 tahun. Di dalamnya terdapat arca sebatas dada bertangan empat yang diletakkan terpisah dari Candi Surawana dengan wajah yang sudah sedikit mengalami kerusakan.
Sebuah arca batu lain ditemukan tidak memiliki bagian bawah serta bagian atas rusak. Arca itu memiliki perawakan seperti seorang pendeta berjanggut bertubuh bungkuk dengan hiasan di telinga dan lehernya, sementara untuk posisi tangannya menyangga ke atas.
Masih di laman yang sama, dijelaskan bahwa pada kaki Candi Surawana juga terdapat relief berupa cerita fabel atau cerita yang berkaitan dengan binatang dan tantri.
Kegiatan pelestarian telah dilakukan sejak masa Hindia Belanda, N.W. Hoepermans melakukan inventarisasi untuk pertama kalinya, selanjutnya dilakukan pemugaran oleh D.M Verbeek dan J. Knebel pada tahun 1908 dan dilanjutkan oleh P.J. Perquin pada 1915.
Untuk relief yang berasal dari cerita fabel, dalam jurnal yang berjudul,”Relief Candi Sebagai Media Efektif untuk Menyampaikan Moral-Didaktif Pada Masa Jawa Kuna,” tulisan dari T.M Hari Lelono dari Balai Arkeologi D.I Yogyakarta, dua relief berbeda diuraikan. Pertama, Bubuksah-Gagang Aking yang sudah disebutkan sebelumnya, serta relief yang menggambarkan burung belibis dan ikan.
Letak relief Bubuksah-Gagang Aking berada di sudut Timur Laut, sedangkan relief burung belibis terletak di sisi timur atau bagian belakang candi. Relief Bubuksah-Gagang Aking berkisah tentang seorang laki-laki yang memiliki rambut yang digelung sedang berbincang dengan harimau, laki-laki tersebut digambarkan menunjuk ke suatu arah.
Sedangkan untuk relief tentang burung belibis, masih dijelaskan oleh T.M Hari Lelono, beberapa bagian dalam relief sudah mulai aus sehingga membutuhkan pengamatan lebih jauh untuk dapat memahami maksud dari bentuk relief.
Burung Belibis yang digambarkan mengenakan mahkota, berdiri di sekitar kolam yang penuh dengan ikan, dengan seekor kepiting menggantung di lehernya.
Dalam cerita yang berkaitan dengan relief burung belibis, dikisahkan burung belibis menyamar sebagai seorang pendeta yang tengah berdiri di samping telaga, berpura-pura sedih untuk menarik perhatian sekelompok ikan yang akhirnya bertanya, "kenapa kamu bersedih wahai pendeta?"
Belibis yang menyamar sebagai pendeta mengatakan bahwa telaga yang mereka tempati sebentar lagi akan mengelami kekeringan, penghuninya akan mati sehingga harus dipindahkan ke telaga yang lebih banyak memiliki air.
Namun, kepiting yang merupakan pemakan ikan dan berada dalam telaga yang sama, menaruh curiga terhadap belibis yang sedang menyamar. Sayangnya para ikan tidak percaya dengan kepiting yang dianggap berbohong dan terlalu khawatir.
Akhirnya, satu per satu ikan yang ada di telaga dipindahkan oleh belibis ke tempat yang jauh dari telaga. Ketika kesempatan terakhir didapatkan oleh kepiting, ia terkejut bahwa terdapat banyak duri ikan di atas batu.
Diancamlah belibis oleh kepiting untuk mengembalikan dirinya ke telaga. Sesaat sebelum sampai telaga, kepiting mencapit leher belibis hingga terputus dan akhirnya mati.
Dari satu gambaran relief itu, dapat dipastikan bahwa Candi Surawana memberikan peninggalan bukan hanya untuk masa lalu tapi juga masa depan, bahwa kewaspadaan tetap harus ditingkatkan sekalipun berhadapan dengan orang baik agar tidak terjerumus.
Berbeda dengan cerita burung belibis, Bubuksah-Gagang Aking bercerita tentang kakak beradik yang hidup rukun setelah berguru pada seorang Resi. Mereka berdua sepakat untuk pergi ke hutan untuk mencapai kesempurnaan hidup sebagai seorang pertapa.
