Manusia berpegang pada tradisi, adat istiadat, atau cara tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap suku yang ada di Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke, mempunyai tradisi berburu yang unik dan adat istiadat yang berbeda-beda. Tradisi berburu di setiap suku muncul sejak manusia ada, sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Tentunya pembaca akan mengakomodir perbedaan nama adat suku yang ada di Indonesia. Misalnya saja masyarakat Sumbawa atau yang lebih dikenal dengan masyarakat Samawa yang mempunyai nama yang khas dan sederhana sehingga mudah untuk dipahami.

Cara hidup tradisional ini kerap disebut atau diberi nama Ngayang dalam masyarakat Sumbawa. Tradisi ini masih dianggap ketinggalan zaman, usang, bahkan punah dalam konteks modernisasi dan globalisasi, di mana banyak yang mengadopsi alat-alat yang lebih kontemporer dan canggih untuk hidup lebih nyaman dan efektif, namun terkadang kurang peduli terhadap lingkungan.

Tradisi nganyang dapat kita temukan di setiap desa bahkan kampung-kampung terpencil yang ada di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat. Bahkan, pelakunya tidak hanya generasi kolonial tetapi juga generasi milenial, contohnya saja di desa saya sendiri, yakni di Desa Pemasar, Kecamatan Maronge.

Kebiasan masyarakat Pemasar atau masyarakat-masyarakat lain di Sumbawa, menjalankan tradisi pasca panen untuk mengisi waktu luang atau ketika mengadakan acara syukuran, sehingga hasil tangkapannya dihidangkan di acara syukuran, seperti pernikahan, sunatan dan lain-lain.

Ngayang adalah cara berburu tradisional masyarakat Sumbawa. Media atau alat berburunya masih menggunakan alat tradisional yang tidak merusak alam. Biasanya, pelaku ngayang menggunakan anjing yang sudah jinak dan terlatih untuk berburu. Selain menggunakan anjing, juga menggunakan tombak dan menggunakan jerat atau lonong.

Tradisi ngayang tidak dilakukan oleh perorangan melainkan dilakukan secara berkelompok dan melibatkan banyak orang, biasanya melibatkan lima orang bahkan lebih, setiap orang membawa anjing dan tombak yang sudah diasah sehingga tombaknya menjadi tajam.

Kebiasaan masyarakat Pemasar dalam berburu arau ngayangdilakukan dengan menginap di hutan, walaupun ada juga yang pergi pagi hari dan pulang sore hari. Biasanya, para pemburu menginap dengan membawa perbekalan. Cara berburunya pun tidak sembarangan dengan teknik atau cara yang jitu. Cara ini merupakan warisan pengetahuan berburu yang mereka peroleh dari orang tuanya.

Ngayang dalam masyarakat Sumbawa tidak dilakukan sembarangan tanpa teknik tertentu, sehingga cara berburu sangat arif dan tidak merusak alam. Cara berburu atau ngayang setiap desa berbeda-beda, sesuai kebiasaan yang mereka lakukan, tetapi ada pula ngayang yang sering digunakan masyarakat Pemasar dengan menerapkan teknik lain.

Pertama, sebelum memulai ngayang, pemburu terlebih dahulu memandikan anjing pemburu dengan tujuan agar hewan itu lebih enerjik ketika mengejar Rusa, bahkan pemilik anjing juga membaca doa ketika hendak memandikan anjingnya agar terhindar dari bahaya dan mendapat buruan.

Kedua, setelah anggota berburu atau ngayang selesai memandikan anjingnya, mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mengatur sttrategi berburu dan membagi pekerjaan setiap individu. Pembagian tugas itu dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu basaturin, nampar, dan pasang lonong.

Ketiga, berdoa, ngayang juga memiliki nilai-nilai spitual, mereka mengawali perburuan dengan doa sebelum mulai memasuki hutan untuk berburu. Menurut keyakinan masyarakat Sumbawa, di hutan dihuni banyak jin dan setan, terutama yang disebut dengan baki(setan yang berwajah seperti manusia) yang kerap mengganggu dan mengelabui pemburu yang memasuki hutan.

Berdoa dilakukan sendiri-sendiri, tidak dipimpin oleh ketua kelompok. Doa memasuki hutan juga warisan pengetahuan yang mereka diperoleh dari guru, bapak, atau kakek sebagai pelindung diri dari marabahaya di dalam hutan.

