“Kalau bisa saya dramatisir, ini sangat menyakitkan (menjadi perempuan Bali),” ungkap Satya Cipta, pelukis berdarah Bali, dalam jumpa pers pameran tunggalnya yang bertajuk “Dark and Light: Stories of The Archipelago”, Sabtu (11/11) di Lawangwangi Creative Space Bandung.

“Luka-luka yang ada pada perempuan Bali mungkin hanya satu persen terlihat dari luar, namun tekanan-tekanan itu justru datang dari dalam (baca: keluarga)”, imbuh Satya.

Sebagai member dari suatu komunitas adat Bali, ia tak hanya mengamati tapi juga melakoni. Satya bertahan di bidang yang ia tekuni sembari menanggung derita perempuan Bali: bertahan di tengah kayuhan roda patriarki.

Tak hanya Bali, peran adiluhung perempuan di setiap budaya—sepanjang penelusuran Satya—dihadapkan pada problematika psikologis serupa. Kontradiksi yang kerap menghinggapi kaum perempuan, dijunjung di satu sisi namun terkungkung di sisi lainnya.

Kurator pameran, Jean Couteau, dalam mukadimahnya menyatakan bahwa tarikan garis semacam itu, hampir tak menyusup ke ruang bawah sadar pelukis Bali sejak I Gusti Nyoman Lempad, sekira 100 tahun lalu. Lempad pada masanya menarasikan mitos dan kehidupan masyarakat Bali melalui lukisan.

Couteau yang sudah mengamati lukisan-lukisan Satya selama kurang lebih 7 tahun, mendapati dalam tradisi Bali sangat langka tarikan garis setegas dan sejelas itu, yang di waktu bersamaan juga sedemikian bebas.

Satya mengelola garis spontannya dengan gaya naratif yang berbicara tentang kaum perempuan sekaligus tentang dirinya sendiri melalui sejumlah mitos yang diperolehnya dari penelusuran sejarah.

“Ia membiarkan ujung garis membawanya ke situasi batinnya: kemurnian”, tandas Coeuteau.

Di luar wacana konseptual yang mengemuka dan standar kelaziman yang ada, orisinalitas karya Satya menyiratkan ungkapan nalurinya sebagai subjek yang terpapar pendidikan modern di hadapan tradisi seni lukis Bali.

Andonowati, selaku direktur ArtSociates, menyebut lukisan-lukisan Satya sesungguhnya bukan mengangkat tema budaya Nusantara, melainkan bercerita tentang dirinya sendiri sebagai bagian inheren dari kebudayaan Bali.

Kenyataan bahwa ia mengeksplorasi berbagai mitos yang berkembang di Nusantara dan mengobservasi fenomena yang dialami perempuan di berbagai daerah, hal itu ia lakukan hanya untuk menemukan sebuah premis atau justifikasi dari luka-luka yang ia alami sebagai perempuan, yang kemudian ia jadikan sebagai gagasan artistik dalam pengkaryaan.

Batasan formal yang semula menjadi kriteria seni ArtSociates, terang Andonowati, kini diperluas hingga melampaui batas-batas itu. Sebagaimana lukisan Satya Cipta yang terdiri dari 31 karya termasuk 1 karya trimatra yang menurut hemat saya, memiliki dorongan kuat untuk terbebas dari beban kultural yang disematkan kepadanya sebagai perempuan Bali.

Kendati ingin dilepaskan dari anasir-anasir budaya, melalui Made Budi dan Ketut Budiana, Satya sempat menyelami seni lukis gaya Batuan yang berkembang di Ubud sebagai salah satu teknik untuk menarasikan pengalaman, renungan, dan kerisauannya di atas kanvas.

Begitu pula apresiasinya terhadap mitos-mitos berlatar budaya daerah yang ia manifestasikan ke dalam lukisan-lukisannya, bahwa setiap komponen kehidupan merupakan oposisi biner, ada sisi gelap dan terang yang tak terhindarkan. Tentu saja pemahaman itu tak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang diinternalisasi dalam diri Satya sebagai individu yang dibesarkan dalam tradisi Bali sekaligus sebagai perempuan Indonesia.

Satya menempuh pendidikan penyutradaraan teater di Institut Kesenian jakarta. Keilmuan di bidang seni pertunjukan itulah yang kemudian membuat lukisan-lukisannya memiliki daya tutur dan alur penceritaan yang kuat. Ia memperlakukan setiap fitur di ruang pamer selayaknya panggung pertunjukan teater sehingga karya-karyanya tampak hidup.

