Membaca Sungai Citarum adalah perihal merentangkan sejarah sekaligus—mulai dari terbentuknya danau purba, cekungan Bandung, hingga berdirinya kerajaan-kerajaan.

Menarik mundur sejarah terbentuknya peradaban manusia di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX/Jawa Barat (BPK IX) menggelar ekspedisi Jejak Budaya Citarum dengan mengambil Museum Geologi sebagai titik keberangkatan.

Informasi yang mungkin diperlukan selama ekspedisi, disampaikan Unggul Prasetyo Wibowo selaku Penyelidik Bumi Muda Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia menjelaskan perihal artefak, replika, dan berbagai temuan di sepanjang jalur Citarum yang terperaga sebagai koleksi museum.

Geokronologi danau purba akibat letusan Gunung Sunda tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kota Bandung. "Sekitar 16.000 tahun yang lalu, material dari letusan gunung berapi purba membendung aliran Sungai Citarum sehingga menciptakan danau intragunung di sisi timur dan barat", terang Unggul.

BPK IX selaku Unit Pelaksana Teknis di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—membangun narasi “Cerita Citarum” melalui penuturan para ahli yang terlibat langsung dalam penelitian situs kepurbakalaan dan cagar budaya di sepanjang rute ekspedisi.

Situ Cisanti

Cerita Citarum, sebagai bagian dari penelusuran Jejak Budaya Citarum, berangkat dari kebutuhan membaca ulang sejarah dan menafsir kembali peran Sungai Citarum bagi ekosistem di sekitarnya. Ekspedisi ini melibatkan sinergitas pentahelix yang terdiri dari instansi, akademisi, industri, komunitas, dan media untuk bersama-sama memusatkan perhatian pada tinggalan budaya di sekitar DAS Citarum, mulai dari Situ Cisanti hingga Kompleks Percandian Batujaya, 25-29 Mei lalu.

Situ Cisanti, pertemuan 7 mata air Gunung Wayang dan titik nol Sungai Citarum/Nadya Gadzali

Situ Cisanti menjadi titik pertemuan tujuh mata air dari kaki Gunung Wayang, mengaliri celah-celah Cekungan Bandung dan akhirnya bermuara di Laut Jawa melalui Pantai Utara Kabupaten Karawang.

Suhanda, kokolot (yang dituakan) di Desa Tarumajaya, desa tempat Situ Cisanti berada, menceritakan tujuh mata air yang begitu dihormati oleh masyarakat adat dari berbagai daerah, seperti Baduy dan Sancang. Ritual itu tidak dilakukan oleh masyarakat di kawasan Situ Cisanti, meski pernah dilaksanakan pada tahun 2007 atas prakarsa Atep, salah satu tokoh desa. "Tapi sekarang sudah tidak dilakukan lagi karena mengundang pro dan kontra dari masyarakat,” kata Suhanda. “Umat Hindu saja yang melaksanakan tradisi melukat di Cisanti. Orang Sunda menyebutnya malokat,” pungkasnya.

Gua Pawon

Melanjutkan perjalanan ke kawasan karst Padalarang, Bandung Barat. Lutfi Yondri, peneliti situs purbakala Gua Pawon saat ditemui di lokasi, bertutur tentang kehidupan manusia prasejarah pada rentang 5.600-12.000 tahun yang lalu, yang terungkap melalui upaya penggalian. Kecerdasan manusia purba yang tinggal di celah-celah tebing kapur Gua Pawon terungkap melalui sejumlah temuan.

Tim ekspedisi Jejak Budaya Citarum mengunjungi Gua Pawon/BPK IX

Mereka diduga telah menjelajahi alam terbuka sejak 12.000 tahun lalu. Dari tinggalan budaya yang ada, manusia prasejarah menetap di dekat sumber-sumber air.  Kemampuan navigasi dan eksplorasi penghuni Gua Pawon tergambar melalui temuan gigi ikan hiu dan cangkang kerang di lokasi ekskavasi. Bukti peradaban itu semakin menguatkan anggapan bahwa manusia prasejarah juga melakukan penjelajahan dan menjalin kontak budaya dengan manusia purba di pesisir. “Kemungkinan besar, mereka menjalin hubungan atau mengembara ke Ranggawulung, Kabupaten Subang, yang dahulu merupakan pesisir pantai”, jelas Lutfi.

Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional itu juga mengatakan, penelitian Gua Pawon dilakukan selama 21 tahun, diawali  temuan jejak budaya di lokasi oleh survei dan pemetaan geologi yang dilakukan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) pada bulan Mei 1999. Sebanyak tujuh kerangka manusia dari individu berbeda ditemukan, terdiri dari tengkorak, rahang bawah dan atas, serta dua kerangka dalam posisi terlipat yang mengindikasikan kepercayaan tertentu dan keterbatasan ruang di area pekuburan.

Candi Bojongmenje

Peninggalan budaya yang berhubungan dengan Sungai Citarum tidak hanya dapat ditemukan di Kabupaten Bandung Barat, tetapi juga di Bojongmenje, Rancaekek, Kabupaten Bandung. Seorang warga yang hendak merapikan gang dekat rumahnya secara kebetulan menemukan artefak era klasik di antara tembok tinggi pabrik dan hiruk pikuk kawasan industri. Ia mengumpulkan sampel material di tempat yang sekarang dikenal sebagai Candi Bojongmenje, sebuah kompleks bangunan peninggalan masa pra-Islam yang keberadaannya kini terancam oleh perambahan bangunan industri dan kawasan pemukiman warga.

Tumpukan material Candi Bojongmenje di Situs Rancaekek/Nadya Gadzali

Bebatuan dengan profil persegi panjang dan bingkai padma pada reruntuhan bangunan candi seluas 6x6 meter itu diduga merupakan tempat peribadatan umat Buddha di zaman Kerajaan Tarumanegara, sekitar abad ke-6. Sungai Cimande dan Sungai Citarik yang mengalir di dekat situs mengindikasikan Candi Bojongmenje atau yang dikenal sebagai Situs Rancaekek itu semakin kuat mengarah pada pertanggalan budaya era klasik.

Dermaga Talibaju

Ekspedisi berlanjut ke Kabupaten Purwakarta. Geograf yang tergabung di Kelompok Riset Cekungan Bandung, T. Bachtiar, dalam artikel yang ditulisnya, menyebut Dermaga Talibaju sebagai simpul perdagangan komoditas gunung dan laut. Ia merinci dokumen yang memuat informasi tentang lalu lintas perniagaan di Cikaobandung pada zaman kolonial Belanda. Jacob Wouter de Klein (1931) dalam Het Preangerstelsel (1677-1871) menerangkan bahwa komoditas kopi, kapas, dan nila dari Priangan dikirimkan melalui Dermaga Cikao dan Dermaga Karangsambung ke Batavia.

Dermaga Talibaju, simpul perdagangan komoditas yang kini sepi aktivitas dan pengunjung/Nadya Gadzali

Selain berfungsi sebagai pelabuhan yang melayari produk-produk pertanian dari pedalaman Priangan, Dermaga Cikao juga berfungsi sebagai penghubung distribusi komoditas garam yang tidak dapat diproduksi di pegunungan. Di dalam surat yang diterima P. Engelhard, ditemukan narasi yang menyatakan bahwa Van Lawiek telah mengirimkan beberapa coyang garam dari Cikao ke tiga distrik di kabupaten pada 29 November 1804 (Priangan, De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811). Data itu didukung oleh dokumen Bataviaasch handelsblad (11-03-1868) yang memuat laporan tentang tarif pengangkutan produk milik Pemerintah dari Cikao ke Batavia dan komoditas garam dari Pakis ke Cikao.

T. Bachtiar mengutip catatan PH. Vander Kemp circa 1916, bahwa petugas gudang dermaga diminta bertanggung jawab secara individu kepada dewan keuangan dan akuntan (Landelijk Stelsel dari Jawa 1817-1819 Naar Oorspronkelijke Stukkendoor). Peringatan itu diberikan kepada pengelola gudang di Buitenzorg, Cikao, Karangsambung, dan Indramayu. Mereka diperingatkan untuk bekerja jujur dalam mengelola aktivitas bongkar muat di dermaga.

Tingginya aktivitas bongkar muat di Dermaga Cikao juga sempat menimbulkan penumpukan barang lantaran terbatasnya jumlah armada perahu ke Batavia, sehingga pada tahun berikutnya, kendala pengiriman komoditas itu ditanggapi oleh Residen Batavia Van Der Vinne melalui pengumuman lelang di Javasche Courant pada Maret 1832 dengan teknis penyerahan barang di gudang di Dermaga Cikao.

