It was all very solemn, and I felt one had to be polite and silent up here, for one was in God’s world.”

- Carl Gustav Jung

Motor Supra yang saya kendarai berderum. Jalan kian menanjak. Saya mulai waswas. Bagaimana jika mesinnya hangus atau rantainya putus? Ini motor pinjaman. Bisa gawat kalau sampai rusak. Namun, saya sudah jauh-jauh ke sini dan sedikit lagi sampai. Saya beranikan diri untuk terus melaju di tanjakan terjal lereng Lawu.

Di ketinggian seperti ini, langit bisa menangis kapan saja, tapi saya cukup beruntung hari itu cerah. Akan merepotkan jika hujan merintangi lawatan saya kemari. Sebab, ada beberapa situs kuno yang ingin saya kunjungi di lereng gunung wingit ini, yaitu Candi Cetho, Kethek, dan Sukuh.

Struktur bangunan Candi Sukuh/Asief Abdi

Ketiga candi tersebut mengadopsi arsitektur yang unik dibandingkan candi-candi lain di Jawa. Situs-situs itu menyerupai kuil kuno di Amerika Latin yang berbentuk piramida.

Bahkan, ada yang secara asal-asalan menduga bahwa bangunan-bangunan tua itu merupakan peninggalan Suku Maya. Menggelikan. Namun, ketika berhadapan langsung dengan piramida-piramida Lawu, saya tidak bisa bilang bahwa mereka tak mirip dengan kuil kuno Amerika Latin.

Candi Cetho, Sukuh, dan Kethek berbentuk piramida dengan ujung terpancung. Tubuh bangunan tersusun dari bebatuan andesit, berdiri kokoh di antara kekuatan alam dan waktu.

Struktur bangunan Candi Cetho/Asief Abdi

Candi Cetho dan Sukuh tampaknya telah banyak dipugar. Kedua candi itu kini banyak dikunjungi wisatawan. Namun, tidak dengan candi Kethek yang sepertinya belum banyak mengalami perbaikan. Strukturnya yang sangat purba dan letaknya yang jauh dari permukiman menambah aura sakral bangunan kuno itu. Saya tidak bisa tidak merinding saat berdiri seorang diri di depannya, di tengah desau udara dan suara penghuni alas Gunung Lawu.

Soal arsitektur yang mirip antara ketiga candi itu, saya pikir lazim, lantaran mereka berada di wilayah yang sama dan berasal dari satu garis waktu. Akan tetapi, bagaimana bisa ketiganya menyerupai situs-situs purba di benua yang jauh? Mengapa bangsa yang terpisah ribuan kilometer menciptakan bangunan suci dengan gaya yang sama? Lebih-lebih, tak seperti budaya India, pada masa lalu, pengaruh peradaban Mesoamerika sepertinya tak sampai ke Jawa.

Beberapa ahli berpendapat bahwa struktur piramida candi-candi di lereng Lawu merupakan perpaduan tradisi Hindu-Buddha dan budaya lokal yang lebih tua. Diduga, situs-situs itu dibangun pada masa akhir Hindu-Buddha di Jawa.

Plataran Candi Cetho/Asief Abdi

Lunturnya pengaruh India menonjolkan kembali kultur lokal, yaitu punden berundak. Ada pula yang berpendapat bahwa kentalnya nuansa megalitik candi-candi itu disebabkan oleh letaknya yang jauh dari zona pusat Majapahit sehingga arsitekturnya tak terpengaruh gaya keraton.

Akan tetapi, tetap saja, penjelasan itu kurang memuaskan rasa penasaran saya. Kalau pun itu punden berundak, kenapa arsitekturnya mirip kuil-kuil kuno Amerika Latin? Semuanya berbentuk piramida. Bukankah ini sebuah pola?

Berbagai jenis piramida tegak menjulang di dunia. Struktur itu menandai tempat-tempat sakral di Mesir, China, Indonesia, dan Amerika Latin. Di Mesir dan China, piramida menghiasi makam para raja. Di Indonesia dan Amerika Latin, bangun-bangun itu menjadi sarana komunikasi dengan para dewa. Sepertinya, piramida telah menjadi simbol di alam bawah sadar kehidupan manusia.

Saya teringat obrolan dengan seorang kawan yang belajar antropologi. Ia pernah bertanya pada saya—mungkin, ia mengetes pengetahuan saya.

“Apa yang membedakan manusia dan binatang?” tanyanya

“Akal budi,” jawab saya.

“Tidak, hewan juga punya akal budi.”

“Lalu apa?”

“Manusia mengenal dan menggunakan simbol.”

Benar. Manusia menggunakan simbol untuk berkomunikasi. Kita adalah makhluk bersimbol, homo symbolicum. Geometri sakral piramida pastilah sebuah simbol. Rasanya menarik untuk menilik piramida-piramida Lawu dari kacamata psikoanalisis.

