Mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…”

Begitulah kalimat yang kerap mengawali dialog tokoh Semar dalam pewayangan. Apabila dipahami, kalimat itu begitu sarat akan makna. Bila diartikan, kira-kira seperti ini, daripada diam (mbregegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg), dan mencari makan (hmel-hmel), walaupun hasilnya sedikit (sak dulito), tapi akan terasa abadi (langgeng).

Begitulah yang tertulis di dalam buku Ki Sigit Sapto Nugroho yang berjudul “Punokawan Penuntun Menuju Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. Dari situ kita dapat mempelajari sebuah pesan agar kita harus tetap berusaha walaupun hasilnya hanya sekedar untuk makan, namun kepuasan yang didapat menjadi hadiahnya.

Begitulah Semar, salah satu sosok dalam pewayangan khas Jawa. Sosok yang ikonik dan penuh keunikan. Dalam satu tokoh, ia dapat mewakili mikrokosmos dan makrokosmos budaya Jawa sekaligus. Setiap kata yang diucapkannya selalu spontan, tapi mengandung kebenaran dan mengundang kebahagiaan. Oleh karenanya, ia begitu istimewa dan mempesona. Dengan mudahnya ia menarik perhatian dan menghibur penonton.

Banyak aspek di dalam sosok Semar masih menjadi misteri. Apakah ia laki-laki atau perempuan? Karena pada bagian kepalanya laki-laki, namun pada badannya memiliki payudara seperti perempuan. Oleh karenanya, ia sering disebut ora lanang ora wadon atau bukan laki-laki, bukan pula perempuan yang mewakili sifat feminin sekaligus maskulin dalam tubuh yang sama.

Rahasia tentang umurnya, apakah ia masih muda karena memiliki rambut dengan kuncung seperti kanak-kanak? Apakah karena ia sudah tua sehingga rambutnya memutih layaknya orang tua? Mengapa ia tersenyum bahagia namun matanya sembab seperti sedang bersedih? Tidak ada yang tahu ia sedang tertawa senang atau menangis tersedu. Namun, itulah yang membuatnya istimewa sekaligus filosofis. Seluruh sifat yang bertolak belakang itu ada pada satu sosok, yaitu Semar.

Banyak sumber yang mengatakan ihwal asal-usul Semar. Dalam buku Haryanto yang berjudul “Bayang-bayang Adiluhung” disebutkan bahwa Semar dapat bermakna samar ataupun samar-samar. Karena kebenaran yang pasti seputar Semar banyak beredar dengan versi yang berbeda-beda.

Semar, selain sebagai lambang kebenaran dan kearifan, ia juga menggambarkan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Dari segi peran, salah satu tokoh wayang ini memainkan peran pamomong (pengasuh) bagi keluarga Pandawa. Ia ada dalam bagian tokoh Punakawan yang bertugas sebagai pengasuh.

Dalam menjalankan tugasnya, ia berperan sebagai abdi. Namun dalam praktiknya, ia juga menjadi guru spiritual dan penasihat bagi para Pandawa. Ia bertugas mengasuh sekaligus memberi nasihat kepada para Pandawa. Membimbing para Pandawa agar tetap pada jalan kebenaran dan memiliki kesucian hati nurani.

Hal yang dapat dipetik dari sifat Semar adalah bagaimana para tokoh dengan derajat tinggi dalam pewayangan (Pandawa) juga tetap membutuhkan guru dan pembimbing bagi dirinya. Apalagi hanya sekedar manusia biasa. Hal itu dapat menjadi pengingat bagi kita semua bahwa, setiap manusia begitu lemah sehingga membutuhkan pamomong atau penasihat dalam hidupnya. Pamomong dapat pula diartikan sebagai guru atau pembimbing dalam upaya pencarian jati diri.

Dalam bukunya yang berjudul “Aneka Wayang Nusantara”, Morena Cindo menyebut bahwa para tokoh Punakawan, termasuk Semar di dalamnya, dibentuk semirip mungkin dengan masyarakat Jawa, karena ia adalah simbol dari masyarakat Jawa yang beragam.

Ada beberapa karakter, seperi penghibur, kritikus sosial, bahkan sumber kebenaran. Para tokoh Punakawan dimainkan pada sesi goro-goro. Sesi ini dimainkan oleh para dalang sebagai selingan agar penonton tidak bosan menyimak alur pertunjukan yang cenderung serius. Goro-goro dengan lihai mewakili bahasa rakyat. Pada sesi ini, para Punakwan kritik sana-sini dengan menghibur tanpa meninggalkan pesan moral.

