Mereka bertafakur di dalam gua dan hutan yang sunyi, mendaras semua doa dan ampunan atas segala dosa yang dilakukannya selama berkuasa. Di dalam kesepian itu, mereka menemukan kearifan hidup, tentang hakikat manunggaling kawula gusti, bersatunya hamba dengan Tuhannya. Sesekali mereka menangis penuh sesal, meratapi laku hidup yang telah dijalani. Dalam batas waktu tertentu, kekuasaan, kendatipun candu menggiurkan, namun sudah selayaknya untuk ditinggalkan.

Kisah Brawijaya, Siliwangi, Jayabaya, Gajah Mada dalam kuasa epos, dongeng, dan legenda di tanah Jawa adalah sebuah tauladan. Saat di mana mereka harus memutuskan berkelana dalam jalan hening, tak lagi meneruskan hasrat berkuasa, kendatipun kesempatan itu masih ada. Mereka meninggalkan kegaduhan, melepaskan tahta, memilih menjadi sudra, bergaul kembali dengan masyarakat biasa, bertapa dan kemudian moksa, hilang tak berbekas.

Para penguasa itu meninggalkan panggung kekuasan menuju “kenihilan”. Mereka meneguhkan penderitaan sebagai jalan penebusan dosa, melepaskan nafsu keduniawian. Sadar bahwa dalam diktum waktu, penebusan atas segala salah sedang dipertaruhkan. Barangkali, sebelum menuju palagan “pelepasan”, mereka telah sadar bahwa kekuasaan adalah panggung di mana keculasan dan kebencian dilahirkan. Karena itu, mereka takut kematian datang sebelum ritus taubat dilakoni. Rela untuk tak dikenang atau dilupakan, tak dituturkan dalam upacara, tak tertulis dalam buku pelajaran, dan tak tersebut dalam dongeng. Bahagia dalam ketiadaan, bersua bersama Tuhannya, dalam kesunyian, dekat dengan sangkan paran (ajal).

Kedamaian muncul kala kalimat-kalimat taubat dideras dengan kudus. Merelakan tubuh dan dirinya menua dan tiada bersama hening, merayakan kematian tanpa sesal. Surga memang absurd, namun jalan menujunya telah digariskan, dan kebudayaan memberi arti dan nilai akan hal tersebut.

Menjauh yang Gaduh

Pada dongeng-dongeng laten tentang kekuasaan di tanah Jawa, lewat kerajaan-kerajaan yang tumbuh kemudian silih berganti tumbang, lakon hidup penguasa selalu menjadi pusat untuk dibaca dan dimaknai. Kisah tentang penyerahan diri, meredam ambisi berkuasa adalah wacana yang cukup menarik untuk direnungkan di hari ini. Di kala kekuasaan dan jabatan menjadi candu, kita kemudian melihat kekuasaan tanpa paripurna, tak ada kata selesai dan cukup. Jawa, menjadi katalisator yang menjelaskan tentang arti sebuah kedewasaan.

Dalam segala epos dan cerita, kita ditunjukkan dengan kemuliaan hidup, di kala penguasa sebagaimana Brawijawa, Siliwangi, Jayabaya, Sabda-Palon, Naya Genggong dan Pandawa dalam kitab Mahabarata memilih untuk selesai, kemudian berkubang dalam kemelaratan dan keterbatasan. Mereka menjalani laku “pengikhlasan” dengan melepas segala eksistensi demi abadi dalam norma struktur baru, kehidupan yang wigati dan suci, selayaknya denting lonceng-lonceng kuil yang pastoral.

Upaya melepas eksistensi keduniawian adalah sebuah tawaran pengingatan yang akan selalu hidup dalam rentang sejarah manusia di negeri ini. Kesucian dan kemurnian hidup yang hanya diperoleh dalam kesenyapan, bukan gemuruh dan kegaduhan. Oleh karena itu, kebudayaan kita mengajarkan tentang arti penting mendamba yang hening dengan membuat anasir-anasir megalitik purbawi, kendatipun zaman telah memasuki era quantum. Anasir-anasir itu selayaknya puasa, kenduri, selametan, larung, ruwatan, dan pengekalan ritus kesunyian di punden-punden, gunung, laut, telaga, dan pohon-pohon.