Diyakini, struktur piramida candi-candi di lereng Lawu merupakan representasi Meru, gunung suci dalam kosmologi Hindu. Bagi penganut Hindu, gunung merupakan area sakral, tempat dewata bertahta. Begitu juga bagi masyarakat prasejarah yang menganggap gunung sebagai tempat arwah leluhur. Kuat dugaan bahwa mereka mendirikan punden berundak sebagai replika gunung. Dalam hal ini, rupanya gunung merupakan arketipe.

Masyarakat kuno percaya bahwa gunung dihuni dewa-dewa. Pucuk-pucuk tertinggi bumi yang dulunya tak terjangkau, terpatri di alam bawah sadar manusia, membuatnya diasosiasikan dengan entitas tertinggi. Gunung-gunung suci pun berkembang di berbagai tradisi.

Bagi Carl Gustav Jung, gunung merupakan simbol ilahiah, seperti yang ia catat dalam Earth Has a Soul. Ketika Jung remaja berada di puncak Rigi, ia menyebut tempat itu sebagai “dunia Tuhan”.

Layaknya piramida-piramida Lawu, sepertinya kuil-kuil kuno di Amerika Latin yang berbentuk serupa juga merupakan manifestasi dari arketipe ini. Bisa dibilang, situs-situs tersebut merupakan gunung buatan.

Thomash R. Hersh dalam The Mountain Archetype menjelaskan bahwa manusia membuat gunung buatan untuk sarana pemujaan. Sebab mereka percaya bahwa gunung merupakan singgasana dewata.

Struktur artifisial itu bisa berupa gundukan atau piramida. Selain piramida, stupa dan kubah juga mengadopsi pola yang sama. Begitu pula nasi tumpeng yang lazim dijumpai kini. Atau, boleh jadi, ini semua bukan soal gunung atau piramida, melainkan puncak.

Jika diamati, bangunan-bangunan tersebut memusat pada ujungnya. Titik puncak mungkin merupakan metafora kerinduan manusia untuk menyatu dengan yang transenden. Bentuk-bentuk itu menghubungkan langit dan bumi.

Selain itu, barangkali, di puncaklah manusia bisa mencapai pencerahan. Hanya dari tempat itu seseorang bisa melihat lebih luas dan jelas, seperti nama salah satu candi di Lawu, “cetha”, yang dalam Bahasa Jawa berarti “jelas”.

Lagipula, geometri tersebut memberikan stabilitas pada bangunan. Lebih-lebih, struktur semacam itu sangat praktis dan mudah dibuat. Bukankah lebih mudah menyusun batu dari yang terbesar ke yang terkecil?

Sebagai penghubung jagat sekala dan niskala, candi-candi itu juga dilengkapi undak-undakan. Selain berfungsi praktis, di sini tangga juga berperan sebagai simbol. Ia merupakan jalan menuju langit. Seperti judul lagu Led Zeppelin, Stairway to Heaven. Dalam Kitab Kejadian, bukankah dikisahkan Yakub juga melihat tangga menjulang ke langit dalam mimpinya?

Candi-candi di Lawu, layaknya piramida-piramida lain di dunia, terbuat dari batu. Soal mengapa para leluhur menggunakan batu sebagai bahan konstruksi tak perlu ditanyakan lagi. Ia mudah diperoleh dan tahan lama. Lagipula, pada masa itu belum ada semen atau sejenisnya. Namun, seperti tangga, rupanya, batu tak hanya material fisik, tapi juga simbolik.

Dalam Man and His Symbols, Jung mencatat bahwa manusia telah tertarik pada batu sedari dulu. “Manusia telah mengumpulkan batu sejak awal mula waktu dan rupanya menganggap batu-batu tertentu mengandung daya hidup misterius,” tulis dia.

Begitulah batu-batu suci nan sakti tersebar di berbagai tradisi. Ia muncul dalam bermacam kisah, dari mitologi hingga film Marvel. Akan tetapi, apa bagusnya sebuah batu?

Batu merupakan simbol keabadian. Sifat alami batu yang konstan dan abadi, bersemayam di dalam alam pikir anak Adam. Menariknya, menurut Jung, keabadian batu juga tercermin pada gunung—bukankah gunung merupakan gundukan batu? Wajar jika para penguasa kerajaan Hindu-Buddha diarcakan pada sebongkah batu atau dibuatkan candi sebagai tempat pendarmaan. Begitulah cara menjadikan mereka abadi.

Piramida-piramida Lawu tak ada hubungannya dengan kuil-kuil kuno di Amerika Latin meskipun arsitekturnya sama. Saya yakin itu. Konyol jika seseorang percaya bahwa Candi Sukuh merupakan peninggalan Suku Maya.

Meski begitu, situs-situs itu menampakkan sebuah pola universal. Alam bawah sadar menuntun para leluhur menyusun batu-batu dalam geometri serupa sebagai sarana penghubung dengan dewata.

Para pembuat candi di Lawu dan suku-suku kuno Amerika Latin memang terpisah ribuan kilometer. Akan tetapi, mereka terpaut dalam seutas ketidaksadaran kolektif. Sebuah pola bersama yang diwariskan nenek moyang.

Penyunting: Nadya Gadzali