Setelah sesi goro-goro, umumnya dilanjutkan dengan adegan peperangan dan saling membunuh. Itulah perwujudan dari falsafah Jawa yang mengedepankan kepala dingin untuk menyelesaikan masalah. Semua hal perlu dilakukan dengan tenang dan melalui musyawarah agar tidak melakukan tindakan gegabah tanpa mengetahui semuanya secara pasti. Lalu, bila itu semua gagal, jalan peperangan dapat dipilih untuk menegakkan kebenaran.

Kesederhanaan dan kebaikan untuk sekitar

Laku sederhana yang coba disampaikan oleh Semar melalui simbol filosofis ialah tokoh Semar pada pewayangan yang digambarkan tanpa busana, ciri yang menggambarkan bahwa ia adalah sosok yang sederhana dan tidak terbuai dengan kemewahan dunia, karena sebaik-baiknya pakaian manusia adalah kesucian dan kebaikan.

Perilaku sederhana yang diajarkan tokoh Semar perlu ditiru agar menjadi oase di tengah era konsumerisme. Zaman ketika manusia rela saling injak untuk mengumpulkan kekayaan, bahkan mengorbankan yang lainnya. Oleh karenanya, perlulah kita meniru Semar dengan berpegang teguh pada kesederhanaan.

Wayang Semar juga mencontohkan hal lainnya melalui simbol-simbol. Seperti tangan Semar sebelah kiri dibuat menunjuk. Itu adalah sebuah isyarat bahwa ia akan selalu menunjukkan jalan kebenaran. Dapat diartikan sebagai tanda bahwa Semar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keTuhanan.

Tangan kanannya dibuat menggenggam dan disembunyikan di belakang tubuhnya yang berarti bahwa ia menyembunyikan kebaikan dan seluruh kelebihan yang ada pada dirinya, sekaligus ia memegang teguh prinsip kebenaran yang ada di hatinya. Dapat pula diartikan bahwa kebenaran harus dijaga, walaupun sulit, bahkan jika nyawa menjadi taruhannya.

Tokoh Semar mengajarkan kita untuk menanggalkan sifat-sifat negatif manusia, seperti sombong, iri, dengki, amarah, angkuh, rakus, dan sifat buruk manusia lainnya. Semar menggambarkan itu dengan tidak memakai baju buatan manusia, gambaran bahwa ia telah meninggalkan sifat-sifat buruk manusia, karena sifat-sifat itulah yang menjadi cikal bakal perbuatan buruk bagi manusia dan sekitarnya.

Hidup itu nyala

Salah satu wejangan yang termahsyur dari Semar adalah “urip iku urip”. Ungkapan ini bermakna bahwa manusia harus bermanfaat bagi sesama. Dalam buku “Semar dan kentut kesayangannya” karya Deny Hermawan, disebutkan arti kalimat itu. Secara harfiah berarti hidup itu nyala. Sedangkan secara makna, ungkapan itu berarti bahwa hidup haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi sesama. Semakin besar yang diberikan, tentunya akan semakin baik. Namun jika tidak sanggup, setidak-tidaknya jangan sampai melakukan hal buruk.

Selebihnya, manusia haruslah menjaga alam dan kehidupan sosial secara seimbang. Karena hidup bukan hanya soal kerja dan mencari harta. Bukan pula soal ibadah semata. Melainkan keduanya harus dibangun dan dijaga secara bersamaan. Jika itu dilakukan, kita telah menjadi seperti cahaya yang menyala terang menyinari sekitarnya.

Ketika berjalan, tokoh Semar akan menoleh ke kiri, ke kanan, lalu kebelakang. Tingkah laku yang bermakna bahwa manusia harus peka terhadap lingkungan sekitarnya. Manusia harus mempedulikan manusia lainnya, membantu manusia lainnya yang sedang kesulitan dan membutuhkan pertolongan, agar tercipta keharmonisan dan kedamaian. Manusia harus menjadi cahaya dalam gelap.

Semar, sebagai simbolisasi falsafah Jawa, sudah tentu memiliki segudang makna yang dapat kita pegang teguh. Walaupun digambarkan sebagai sosok yang unik dan jauh dari perawakan yang sempurna, ia mengajarkan hal-hal bajik yang dapat dipetik. Ia tidak tampil sebagai sosok pahlawan dalam pertunjukan zaman modern dalam wujud sedap dipandang. Dari sana, kita diajarkan untuk tidak berfokus pada sosok, tidak mengukur seseorang dari tampak luarnya saja, tetapi juga melihat apa yang telah dilakukannya.

Penyunting: Nadya Gadzali