Malam Kamis Legi (7/10), terlihat di sebuah Desa di Kabupaten Lamongan sedang ramai. Orang berbondong-bondong datang ke desa tersebut. Malam itu sedang ada pengajian, namun yang lebih ditunggu tentu keesokan harinya yakni perhelatan sedekah bumi.

Desa Lukrejo yang terletak di Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Lamongan itu tengah mengadakan prosesi sedekah bumi. Desa ini memang terkenal sebagai desa yang menyelenggarakan tradisi sedekah bumi dengan meriah.

Pada malam harinya, di desa tersebut diadakan pengajian, dilanjutkan dengan kesenian reyog pada siang harinya. Banyak masyarakat dari desa lain bahkan dari kota seberang yang datang ke desa ini untuk ngalap berkah.

Tapi yang terkenal dari sedekah bumi di desa tersebut adalah banyaknya kambing yang disembelih. Setiap tahunnya, pada sedekah bumi ini, ratusan kambing disembelih. Kambing yang merupakan sumbangan dari masyarakat ini dikumpulkan di lapangan desa untuk disembelih hingga dimasak bersama. Setelah semua dimasak, sajian kambing dibagikan kembali kepada masyarakat.

Kambing yang diperoleh secara kolektif dan dimasak untuk seluruh warga/Ismail Surendra

Kambing-kambing ini merupakan ungkapan rasa syukur dari masyarakat setempat atas limpahan rezeki yang mereka peroleh setiap tahunnya. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa dengan menyumbangkan kambing, mereka akan mendapatkan rejeki yang lebih baik dan terhindar dari malapetaka.

Tradisi sedekah bumi di Desa Lukrejo dilaksanakan setiap tahun, antara hari Kamis Kliwon atau Kamis Legi setelah pelaksanaan panen raya. Sedekah bumi ini biasa dilaksanakan antara bulan September atau Oktober. Pemilihan hari baik tersebut sudah dipercaya turun menurun dan ditentukan oleh musyawarah desa.

Seperti kultur di desa-desa agraris pada umumnya, sedekah bumi menjadi ungkapan rasa syukur masyarakat akan hasi panen yang berlimpah dan tahun yang baik. Prosesi ini selalu diselenggarakan karena masyarakat masih takut akan pagebluk yang biasanya muncul dalam wujud hama pada pertanian, sakitnya hewan ternak, hingga banyaknya keluarga yang mendadak sakit-sakitan. Melaksanakan sedekah bumi ini tentu dalam rangka menghindari hal-hal yang ditakutkan.

Antusiasme warga Desa Lukrejo dan pengunjung dalam tradisi sedekah bumi/Ismail Surendra

Untuk membiayai acara ini, masyarakat desa tidak pernah dimintai iuran, namun selalu ada saja warga yang menyumbang. Kas desa pun tidak pernah digunakan untuk kegiatan ini. Panitia hanya menyediakan tempat, perizinan, dan keamanan. Sedangkan semua kegiatan dibiayai oleh warga. Sumbangan dari warga Desa Lukrejo ini meliputi kesenian reyog, menyewa sound system serta terop.

Meriahnya hari-hari menjelang sedekah bumi mampu mengalahkan Hari Raya Lebaran. Bahkan saat lebaran, tidak seramai saat pelaksanaan sedekah bumi. Banyak warga perantau yang ketika Hari Raya Idul Fitri tidak pulang kampung, tapi saat sedekah bumi mereka begitu antusias melaksanakan tradisi pulang kampung.

Tujuan utamanya tentu adalah berziarah ke makam Mbah Lukman Hakim yang ada di tengah lapangan desa itu. Sedari pagi hingga bertemu pagi lagi, makam Mbah Lukman Hakim yang dipercaya sebagai sesepuh desa tidak pernah sepi pengunjung. Dari warga desa hingga luar kota, bergantian berziarah ke makam tersebut. Dalam pesarean tersebut terdapat 2 makam yang dipercaya merupakan makam Mbah Lukman Hakim dan juga pusakanya.

