23 Desember 2022, telah dihelat sebuah pertunjukan di Pendapa Balaikota Surakarta dengan tajuk “Sandi Swara”. Sebuah tajuk yang terasa ideal disematkan pada tema yang diangkat dari pertunjukan ini, yakni mentransformasikan motif batik menjadi bentuk auditif, gerak, serta visual dengan pendekatan teknologi-video mapping. Tidak hanya itu, setelah saya telaah lebih jauh, secara artistik juga menampilkan nilai-nilai dari motif batik.

Pertunjukan yang dihelat tempo hari terasa menawarkan sisi lain batik. Batik menjadi sumber inspirasi untuk dialihbahasakan menjadi bentuk lain. Batik yang biasanya hanya dinikmati dari sisi visual ternyata dapat dinikmati dalam bentuk lain, antara lain gerak, bunyi, dan sentuhan teknologi modern. Batik seakan melampaui batas kenikmatannya. Ia melunturkan eksklusifitas dari cara penikmatan yang sebelumnya ada, yakni dari segi visual saja.

Etnomatematika

Dalam pertunjukan itu, setidaknya terdapat empat motif batik yang diangkat, yaitu motif kawung, motif parang, motif sidaluhur, dan motif sidamukti. Pengejawantahan motif-motif itu hadir dalam bentuk gerakan, bebunyian, artistik, serta video mapping dengan metode etnomatematika.

Secara kultural, kebiasaan menghitung dalam kebudayaan memang sudah lekat dengan keseharian masyarakat Jawa untuk menentukan hari baik dan buruk, menentukan musim panen dan musim tanam, membangun rumah, menentukan kecocokan sepasang kekasih, dan lain sebagainya.

Perhitungan itu dilakukan dengan mempertemukan pancawara (senin, selasa, rabu, kamis, dan seterusnya) dengan pancawara (pon, wage, kliwon, dan seterusnya). Masing-masing hari dalam saptawara dan pancawara mengandung nilainya tersendiri. Penjumlahan  dari ke dua nilai (saptawara dan pancawara) itulah yang akan menjadi acuan hari baik dan hari buruk, kecocokan pasangan, dan lain sebagainya.

Dari kultur yang ada, motif-motif batik itu lantas ditelaah dengan perhitungan-etnomatematika, sebuah cara atau bahkan sudut pandang dalam menelaah batik dari sisi kultural Jawa.

Selain itu, etnomatematika menjadi sebuah cawan lebur yang merangkum sisi kultural Jawa, spirit pengaktualisasian nilai, serta membentuk sebuah formulasi untuk menelisik motif batik dari sisi lainnya, yaitu gerakan, bebunyian, artistik, serta video mapping.

Di dalam batik, terdapat perhitungan matematis yang dapat dibaca dengan jelas, yakni dilatasi (perkalian), refleksi (pencerminan), translasi (pergeseran), serta rotasi (perputaran). Keempat unsur itu kemudian dielaborasikan ke dalam sajian bebunyian, gerakan, artistik, serta video mapping. Uniknya yang dilakukan tidak lantas meninggalkan suratan makna yang terkandung dalam motif batik. Cara pandang etnomatematika justru menjadikannya lebih bernas.

Saya mencatat beberapa poin yang diperoleh dari pertunjukan itu. Pertama, penataan bebunyian menggunakan pola rotasi (perputaran) yang terletak pada repetisi. Musiknya begitu rampak sekaligus halus. Kedua pola itu disajikan dalam satu kesatuan pola sekaligus. Ia diulang secara terus-menerus dengan tempo yang statis. Uniknya, terdapat pola struktural yang menjadi pusat repetisi ritme, seolah-olah menandai perputaran di tempat yang bergerak namun tidak beralih posisi.

Video mapping batik di Pendapa Balaikota Surakarta bertajuk “Sandi Swara”/Candra Yusuf L

Dari segi tarian, pola lantai yang disajikan juga serupa. Pola lantai empat orang penari berputar searah jarum jam namun dengan koreografi yang tetap (statis). Sehingga, gerakan itu saya artikan sebagai perwujudan rotasi (perputaran).

Poin ke dua ialah translasi (pergeseran). Dari segi bebunyian, translasi (pergeseran) diwakilkan melalui penggunaan register nada yang ada pada gamelan. Pola permainannya menggunakan melodi lagu yang sama, namun dimainkan dengan register nada oktaf yang berbeda, seolah nada-nada itu berjalan naik dan turun dari titik satu ke titik lainnya. Dari segi gerak, pergeseran-pergeseran itu jelas terbaca pada pijakan kaki yang berjalan dinamis dari titik satu ke titik lainnya.

Poin ketiga ialah adanya dilatasi (perkalian). Perkalian dalam motif batik terletak pada jumlah motif yang berkelipatan. Misalnya motif batik kawung yang jumlahnya satu kemudian menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi delapan dan seterusnya. Perkalian atau kelipatan itu terjadi hingga motifnya memenuhi permukaan kain. Hal itu juga berlaku pada refleksi atau pencerminan.