Candi Batujaya

Menjelajahi DAS Citarum berarti menyusuri setiap jengkal jejak peradaban di sekitarnya, termasuk bukti peradaban masa pra-Islam yang berada tak jauh dari muara Sungai Citarum yang terletak di Pantai Utara Jawa Barat, tepatnya di Desa Segaran-Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya-Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang.

Candi Jiwa, Situs Batujaya/Nadya Gadzali

Tahun 1994, ketika temuan arkeologis berupa bebatuan candi pertama ditemukan di lokasi itu, Candi Batujaya masih berupa gundukan-gundukan tanah di areal persawahan warga. Dua candi yang sudah selesai dipugar menunjukan bahwa Candi Jiwa, dipugar tahun 1996-2000, diduga memiliki relevansi dengan agama Buddha. Di dalamnya terdapat penyimpanan abu jenazah bersama temuan artefak lain yang berkaitan dengan tradisi ziarah umat Buddha, seperti amulet, puing tembikar, dan pecahan wadah bermaterial tembaga dari abad ke-4.

Candi Blandongan teramati lebih kokoh dibandingkan Candi Jiwa. Dari segi teknologi dan arsitektur, Candi Blandongan memiliki catatan arkeologi yang lebih lengkap. Struktur rangka bangunan Candi Blandongan yang rumit memungkinkan pelacakan jejak-jejak yang tertinggal, termasuk bukti kondisi peradaban tepian sungai yang sering dilanda banjir.  “Ada bagian yang ditinggikan di bagian pintu candi”, kemungkinan untuk menghindari banjir”, ujar peneliti BRIN, Agustijanto Indrajaja yang didaulat sebagai narasumber.

Candi Blandongan, Situs Batujaya/Nadya Gadzali

Melansir data BPK IX, disebutkan bahwa Situs Batujaya mengacu pada sisa-sisa bangunan Hindu dan situs penemuan pra-Hindu yang dikenal dengan “Kebudayaan Buni”, letaknya tidak jauh dari Situs Cibuaya (sekitar 15 km timur laut) dan diyakini berasal dari abad pertama Masehi. Ye-po-ti, transliterasi dari Jawa Dwipa, diduga merupakan istilah yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanagara, sebuah kerajaan di Pulau Jawa yang sedang berjaya ketika itu.

Istilah Ye-po-ti digunakan pertama kali oleh biksu Tiongkok, Fa Hsien, yang melakukan perjalanan ke Jawa pada tahun 414 Masehi. Meskipun umat Buddha pada masyarakat pra-Hindu hanya sedikit, namun terdapat banyak Brahmana dan penganut kepercayaan lokal yang menunjukkan bagaimana hubungan sosial pada masa itu didasarkan pada toleransi beragama.

Candi Jiwa dan Candi Blandongan ditengarai sebagai bangunan di tepi danau atau rawa yang terbentuk akibat berbeloknya aliran Sungai Citarum dari arah Utara ke Barat Laut. Begitu pula dengan penamaan dua desa yang berada di dekat Situs Batujaya yang disinyalir memiliki hubungan toponimi antara lokasi bangunan candi dengan ciri-ciri alam tepi danau. Istilah Sansekerta untuk menyebut kolam, laut atau danau memiliki kaitan erat dengan penamaan desa terdekat, Segaran dan Telagajaya.

Ekspedisi Jejak Budaya Citarum mengambil Candi Batujaya sebagai tujuan akhir. Namun kemudian, muncul pertanyaan tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan Sungai Citarum untuk irigasi areal persawahan, menggerakan roda industri, mengakomodir kebutuhan MCK, dan memasok air minum bagi jutaan warga Jawa Barat hingga DKI Jakarta?

Tinggalan budaya dan sejarah yang melatarinya telah menjadi basis pengetahuan untuk membangun narasi tentang pentingnya Sungai Citarum, termasuk memberikan dukungan terhadap kelahiran tulisan ini. Akan tetapi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, akan diulas perihal fakta pencemaran lingkungan di sepanjang DAS Citarum, upaya-upaya yang telah dilakukan, serta bagaimana kebudayaan setempat-melalui kearifan lokalnya dapat membuat suatu langkah mitigasi untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan di wilayah DAS Citarum.

[Bersambung ke bagian dua...]