Pesarean yang diyakini sebagai makam Mbah Lukman Hakim dan pusakanya/Ismail Surendra

Silsilah Mbah Lukman Hakim masih terus digali asal usulnya. “Mengungkap sejarah desa Lukrejo sendiri memang sulit. Pernah memanggil tim sejarah tapi selalu tidak bisa. Makam tersebut pernah dibongkar lalu kemudian digali, namun tidak ketemu cerita detilnya. Kami pernah mengundang tim sejarah dari Jakarta namun tetap saja gagal.

Ada pula yang meyakini bahwa Mbah Lukman Hakim dulunya merupakan senopati Majapahit dan memiliki hubungan dengan Gajah Mada. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa sang sesepuh adalah murid dari Sunan Gunung Jati. Sumber yang beragam itu dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai Mbah Luk, sosok yang melakukan babad alas desa serta mengislamkan masyarakat sekitar.”, ungkap Sarnawi, Kepala Desa Lukrejo.

Meski dipertanyakan asal usulnya, namun makam Mbah Lukman Hakim semakin ramai setiap tahunnya. Berziarah ke makam Mbah Luk diyakini dapat mendatangkan berkah. Tak sedikit yang percaya bahwa ketika berziarah ke sana mampu menyembuhkan penyakit. Beberapa orangtua yang saya temui di sana membenarkan mitos tersebut. Ada yang sakit tidak bisa sembuh kemudian diobati oleh banyak dokter namun bisa sembuh setelah berziarah ke Mbah Luk.

Hadirnya reyog di acara sedekah bumi juga merupakan nazar dari warga Lukrejo. Warga Desa Lukrejo percaya bahwa seseorang yang menderita suatu penyakit akan sembuh dengan bernazar menanggap reyog. Menanggap reyog yang juga merupakan penghibur masyarakat merupakan bagian dari sedekah masyarakat atas rejeki yang berlebih. Pada sedekah bumi juga dikenal tradisi udik-udikan (berbagi uang receh) dari masing-masing masyarakat Desa Lukrejo.

Masyarakat Desa Lukrejo meyakini bahwa menanggap kesenian reyog dapat menyembuhkan penyakit/Ismail Surendra

Pada pelaksanaan sedekah bumi, Desa Lukrejo menjadi sangat meriah. Banyak pasar malam yang tiba-tiba muncul di sekitar desa. Mobil-mobil dari para perantau banyak terparkir di jalanan desa. Pintu-pintu warga pun pada hari itu terbuka dan mempersilakan tamu yang datang berkunjung.

Masyarakat desa pun bergotong royong memeriahkan geliat acara ini. Diantaranya adalah dengan memasak bersama gulai kambing. Orang yang mengatur jalannya acara adalah laki-laki. Mulai dari menyembelih, memotong, mencuci daging, memarut kelapa, mengolah bumbu, hingga memasaknya sampai matang.

Gule kambing itu dimasak dengan resep turun temurun, yaitu bumbu jangkep (bumbu utuh). Bumbu itu berisi beragam jenis rempah, bawang, cabai, santan, hingga penyedap makanan. Semua bagian tubuh kambing dimasak menjadi satu. Mulai dari jeroan, usus, iga, hingga kepala. Semua dimasak di dalam tungku. Memasaknya pun masih menggunakan kayu bakar. Ratusan kambing muda itu dimasak di dapur desa yang memiliki 8 buah tungku.

Setelah semuanya matang, gulai kambing itu dibagikan kembali kepada masyarakat yang hadir dalam sedekah bumi. Pada tahun 2019, mencapai 184 ekor kambing, dan pada 2020 mencapai 194 ekor. Karena pandemi, padatahun 2021, kambing pada sedekah bumi mengalami penurunan dengan hanya 90an ekor. Memasaknya harus ditempat, tidak boleh dibawa pulang dalam keadaan mentah dan tidak boleh dijadikan sate. Semua dilakukan untuk menghargai panitia yang telah memasak ratusan kambing seharian.

Mengamati geliat Desa Lukrejo ini memang sangat menarik. Banyak warga pulang kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangganya yang selama setahun tidak berjumpa Mereka berinteraksi dengan guyub, rukun sembari menziarahi sesepuh desa agar tidak lupa dari mana mereka berasal.

Penyunting: Nadya Gadzali