Desa merupakan satuan terkecil dalam suatu teritori tertentu. Eksistensi desa sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha. Hal itu bisa dilacak melalui prasasti-prasasti.

Misbahus Surur dalam Kronik Pedalaman [2020] menguraikan bahwa desa pada zaman Hindu-Buddha terbagi menjadi dua macam, yaitu wanua dan sima. Wanua adalah desa biasa yang memiliki dua kewajiban terhadap kerajaan, yaitu wajib pajak (drawya haji) dan wajib kerja (buat haji).  

Pajak dari wanua tersebut ditarik oleh rama (lurah desa) yang kemudian disetor kepada pamgat atau rakai (camat) yang kemudian diserahkan kepada kerajaaan. Adapun dalam beberapa prasasti disebutkan bahwa pajak desa ditarik oleh seorang dengan jabatan mangilala drawya haji.

Namun, mangilala drawya haji sendiri memiliki beberapa artian, yaitu pemungut pajak, pembayar hak (pengusaha yang dikenai pajak), atau pejabat yang makan dan hidup dari raja (abdi dalem), kemudian wajib kerja (buat haji) adalah kerja komunal penduduk desa yang diserahkan kepada kerajaan. Buat haji ini kemudian disetorkan oleh pusat kerajaan kepada daerah-daerah bawahannya yang membutuhkan pembangunan.

Konsep buat haji ini yang kelak melahirkan sistem gotong royong di desa-desa sebagaimana kita jumpai dewasa ini. Selanjutnya, jenis desa yang kedua adalah desa sima. Desa sima ini kebalikan dari wanua, yaitu tidak ada wajib pajak maupun wajib kerja yang disetorkan oleh desa. Namun, sebagai gantinya, dua kewajiban tersebut dialokasikan untuk membangun desanya sendiri.  

Mandala sebagai konsep tata pemukiman

Desa sima adalah konfigurasi antar desa berbentuk mandala atau serupa lingkaran konsentris dengan desa sima sebagai pusat (induk) yang dikelilingi oleh anak-desa sesuai dengan arah mata angin atau pancawara.

Sistem pancawara mengadopsi sistem kalender Jawa di mana terdapat lima hari dalam satu pekan: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Selain Pancawara, juga terdapat siklus enam harian (sadwara) dan tujuh harian (saptawara) [Lombard, 2005].

Pancawara memiliki nama lain yaitu pasaran, sebagaimana yang kita kenal hingga saat ini. Sistem pancawara atau pasaran ini yang kemudian melahirkan pasar sebagai tempat jual beli masyarakat kuno hingga sekarang. Melalui siklus lima harian tersebut, masyarakat zaman dahulu mampu mengelola pengadaan pasar guna memaksimalkan distribusi barang dari desa ke desa.

Secara teknis, pengadaan pasar dijadwalkan sesuai urutan pasaran dan arah mata angin: Legi (timur), Pahing (selatan), Pon (barat), Wage (utara) dan Kliwon (tengah). Desa induk menjadi tempat pasar terbesar (Kliwon).

Gaji pejabat pemerintahan kuno

Konsep tata ruang mandala di desa sebenarnya mengacu pada mandala yang lebih besar lagi, yaitu wilayah kerajaan. Pada zaman kerajaan Hindu-Buddha, wilayah pusat disebut dengan kutha raja, kemudian di luarnya dikelilingi daerah-daerah vasal yang dipimpin oleh paduka batara, kemudian disusul wilayah paling luar yaitu mandalita rastra.

Pada zaman Mataram Islam pun demikian, wilayah pusat disebut negara agung, kemudian disusul mancanagara, dan paling luar disebut pasisir. Pejabat pemerintahannya tidak digaji menggunakan uang, melainkan dengan tanah. Harta kekayaan kerajaan pada saat itu hanya dialokasikan untuk kepentingan mendesak, seperti politik, militer atau peperangan.

Pejabat yang mendapatkan tanah memilik hak atas kuasa dan hasil tanam di tanah tersebut. Tanah gaji tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu tanah lungguh dan tanah bengkok. Tanah lungguh adalah tanah yang dikelola pejabat lokal yang berada di wilayah negara agung (pusat). Biasanya tanah tersebut seluas karesidenan atau kabupaten.

