Pagi itu, matahari mulai bersinar cerah, bunyi berisik pukulan martil bermunculan silih berganti di tengah desa, disusul riuhnya gesekan gerinda yang beradu dengan lempengan plat tembaga kuningan. Aktivitas menempa telah menjadi sebuah rutinitas pekerjaan masyarakat Desa Tumang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Desa yang terletak di antara lereng gunung Merapi dan Merbabu itu terkenal dengan keahlian dalam menciptakan beragam produk kriya seni berbahan logam.

Mayoritas pelaku usaha kerajinan ini tergolong industri kecil menengah yang terbentuk oleh sistem kekeluargaan turun-temurun dalam menjalankan produksinya. Sepanjang jalan masuk di tengah Desa Tumang begitu mudah ditemukan showroom dan galeri-galeri seni yang menjual pernak-pernik kerajinan logam kuningan berbagai jenis dan ukuran. Benda-benda seni itu di antaranya vas bunga, panel hias, cermin hias, lampu gantung, kendi, gelas, dan teko beragam motif.

Keelokan hasil produk-produk seni berbahan logam buatan warga Desa Tumang tak hanya membawa fantasi dan keindahan visual bergaya kerajaan saja, namun kreasi ciptaannya kini telah berkembang dengan mengadaptasi sentuhan ornamen gaya kelas Eropa dan Timur Tengah. Wajar bila produk kerajinan desa ini laris di pasar mancanegara. Kecerdasan visual warga Desa Tumang dalam mencipta produk seni yang berkualitas memang pantas dibanggakan.

Awal mula terbentuknya Desa Tumang menjadi desa industri kerajinan logam berkaitan erat dengan ingatan historis sebuah capaian kejayaan, kisah asal usul, ataupun legenda pendirinya. Tumang dengan kejayaannya, tidak terlepas dari nama tokoh Ki Rogosasi bersama pengikutnya, yakni Empu Supodriyo,  Empu Yudhi, Nyai Embo Tebu Ireng, dan Empu Bendrek Kemasan. Mereka adalah para tokoh yang menjadi pandega yang didengung-dengungkan jasanya sebagai milestone Desa Tumang sejak abad 16 lampau. Sudah sejak dahulu nama Desa Tumang bertumbuh sebagai penyokong kebesaran kaum bangsawan atau kalangan ningrat dalam pemenuhan kebutuhan upacara maupun pernak-pernik perawatan benda pusaka raja bersamaan dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam.

Langgam klasik Tumang

Kerajinan kriya logam di Desa Tumang kriya umumnya dibuat secara hand skill dengan menggunakan keterampilan tangan, mengedepankan aspek fungsionalnya, dan memenuhi kebutuhan emosional yaitu adanya unsur keindahan visual (Soegeng Toekio, at all, 1987, p. 12).

Secara visual ornamen klasik langgam khas Tumang dapat ditinjau dari teknik pada proses pembuatannya di antaranya adalah teknik endak-endakan, yaitu teknik memahat logam dengan menurunkan bagian dasarnya saja, teknik ketok wudul (teknik penempaan dan ukir sehingga dapat membentuk dimensi tertentu),teknik ukir kruwikan (bagian dimensi cekung), teknik ukir buledan (bagian dimensi cembung), teknik ukir rancapan/gethakan(mengukir atau memahat pada permukaan logam sehingga menimbulkan alur garis yang dikehendaki pada permukaan yang tetap rata tanpa merubah volume) (Sudarwanto & Darmojo, 2018:99-100), teknik tempa pointilis (tempaan berupa bekas titik-titik pada permukaan logam hingga membentuk suatu objek), dan teknik penguku (lengkungan) atau lung-lungan. Hasil dari produk seni kriya bergaya klasik dan otentik khas langgam Tumang ini pada wujudnya masih dapat ditemui dalam bentuk benda perkakas dengan sentuhan tempa di antaranya seperti dandang penanak nasi, baki, kap lampu hias, dan bokor.