T.M Hari Lelono dalam jurnalnya menuliskan bahwa sesampainya di tempat yang dituju, masing-masing mencari gua untuk melakukan pertapaan. Bubuksah berada di timur sungai menghadap ke barat, sedangkan adiknya Gagang Aking berada di gua sisi barat sungai menghadap ke timur.
Dengan pemahaman yang mereka peroleh dari Resi, keduanya menjalani kehidupan berbekal pengetahuan yang mereka miliki. Bubuksah dalam kesehariannya memakan apapun yang ada di sekitar, baik tumbuhan ataupun binatang, sedangkan sang adik, Gagang Aking, lebih sering berpuasa sehingga tubuh kurus kering, tersisa kulitnya saja yang menutupi tubuh.
Perjalanan mereka diamati oleh Dewa Indra dan menimbulkan keprihatinan, Dewa Indra segera melapor kepada Dewa Siwa.
Mengetahui hal tersebut, Dewa Siwa mengutus sang Kalawijaya turun ke bumi dan menjelma menjadi harimau putih. Dalam penjelmaannya, ia menyambangi Gagang Aking terlebih dahulu. Ketika bertemu dengan Gagang Aking, Kalawijaya mengaum dan berkata bahwa dirinya sangat kesakitan dan akan sembuh bila memakan daging manusia.
Bertanyalah Kalawijaya, bolehkah dirinya menyantap Gagang Aking? Dengan perasaan takut dan badan gemetar, Gagang Aking menjawab bahwa dagingnya hanya sedikit, berbadan kurus sehingga percuma menyantap dirinya. Gagang Aking pun menyarankan harimau putih untuk menyeberangi sungai di mana adiknya berada, bertubuh gemuk dan sehat.
Ditujulah Bubuksah oleh harimau putih dengan permintaan yang sama. Di luar dugaan, Bubuksah mempersilakan dirinya disantap oleh harimau putih. Bubuksah menganggap dirinya sudah cukup hidup di dunia dan sudah menyantap seluruh makanan yang ada di dunia. Bila disantap membuat harimau putih menjadi sembuh dan sehat, ia tidak mempermasalahkannya.
Akhirnya, Kalawijaya mengakui bahwa dirinya sedang menyamar sebagai harimau putih yang diutus oleh Dewa Siwa. Gagang Aking dan Bubuksah diajak menuju Swargaloka. Bubuksah menumpang di punggung Kalawijaya, sedangkan Gagang Aking berpegangan pada ekor Kalawijaya. Keduanya akan memperoleh ganjaran karena telah melakukan pertapaan yang berat dan diantar ke surga oleh Kalawijaya.
Cerita ini menggambarkan bahwa Bubuksah yang melakukan pertapaan memiliki sifat tanpa pamrih dan berserah kepada yang maha kuasa. Ia memperoleh kebahagiaan abadi dengan gambaran relief menaiki punggung Kalawijaya.
Sedangkan Gagang Aking, dalam menjalankan ajarannya, masih memperhitungkan untung rugi dan masih terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Ia digambarkan bergelantungan di ekor Kalawijaya sehingga memperoleh surga yang kedua.
Candi Surawana yang berada di lingkungan Desa Canggu, kawasan desa wisata dapat berkembang pesat dengan adanya pemandu wisata yang menuturkan secara lisan kisah-kisah pada relief Candi. Terlebih wilayah Candi Surawana dekat dengan wilayah kampung Pare yang identik dengan lokasi pelatihan bahasa Inggris yang berpusat di Pare, Kabupaten Kediri.
Lokasi akses masuk pun boleh dikatakan cukup mumpuni untuk kendaraan beroda empat ataupun minibus yang menampung lebih banyak orang karena sudah tersedia insfrastruktur jalan beraspal, sehingga pengembangan wilayah yang terintegrasi antara pemerintah kabupaten, desa, serta dinas yang menaungi pengelolaan Candi Surawana akan membuat candi ini semakin dikenal. Bukan hanya karena terdapat objek cagar budaya, namun adanya suatu penggambaran dari leluhur kita yang mengatakan bahwa: Kemari datanglah, belajar kembali menjadi manusia yang lebih baik.
Penyunting: Nadya Gadzali