Ketiga, setelah pembagian pekerjaan, mereka kemudian bergerak menuju tujuan masing-masing sesuai dengan tugas yang sudah diberikan oleh ketua kelompok, tidak ada satu orangpun yang tidak melakukan pekerjaannya. Jika melanggar, dapat berimbas pada sulitnya mendapatkan hasil atau buruan.

Keempat,satu sampai dua orang ditugaskan untuk memasang jerat atau pasang lonong dalam bahasa Sumbawa, penempatan jerat atau lonong ini biasanya dipasang di jalan yang sering dilewati oleh rusa ketika berlari dikejar oleh anjing buruan pelaku ngayang, atau biasanya dipasang di tempat rusa sering bermain atau lar, sehingga memudahkan pemburu mendapat tangkapan.

Keempat, basaturen, kebiasaan ini dilakukan oleh beberapa anggota dari kelompok ngayang, karena yang melakukan basaturen (menggiring rusa dari tempat persembunyiannya) memiliki peran yang sangat penting dalam berburu. Mereka yang ditugaskan bariring ini sudah mengetahui, bahkan mereka menghapal di mana tempat persembunyian rusa yang mereka buru. Sehingga, mereka akan menggiring rusa dari gunung sambil berteriak sebagai kode kepada temannya bahwa anjingnya sedang mengejar rusa dan menuju ke lokasi yang sudah disepakati

Kelima, nampar,orang yang melakukan nampar adalah orang yang menunggu datangnya rusa yang digiring dari atas gunung menuju tempat mengepung rusa yang sudah tidak kuat lagi berlari agar setibanya di lokasi, rusa akan ditangkap oleh anjing atau ditombak. Tetapi, cara ini tidak selalu berhasil, meski seringkali mendapat hewan buruan.

Keenam, menyembelih, setelah mereka berhasil menangkap hewan buruan atau rusa yang ditangkap oleh anjing ataupun yang terkena jerat, rusa akan disembelih oleh ketua kelompok. Ketua kelompok adalah orang yang usianya lebih tua dibandingkan yang lain dan memiliki ilmu pengatahuan tentang penyembelihan hewan yang ia peroleh dari guru ataupun ayahnya.

Selain ilmu terkait pemyembelihan, yang h juga harus memiliki sifat jujur dan adil dalam berbagi, bahkan tidak hanya adil terhadap temannya tetapi ketua kelompk atau yang menyembelih. Tak hanya kepada manusia tetapi juga memberikan hak kepada anjing buruannya untuk memakan daging rusa yang mereka dapatkan.

Ketika kelompok ngayang mendapat hasil buruan, mereka tidak hanya menikmati hasil tangkapan di antara mereka (kelompok ngayang) saja, tetapi juga membawa pulang daging rusa yang mereka dapatkan. Daging rusa yang mereka bawa pulang menjadi incaran masyarakat. Bagi masyarakat Desa Pemasar, daging rusa memiliki cita rasa yang lezat, apalagi dimasak dengan bumbu tradisional Suku Samawa.

Biasanya, masyarakat Pemasar menukar daging tersebut dengan beras dan uang, bahkan tak jarang isteri atau ibu dari sang pemburu lebih memilih untuk memasak semua daging yang diperoleh anak atau suaminya.

Usai memasak daging, hidangan dibagikan kepada tetangga terdekat dan tidak berharap timbal balik dari kebaikan yang ia berikan. Tujuannya, semata-mata ingin membahagiakan tetangganya dengan cara mencicipi hidangan daging rusa.

Inilah nilai sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sumbawa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memiliki prinsip dalam bersosial  atau yang dalam bahasa lokal disebut “parenti kalanis telas tau Samawa.”

Kebiasaan membagikan hidangan daging rusa dapat dijumpai di kampung saya sendiri, sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar hingga saat ini. Fenomena ini juga biasa ditemukan di desa-desa yang ada di Sumbawa dengan berlandaskan kasih sayang terhadap sesama.

Anggota ngayang mendapatkan kebahagiaan sejati ketika ia membagi hasil buruannya. Tradisi ngayang menjadi ajang berbagi dengan sesama dan menjadi wujud eratnya ikatan persaudaraan masyarakat Samawa pedesaan.

Penyunting: Nadya Gadzali