Sosok Nur Harris Boomber

Pada perkembangannya, produk kriya logam dari barang perkakas rumah tangga menjadi produk seni estetis tak lepas dari upaya pergerakan Nur Harris Boomber. Sebagai seniman tempa generasi 1978, Boomber menjadi sosok pembaharu yang turut berjasa dalam membawa perkembangan nama Desa Tumang hingga dikenal luas. Sejak usia muda ia telah lama bergelut dan banyak menimba ilmu tentang teknik maupun ornamen seni visual dari berbagai kota yakni Kotagede, Bantul, dan Surakarta. Menurutnya, motif-motif klasik Tumang sesungguhnya mengadaptasi dari berbagai kekayaan visual yang dikembangkan dari ornamen pada bentuk hiasan bangunan di Keraton Surakarta dengan unsur Gaya Mataraman dan Gaya Majapahitan pada ornamen candi-candi yang tersebar di wilayah Jawa Tengah.

Pengembangan motif produk seni kriya Desa Tumang juga didukung oleh kecerdasan Boomber dalam mencerap berbagai temuan ornamen pada artefak candi-candi kecil di perbukitan sekitar Kecamatan Cepogo, Boyolali. Bonus demografi ini tentunya sangat mendukung pengembangan daya cipta Boomber untuk berinovasi dan membuat kreasi produk seni kriya logam pada masa itu.

Sebagai seniman senior, dulu Boomber memiliki banyak koleksi berupa karya seni pahatan monumental dan berbagai sketsa motif seni visual untuk membuat patron pahatan yang ia ciptakan sendiri. Koleksi-koleksi itu adalah hasil dari petualangannya selama menimba ilmu seni rupa dari berbagai daerah. Hasil pengalamannya itu dimanfaatkan untuk memberikan keteladanan bagi warga desanya agar meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam berkarya secara mandiri. Berkat perjuangan Boomber dan beberapa teman seperjuangannya waktu itu, Tumang menjelma menjadi desa yang kaya, berdikari, dan harum namanya sebagai kawasan wisata industri yang diminati konsumen dan kolektor seni. Namun sayang, di usia senjanya koleksi karyanya hanya tinggal sedikit.

Salah satu representasi karya-karyanya mencerminkan nuansa politik pada masa itu, yakni sebuah karya pahatan bergambar Soeharto beradu panco dengan Amien Rais yang tersisa di dinding kamarnya. Sisanya yang lain hanya karya panel-panel kecil yang terlihat usang dan sebuah bengkel kecil tempatnya bekerja sehari-hari membuat peralatan tempa.

Koleksi Karya Nur Harris Boomber/Muhammad Fajar Putranto

Dilematis

Sebuah kebudayaan senantiasa akan mengalami dinamika pasang-surut. Desa Tumang memang menjadi desa kreatif-mandiri yang terkenal hingga mancanegara. Namun lain dulu, lain sekarang. Dalam benak Boomber terbayang bahwa saat ini sesungguhnya Tumang sedang mengalami dinamika beban budaya. Kenyataannya tak semanis narasi kemakmuran yang diberitakan oleh berbagai media. Desa Tumang sebetulnya dalam kondisi degradasi dan akan mengalami krisis generasi penempa di masa mendatang. Sebagai generasi terdahulu, Boomber mengeluhkan kekawatirannya bahwa sekarang pengetahuan dan kemampuan teknik menempa produk kerajinan di desanya mengalami penurunan bahkan nyaris terputus.

Penyebab berbagai persoalan degradasi pengetahuan tempa logam di antaranya ialah penurunan kualitas dan kuantitas pelaku tempa yang semakin menyusut karena generasi penerusnya cenderung beralih ke bisnis digital untuk memasarkan produk kerajinan, sehingga pewarisan pengetahuannya kian terputus.

Bagi generasi muda, kecenderungan menggeluti bisnis digital pemasaran produk kerajinan dianggap lebih mudah mendatangkan keuntungan. Namun hal itu berdampak pada menurunnya kepedulian mereka untuk mempelajari dan melestarikan pengetahuan dasar menempa. Terlebih menjadi distributor pemasar dinilai lebih prestisius dan meningkatkan gengsi daripada berprofesi menjadi pekerja penempa logam.

Kedua, adanya kekawatiran generasi pendahulu terhadap produk-produk “barang pusaka peninggalan keluarga” akibat maraknya pembajakan motif dan ornamennya. Motif dan ornamen asli warisan keluarga berpotensi diklaim orang lain, sehingga mereka bersikap skeptis untuk mengalih-tularkan pengetahuannya.