Ekspresi pagan yang seringkali dihadapkan pada persoalan klaim halal-haram itu sejatinya semata berisi perenungan dalam keheningan, tak ubahnya detoksinasi diri dari riuh dan gaduhnya hidup yang melelahkan. Di ruang senyap itulah mereka menemukan arti penting asal muasal, dari mana dan kemana mereka bermula lalu berakhir.

Sampai pada detik ini, anasir-anasir itu bermetafora menjadi berbagai bentuk, namun harus dihadapkan dengan zaman yang tak lagi memihak. Di era kini kita terlalu gaduh, bising dan ramai mempersolakan sesuatu yang banal berisi keduniawian. Kita tidak lagi dapat melihat penguasa yang larut dalam dimensi spiritual, melepaskan segala ambisi kekuasaan, kembali menjalani hidup dalam ketiadaan, sebagaimana para raja yang mendamba gua, hutan, dan gunung-gunung yang suwung atau sunyi. Kesuwungan itu sejatinya adalah medan perang yang sesungguhnya, ia harus bertarung dengan dirinya sendiri, melawan nafsu, emosi dan bahkan dorongan untuk berkuasa kembali. Kini kekuasaan adalah candu dan hanya kematian yang dapat menghentikannya.

Kita tidak lagi mengenal tauladan sangkan paraning dumadi, tentang habitus pengingatan pada kefanaan dan ketuhanan. Zaman telah mengalami revolusi yang menekankan kebisingan dan kegaduhan sebagai pijakan. Apapun diukur lewat kalkulasi matematis dengan pertimbangan untung dan rugi materi.

Kita meniadakan ruang kontemplatif, untuk sekadar merenung sejenak, mengingat dan mengakui segala salah dan luput. Tidak ada ritus yang mendamba kesunyian seperti laku senyap dalam puasa diam, menyendiri di gua dan puncak-puncak gunung, selayaknya para Brahmana dan pertapa yang agung. Dalam kesunyian yang demikian, eksistensi diri termaktub dalam dikotomi yang tak sekadar transenden, namun juga imanen. Menjadi katalisator yang mendekatkan tubuh dengan nur cahaya ilahi. Karena itu, di Jawa, moksa tidak semata dimaknai sebagai kehilangan tubuh atau diri yang lenyap, tapi juga kesempurnaan jiwa.

Pada detik ini, kita tidak lagi dapat melihat penguasa yang arif, yang dengan kesadaran diri merelakan tubuh untuk tak lagi terlibat dalam palagan kekuasaan. Kita merindukan penguasa yang sadar untuk selesai dan mencukupkan diri, menjadi tiada di tengah hiruk pikuk kebisingan panggung politik. Belajar lewat kisah-kisah tradisi, kembali ke masyarakat, menjadi biasa dengan kesantunan dan kesederhanaan. Selayaknya para Brahmana, pada akhirnya, kabar kematian dan ketiadaan tentang dirinya bukan sekadar menjadi berita duka, namun selebrasi kegembiraan atas ketauladanan hidup bagi sesama. Kita mendamba penguasa yang meninggalkan riuh kekuasaan, sebagaimana kebudayaan serupa diwariskan. Merelakan kebesaran dirinya digantikan dengan suara-suara sunyi untuk hidup sebagai manusia biasa yang sudra.

Raja-raja besar itu, dalam sepertiga malam menjelang pagi, keheningan yang didamba pun tiba, ia dapat merasakan nafas dan denyut jantungnya dengan lansap. Doa-doa didaras, ampunan dipanjatkan, ia bergembira sekaligus meneteskan air mata mengingat kekuasaan dan keserakahan di masa lalu. Dalam hening yang sunya itu, sang penguasa moksa dalam ritus kearifan-kedewasaan diri, ia menang, dan bersiap kembali pada Tuhannya dengan senyum yang menggembang.

Penyunting: Nadya Gadzali