Dari segi bebunyian, dilatasi dan refleksi terwakili dalam penggunaan tempo yang sebelumnya tunggal dan tetap, menjadi tempo yang rangkap. Selain itu, penggunaan cengkok-cengkok dalam instrumen musik siter ataupun rebab yang menunjukan kelipatan dari notasi balungan. Misalnya, notasi balungan yang menunjukan . 3 . 2 yang kemudian menjadi 3 3 . .  3 3 . 6  1 6 5 6 3 5 3 2 yang disebut cengkok puthut gelut. Pola itu menunjukan perkalian atau tabuhan rangkap.

Poin selanjutnya ialah dari segi artistik. Saya mencatat bahwa dalam artistik terdapat lingkaran tengah yang diselubungi kain-kain putih untuk menampilkan video mapping. Ada pula wayang berukuran besar dengan tokoh Pandhawa, Punokawan, serta Dewi Kunthi dan Madrin. Tokoh-tokoh itu diletakan di pilar-pilar pendapa. Letaknya ditata sedemikian rupa, kira-kira membentuk sebuah lingkaran mengikuti bundaran tengah tersebut.

Gareng dalam artistik Sandi Swara/Candra Yusuf L

Penataan itu merupakan penyarian dari nilai kultural yang ada di Jawa. Ada poin-poin krusial yang saya catat, yakni sedulur papat lima pancer. Sebuah ajaran yang menuntun masyarakat Jawa agar mengenal dirinya yang terdalam. Dalam hal ini, Punokawan menjadi sebuah implementasi dari sedulur papat-empat saudara itu.

Begitupun dengan Pandawa. Yudhistira ialah Pandawa tertua yang diejawantahkan sebagai pancer atau pusatnya. Selain itu, para pemain yang berada di tengah lingkaran juga menjadi simbol dari pancer-pusat diri dari setiap manusia. Ia putih, bersih, dan suci laksa makna dari motif kawung yang menggambarkan kejernihan dan kesucian.

Saya memandang bahwa pertunjukan ini bukanlah pertunjukan biasa. Perlu pembacaan yang rinci untuk mengungkap maksud-maksud yang tersirat dalam keseluruhan sajian pertunjukan. Selain itu, pertunjukan Sandi Swara menjadi sebuah katalisator untuk menyingkap motif batik dari sisi lain. Sajian yang padu antara motif-motif batik dan metode etnomatematika.

Pertunjukan ini menampilkan keselarasan antara motif batik serta nilai kultural yang dianut oleh masyarakat Jawa. Sayangnya, masih terdapat bebunyian yang belum saya mengerti dalam pertunjukan, namun saya meyakini bahwa catatan-catatan saya ialah maksud dari tajuk pertunjukan ini: Sandi Swara, bahasa lain dari batik yang diwujudkan ke dalam bentuk gerak, bunyi, artistik, serta video mapping.

Tautan dan ikhtiar

Jika ditelaah lebih dalam, banyak sekali pola pada sendi kehidupan masyarakat Jawa yang membentuk sebuah ekosistem, di mana masing-masing entitas saling berkaitan. Misalnya, dalam kutur agraris, adanya ritus bersih desa. Di dalam ritus itu tidak saja cukup dibaca dari segi pertunjukannya saja, tetapi juga sisi-sisi kontekstual yang saling bertaut, seperti alam, leluhur, kerukunan, serta kesenian yang menghidupi masyarakatnya. Dalam menunaikan ritus itu, semua entitasnya saling terkait dan tidak bisa dilepaskan dari satu sama lain.

Saya menduga, batik juga demikian. Batik, gerak, dan falsafah adalah sebuah kesatuan yang saling bertaut. Ikhtiar paling dekat ialah motif sidaluhur yang sering digunakan dalam rangka upacara pernikahan. Sidaluhur menjadi ragam hias motif batik yang wajib digunakan oleh kedua mempelai. Hal ini mempertautkan makna motif sidaluhur dengan kesuburan. Pernikahan ialah sebuah titik awal kesuburan. Di dalam pernikahan, kelak akan melahirkan kehidupan baru.

Pernikahan, kesuburan, serta bebunyian yang ada dalam kelindan ritus pernikahan meahirkan gendhing Kebo Giro sebagai perwujudannya. Di berbagai kesempatan, kala pernikahan dihelat, gendhing Kebo Giro senantiasa dikumandangkan. Menurut Herawati, dkk (2002:6), gendhing Kebo Giro berkisah tentang pertemuan permaisuri dengan seorang pangeran yang akan membina bahtera rumah tangga. Pertemuan itulah titik awal kesuburan yang dimaksud. Ritus itu mempertautkan berbagai entitas.

Kiranya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa pertunjukan Sandi Swara adalah sebuah ikhtiar yang ditunaikan untuk menyambung tautan-tautan yang ada. Kita telah melakoni berbagai masa, berbagai adat, dan budaya yang terus menyesuaikan dengan zaman.

Selain itu, banyak juga pengetahuan-pengetahuan yang berakar pada peristiwa lampau kini telah hilang. Menyambung tautan bukanlah perkara yang mudah. Namun, saya memandang bahwa Sandi Swara menjadi sarana untuk mempertautkan kembali unsur-unsur itu. Semoga formulasi itu terus terdedah di berbagai lini sepanjang masa. Amin!