Pada 19 Maret 2022 lalu, saya mendapatkan kehormatan untuk ikut serta dalam kegiatan Survey Arkeologi di Kawasan Singkil Lama yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh bekerjasama dengan WANSA, lembaga yang dibesut oleh Abu Husaini Ibrahim.

Meski bukan bagian dari tim kerja, tetapi saya merasa senang karena bisa bertemu dengan akademisi dan praktisi handal seperti Dedi Satria, Muhajir Al Fairusy, Amir Husni, Zaki dan Saryulis dari WANSA. Tidak main-main, BPCB Aceh sampai menurunkan tim khusus yang diwakili oleh Ambo, Dahlia, dan Robby.

Sejak saya ditugasi oleh kantor untuk melakukan pengkajian nilai budaya di Kabupaten Aceh Singkil, Kawasan Singkil Lama adalah salah satu tempat yang ingin saya datangi. Karena menurut informasi yang saya dengar, tempat ini banyak menyimpan kenangan dari orang-orang Singkil yang hidup di masa lalu.

Memang bukan kapasitas saya untuk mengungkap misteri sejarah itu, tetapi sekedar tahu sudah cukup untuk memuaskan dorongan batin yang muncul selama ini. Ketika saya mendengar ada tim dari Banda Aceh yang ingin menelusuri hal itu, saya bersemangat dan ingin turut serta.

Alhamdulillah, gayung bersambut. Saya diperbolehkan oleh team leader survey, Zaki, untuk ikut. Saya hanya bisa meluangkan waktu sehari lantaran saya juga sedang ditugasi kantor untuk melakukan pengkajian tentang sagu sebagai data dukung pengusulan Warisan Budaya Tak Benda asal Kabupaten Aceh Singkil tahun 2022.

Meski demikian, pengalaman ini merupakan pembelajaran yang sangat berharga, karena saya dapat melihat langsung bagaimana arkeolog profesional bekerja. Terlebih lagi, kami bisa berbagi cerita tentang berbagai kemungkinan yang dulu pernah terjadi di Kawasan Singkil Lama.

Konstruksi tersebut ditentukan berdasarkan tinggalan arkeologi yang ditemukan, dokumentasi, studi literatur, serta dari hasil wawancara orang-orang tua yang memiliki memori kolektif tentang peradaban Singkil yang hilang.

Hutan bakau yang nyaris tak terjamah

Perjalanan menuju Kawasan Singkil Lama memakan waktu sekitar 50 menit. Transportasi yang digunakan waktu itu adalah perahu kayu yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Bungki. Perahu kayu atau bungki tersebut digerakkan oleh mesin kecil bertenaga 10-15 pk yang mereka sebut sebagai mesin Robin.

Penamaan Robin ini dulunya diambil dari nama merek dagang mesin sejenis, lalu sebutan ini melekat pada semua mesin yang digunakan untuk menggerakkan perahu kayu tersebut. Apapun mereknya, tetap saja disebut mesin robin. Pada akhirnya, masyarakat setempat menyebut perahu kayu atau bungki yang bermesin sebagai Perahu Robin atau Robin saja.

Perjalanan kami cukup menantang. Meskipun terbilang dangkal, tetapi jalurnya relatif sempit. Tanaman rawa di kiri dan kanan menutupi jalur perahu, ditambah lagi adanya buaya yang menunggu mangsa dari balik tanaman air yang tumbuh lebat. Daerah Aliran Sungai Singkil memang terkenal akan buayanya, baik yang bermukim di kawasan rawa maupun di sekitar muara.

Kawasan Singkil Lama terletak pada 2.252520 LU dan 97.777300 BT. Jika ditinjau dari google maps, terlihat seperti semenanjung kecil yang dibelah oleh sungai besar. Ekosistem ini merupakan bagian dari Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh sembarang dimasuki orang.

Menurut penuturan masyarakat sekitar, kawasan ini dulunya adalah bekas kota yang ditinggalkan karena tsunami besar (galoro) yang terjadi pada 9 Maret 1861. Sebagian besar kawasan ini sudah menjadi hutan rawa yang didominasi oleh tanaman bakau, tanaman nipah, serta beragam tanaman air lainnya.

Perahu Robin kami sandarkan di dekat pantai karena tanahnya keras dan cenderung stabil. Hewan kedua yang menyambut kami setelah buaya adalah agas, yakni nyamuk rawa berukuran kecil yang gigitannya mampu menembus jaket dan celana jeans yang tebal.

Dari tempat bersandarnya perahu Robin, kita harus berjalan kaki sekitar 20 menit untuk mencapai lokasi yang diduga memiliki banyak tinggalan arkeologis. Tanahnya berlumpur, becek, dan digenangi oleh luapan air laut dan sungai. Di beberapa lokasi terdapat lumpur hisap, dan kaki saya sempat terperosok ke dalamnya karena tidak hati-hati. Untungnya segera ditolong oleh salah seorang anggota tim, jika tidak mungkin saya akan terjebak selamanya di sana.