Bagi Satya, pameran bertajuk “Dark and Light: Stories of The Archipelago” yang digelar 11 November hingga 6 Desember 2023 di Lawangwangi Creative Space adalah rangkuman kecil dari kronik kehidupannya sebagai perempuan yang tumbuh di balik sekat-sekat tradisi.

Satya Cipta membuka pameran tunggalnya yang bertajuk “Dark and Light: Stories of The Archipelago”/Nadya Gadzali

Setelah menegaskan bahwa ia terilhami fenomena problematik kaum perempuan, serta kuatnya cultural hegemony yang memutus kita dari akar budaya, muncul semacam keyakinan dalam diri saya, bahwa tarikan garis yang menjadi fokus perhatian Jean Couteau dan kondisi psikologis yang teridentifikasi Andonowati dari lukisan-lukisan Satya—bagi perempuan Indonesia boleh jadi bukan sekedar rangkuman kecil, melainkan semesta luas yang lantang menyuarakan kegetiran perempuan.

Satya, dalam karyanya, seperti menyandang eponim tersendiri dengan komposisi garis gelap dan terang, sebagaimana Lempad di masa lampau (1862-1978) yang memiliki karakteristik garis khas sejak menemukan gambar pada kertas kualitas tinggi yang diperkenalkan oleh Walter Spies di Bali pada akhir 1920-an. Pada Satya, garis itu dihidupkan kembali dengan penambahan serbuk glitter yang membuatnya tampak lebih modern dan kompleks.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa melukis adalah caranya bertahan sebagai perempuan Bali. Semacam katarsis untuk menerabas konsep ideal yang secara normatif membatasi kaum perempuan.

Situasi batin yang dicurahkan Satya, dalam catatan Couteau, berdiri di antara kesucian murni dan ancaman kekerasan. “Dia bukan wakil, tapi suara batin kaumnya”, sang kurator memungkasi.

Kendati untuk menjawab pertanyaan tentang subordinasi kaum perempuan, tentang bagaimana persisnya dan di mana kedudukan perempuan Bali di dalam sistem memerlukan penelusuran lebih lanjut, namun karya Satya yang terdiri dari tiga belas lukisan di atas kertas, enam belas lukisan di atas kanvas, satu seni rupa tiga dimensi (patung), dan satu karya seni instalasi yang dipamerkan hingga 6 Desember mendatang, saya yakini cukup padu untuk menjadi pintu masuk bagi penafsiran. Karya-karya itu mampu berbicara lebih lantang daripada kata-kata.

Hal lain yang memberi getar tersendiri dari pertemuan dengan Satya adalah ketika ia merasa terhubung secara spirit dengan Nuranani Maska Irman, seniman Topeng Losari yang tampil sebagai seniman pembuka dalam pamerannya.

Perempuan yang akrab disapa Nani, penerus kesenian Topeng Losari saat ditemui selepas pertunjukan juga mengungkap kisahnya sendiri, bahwa ia semula merasa tak diberi pilihan untuk selain menjadi dalang Topeng Losari.

Seniman Topeng Losari, Nuranani Maska Irman, dalam pembukaan pameran tunggal Satya Cipta/Nadya Gadzali 

Dalang Topeng disematkan padanya lantaran ia mewarisi laku ritual sebagai keturunan maestro Topeng Losari sebelumnya, Sawitri, yang merupakan nenek dari Nuranani.

Terpapar hal-hal spirit hingga dikukuhkan menjadi seorang Dalang Topeng awalnya terasa berat bagi Nani. Selain disiplin berlatih tari topeng, hegemoni budaya seolah merenggut masa kecil dan membawanya pada sederet alur tirakat, mantra, dan puasa.

Sepeninggal Sawitri, tahun 1999, barulah ia merasa bahwa berkesenian baginya bukan hanya sebuah panggilan hati, bukan pula tentang sepiring nasi, melainkan kepuasan batin dan harga diri.

“Topeng Losari bagi saya sudah menjadi kebutuhan, seperti bernafas, sampai kemudian Tuhan tidak menghendaki saya menari lagi”, tandas Nani melindapi kekaguman saya.

Dari sini, pilihan tajuk “Dark and Light: Stories of The Archipelago” tampaknya sudah mewujud secara utuh sejak awal, sebab setiap unsur yang disajikan ke hadapan audiens dalam pameran tunggal Satya adalah ekspresi segala sesuatu yang muncul di benaknya, termasuk koneksinya secara batin dengan tokoh, seniman, dan kemajemukan yang ada dalam bentang budaya Nusantara—yang tentu saja mengandung sisi gelap dan terang, terutama dengan mereka yang terkoyak di bawah cengkeraman hegemoni budaya, antara kesucian murni dan ancaman kekerasan, antara tradisi dan kedaulatan diri.