Sedang tanah bengkok adalah tanah gaji yang berada di wilayah mancanagara (luar). Namun, tanah lungguh sebenarnya tidak diukur berdasarkan berapa luasnya, melainkan berdasarkan jumlah cacah. Cacah yaitu satuan penduduk yang berprofesi sebagai petani di suatu wilayah lungguh. Satu cacah biasanya berjumlah 6 orang atau satu keluarga. Jumlah cacah memengaruhi kekuatan dan pengaruh politis pejabat lungguh. Bahkan, meski jarang, seorang pejabat lungguh mampu melakukan pemberontakan pada kerajaan.

Babad desa

Masyarakat Jawa sarat dengan kepercayaan terhadap tempat-tempat yang dianggap suci, wingit, keramat—agar tidak menyebutnya angker—dalam skala wilayah tertentu, mulai tingkat desa hingga yang lebih luas.

Biasanya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai ruang ritual dalam rangka menjalin harmoni dengan ‘yang lain’ (makhluk halus). Pada tingkat desa, identik dengan keberadaan dari punden atau pepunden desa. Punden biasanya berupa reruntuhan bangunan Hindu-Buddha, kuburan, sumber air, atau sebuah wilayah dengan topografi tertentu yang masih berkaitan erat dengan keberadaan suatu desa.  

Punden diyakini masyarakat sebagai tempat bersemayam dari danyang atau danyangan desa [Geertz, 2014]. Danyang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai sosok roh penunggu yang dulunya membabad desa. Selain itu, danyang juga identik dengan roh para raja terdahulu, pangeran ataupun wali lokal.

Babad atau mbabad bisa diartikan sebagai usaha membuka lahan untuk dibudidayakan tanahnya atau bisa juga diartikan sebagai pembersihan—dari yang fisik hingga yang mistik—hutan belantara untuk dijadikan sebuah pemukiman penduduk, lengkap dengan sawah dan kebutuhan hidup lainnya.  

Keberadaan punden di setiap desa adalah pusat kosmik masyarakat desa. Karena dikeramatkan, punden didatangi ketika masyarakat mempunyai hajat tertentu, seperti ketika seseorang akan mencalonkan diri sebagai lurah. Setiap bulan tertentu terdapat ritual bersih desa. Punden juga bisa digunakan sebagai sarana melacak sejarah desa.

Lantaran toponimi, tentang apa dan siapa pembabad desa tidak jauh-jauh hubungannya dengan keberadaan punden desa. Dalam cerita tutur lisan babad desa, acapkali terselip mitos-mitos dan hal magis lainnya yang mengiringi kisah asal muasal adanya suatu desa. Namun, sejatinya mitos tersebut tak terlepas dari pelajaran yang bisa diambil dari generasi-generasi selanjutnya atas sejarah yang terdapat di desanya.

Ritual bersih desa

Masyarakat desa biasanya memiliki ritual tertentu dalam rangka menghormati para pembabad desa, yang disebut ritual bersih desa. Bersih desa merupakan bentuk selamatan dengan mempersembahkan jamuan dan doa yang diperuntukkan kepada danyang, yang umumnya dilaksanakan di bulan Sela atau Dzulqa`dah.  

Ritual bersih desa dibagi dua berdasarkan jenisnya, yaitu sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman (agraris) dengan mengubur kepala kerbau, dan sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir (maritim) dengan melarung sesaji atau longkang (tumpeng) ke lautan [Misbahus Surur, 2020].

Bentuk perayaan bersih desa umumnya berbeda-beda, sesuai dengan karakteristik danyangan desanya. Jika danyangan desa adalah santri, maka perayaannya adalah dengan doa bersama. Jika danyangan desanya jahat, biasanya perayaannya berupa pembakaran candu atau minum-minuman keras [Geertz, 2014].

Namun, dewasa ini, perayaan bersih desa sudah diisi dengan kegiatan-kegiatan sosial yang baik dengan membersihkan punden, doa bersama, dan makan-makan. Makan-makan tersebut menurut Lombard [2005] merupakan ungkapan nyata semangat kolektif yang mungkin telah dilakukan sejak zaman kuno dalam rangka mempertahankan kesatuannya untuk membela diri terhadap keganasan hutan rimba.

Tujuan dari ritual bersih desa tak lain adalah sebagai wujud rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa atas wilayah teritorinya, kepada para leluhur yang telah membabad desa, dan kepada alam serta makhluk lainnya yang telah hidup berdampingan dengan masyarakat desa.  

Penyunting: Nadya Gadzali