Kota kolonial di bawah lumpur

Sesampainya di lokasi, kami melihat banyak sekali bukti yang mengarah pada asumsi bahwa kawasan ini dulunya merupakan kawasan permukiman. Ada banyak sekali kami temukan sisa-sisa peninggalan sebuah peradaban, seperti struktur bangunan, nisan, pecahan keramik, arloji, botol kaca, pecahan genting, dan benda lainnya.

Melihat temuan-temuan itu, para arkeolog sibuk melakukan proses pengumpulan data. Masing-masing dari mereka memiliki tugasnya sendiri, mulai dari pengukuran, pendokumentasian, pengambilan titik kordinat, scrubbing, pembersihan, pengupasan, pengapuran, pengambilan sampel, hingga pembacaan terhadap tulisan apapun yang mereka temukan.

Temuan-temuan penting yang berukuran besar seperti struktur bangunan, mereka ukur lalu diambil dokumentasinya. Sedangkan untuk temuan benda berukuran kecil mereka bawa sebagai sampel untuk diteliti lebih lanjut. Para arkeolog bekerja dengan tim kecil, yang menyebar dari satu titik ke titik lain untuk menentukan zonasi atau perkiraan luas wilayah kawasan.

Hasil survey sementara menguatkan asumsi bahwa kawasan ini dulunya merupakan sebuah kota dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Hal ini ditandai dari temuan struktur yang tersebar dalam cakupan radius yang cukup luas, dan sebagian besar kota lama ini telah tenggelam karena kenaikan permukaan laut.

Nisan-nisan yang ditemukan di kawasan ini ada yang bertipe Aceh, dan ada pula yang bertipe Barus. Ini menandai bahwa kawasan Singkil Lama banyak dihuni oleh kaum ulama dan bangsawan yang berasal dari Aceh dan Barus. Hasil pembacaan terhadap inskripsi yang ada pada nisan dan objek lain menunjukkan bahwa kota ini eksis pada abad ke 17-18 atau masa kolonial. Sementara temuan benda-benda kecil seperti pecahan keramik, tembikar, dan benda-benda lain menunjukkan aktivitas kehidupan manusia di masa lampau.

Temuan ini lalu disesuaikan dengan literatur yang dijadikan referensi oleh tim arkeolog serta beberapa narasumber kunci yang memiliki bukti sejarah tentang Kawasan Singkil Lama. Dari hasil triangulasi data yang mereka lakukan, kuat dugaan bahwa kawasan ini merupakan salah satu pelabuhan yang ramai di masanya. Ini merupakan sebuah temuan yang mengejutkan dan mungkin saja akan menjadi mata rantai baru yang dapat digunakan untuk memahami sejarah Aceh dalam bingkai yang lebih luas, khususnya di Aceh Singkil.

Potensi Objek Diduga Cagar Budaya

Sebagai kawasan yang mengandung banyak objek diduga cagar budaya (ODCB), kawasan ini sangat penting untuk segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya di tingkat kabupaten. Tujuannya untuk melindungi kawasan ini dari tangan jahil yang memiliki niat untuk merusak atau menjarah objek diduga cagar budaya yang ada di dalamnya.

Tanpa penetapan status cagar budaya, kawasan ini masih berstatus objek diduga cagar budaya. Tidak ada larangan khusus kepada siapapun yang ingin masuk ke dalamnya dan apapun yang mereka temukan akan menjadi milik mereka. Tetapi jika sudah ditetapkan, kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, dan apapun yang mereka temukan di kawasan itu adalah milik negara.

Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sebaiknya mengambil langkah yang terukur, dengan mengangkat Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang tersertifikasi untuk merekomendasikan kawasan ini menjadi Cagar Budaya. Memang tidak mungkin melakukan ekskavasi di kawasan ini secara menyeluruh, karena zonasinya terlalu luas, kondisi medan yang cukup berat, serta objek diduga cagar budaya yang berada di bawah air. Tetapi dengan penetapan yang dilakukan, setidaknya kawasan ini akan tetap eksis sebagai salah satu bukti sejarah peradaban Singkil yang dapat dikaji oleh siapa saja dan kapan saja.

Selain dari sisi sejarah, kawasan ini juga memiliki potensi yang besar untuk dikelola sebagai objek wisata minat khusus. Tidak perlu banyak menghabiskan uang untuk merekayasa lingkungan di zona inti, tetapi yang perlu dilakukan adalah menyediakan sarana dan prasarana transportasi yang memadai, mempersiapkan SDM untuk dijadikan sebagai pemandu, memasukkan kawasan ini ke dalam peta pariwisata daerah, serta mempromosikan kawasan ini sebagai salah satu destinasi unggulan yang ada di Aceh Singkil.

Penyunting: Nadya Gadzali