Ketiga, minat konsumen terhadap kerajinan logam Tumang telah mempengaruhi eksistensi keotentikan gaya klasik, karena kecenderungan produsen dalam memproduksi barang untuk memenuhi permintaan pasar Eropa dirasa lebih cepat mendatangkan keuntungan serta berpotensi membuka relasi pasar yang lebih luas. Dampaknya, motif klasik Tumang dapat dikatakan sepi peminat karena konsumen lebih tertarik dengan desain-desain baru seperti motif bercorak bunga tulip dan kaligrafi.

Problematika dilematis itu tentunya akan berdampak pula pada meredupnya eksistensi desa wisata Tumang sebagai desa penempa logam di masa yang akan datang. Meskipun kini sangat sedikit generasi muda yang menjalankan profesi penempa dan sisanya hanya beberapa penempa-penempa tua yang telah lanjut usia, namun nilai pengetahuan, teknik, seni, dan kualitas kerajinan logam tembaga di Desa Tumang tidak sebaik zaman dulu.

Berbagai upaya untuk mempertahankan pengetahuan teknik tempa logam langgam Tumang sesungguhnya telah banyak dilakukan. Alih-tular transfer ilmu pengetahuan melalui pelatihan telah beberapa kali disosialisasikan oleh pemerintah desa yang berkolaborasi dengan stake holder lainnya seperti pelaku seni yang berpengalaman, akademisi dari perguruan tinggi, CSR dan lainnya.

Upaya untuk mempertahankan produk kerajinan Desa Tumang yang dilakukan Boomber salah satunya ialah dengan menekuni pembuatan peralatan tempa dasar seperti palu, kikir, jangka, penatah, dan gunting, karena peralatan tersebut memang dibuat secara khusus. Uniknya, peralatan itu merupakan produk handmade yang tidak dijual di toko-toko. Upaya ini dilakukan Boomber sebagai strategi untuk bertahan, sebab faktanya, generasi sekarang bahkan tidak ada yang menguasai teknik tradisional membuat peralatan dasar tempa, pengetahuan bentuk ornamen-ornamen hias, dan motif-motif produk seni otentik berlanggam khas Tumang yang terkenal rumit dan detail.

Secercah Harapan

Desa Tumang di masa depan dapat diprediksi akan meredup karena krisis generasi penempa. Semangat daya juang generasi pelaku industri kerajinan tempa sekarang tak semilitan Boomber dan kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Namun, sebuah realita dan secercah harapan tumbuh kembali memberikan oase kesejukan bagi keberlangsungan pengetahuan budaya tempa logam. Bahwasanya tak jauh dari Desa Tumang, pengetahuan teknik tempa logam justru berkembang, dipelajari, dan diminati oleh pemuda-pemuda dari Desa Kembang Kuning yang memang sudah cukup lama belajar menekuni tradisi menempa logam kepada empu tempa dari Tumang.

Salah satunya Widono, pemuda Desa Kembang Kuning yang kini mempelajari teknik tempa logam berbahan alumunium dengan gaya khas Tumang. Ia menekuni tempa logam tembaga sejak tahun 2014 lantaran melihat peluang bahwa saat ini di Desa Tumang masih membutuhkan tenaga produksi untuk memenuhi stok permintaan pasar, terutama kebutuhan barang perkakas rumah tangga, sehingga ia berinisiatif mengisi kebutuhan itu dengan menjadi produsennya. Selain itu, Widono juga berusaha mempelajari dan membuat produk kriya berukuran besar, seperti kubah masjid, motif hias gapura, dan hiasan relief dengan corak gaya klasik Tumang.

Sebagai penutup, dapat ditarik sebuah pemikiran bahwa pengelolaan warisan pengetahuan tradisi tempa logam tidak hanya berorientasi pada kegiatan pelestarian, tetapi juga dilakukan melalui kegiatan-kegiatan akademis. Pengetahuan tentang kriya logam khas Desa Tumang hendaknya ditransmisikan ke generasi berikutnya melalui serangkaian proses pendidikan yang efektif dan tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan adanya perancangan sumber literasi materi ajar yang memuat tentang pewarisan pengetahuan kriya logam khas Tumang untuk dipelajari dari generasi ke generasi agar kelak dapat berkontribusi bagi pemajuan kebudayaan lokal.

Penyunting: Nadya Gadzali