Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, kepercayaan terhadap adat-istiadat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memiliki peran penting bagi keberlanjutan warisan budaya yang mereka miliki. Namun, tak dapat dipungkiri era modern yang penuh dengan berbagai pilihan gaya hidup baru menjadi masalah bagi keberlanjutan warisan budaya, terutama bagi generasi muda.

Kemajuan zaman banyak sekali menghadirkan pilihan platfrom digital dan aplikasi games yang berdampak pada minat anak-anak muda terhadap warisan budaya mereka sendiri. Salah satu fenomena yang teramati ialah ketika anak-anak muda mulai meninggalkan permainan tradisional “joting”.

Joting adalah warisan budaya yang sudah mulai ditinggalkan, kendati pada zaman dahulu, permainan tradisioal ini begitu diminati di kalangan masyarakat Batak Toba, khususnya oleh anak-anak dan para muda-mudi. Permainan ini biasanya dimainkan setelah panen atau pada malam bulan purnama dengan melibatkan dua kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Dua kelompok ini berlomba menyanyikan puisi, pujian, ejekan, dan sindiran dengan tujuan memenangkan atau dalam bahasa Batak sering disebut “maralo-alo”. Meskipun terkesan seperti saling ejek, namun joting bertujuan untuk menjalin keakraban dan silaturahmi.

Dari sekian banyak ragam kesenian yang dimiliki masyarakat Batak Toba, joting mengakomodir seni vokal dan permainan tradisonal ke dalam sebuah seni pertunjukan. Namun, tidak hanya sekedar mempertunjukan seni vokal dan permainan tradisional, joting juga menjadi sarana yang tepat untuk mendidik generasi muda tentang nilai-nilai budaya dan moral dalam masyarakat Batak Toba.

Jika dicermati dari penggunaan liriknya, joting berisikan pesan-pesan tentang cinta, persahabatan, serta pentingnya menjaga keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat. Hal inilah yang membuat joting berperan sebagai sarana untuk mendidik generasi muda tentang etika dan nilai-nilai yang dihormati dalam budaya masyarakat Batak Toba.

Sebagai pertunjukan yang memperdengarkan vokal yang kuat dan berirama, dalam kesenian joting diajarkan melafalkan kata dan ungkapan bahasa Batak Toba dengan nada tegas serta ritme yang khas. Biasanya, joting menggunakan teknik vokal yang beragam, seperti melodi yang melambung tinggi dan akrobatik vokal yang memukau. Selain itu, gerakan tubuh yang selaras dengan nyanyian juga menjadi bagian menarik dari penampilan joting.

Sebenarnya joting merupakan kesenian yang sifatnya menghibur, tidak terlalu serius seperti ritual yang lazim dijumpai di perhelatan adat-istiadat masyarakat Batak. Dengan lirik yang sarat akan makna, joting kerap dimainkan dengan penuh improvisasi. Hal ini bertujuan agar pemain joting dan penonton dapat bersuka cita.

Pengajaran joting umumnya dilakukan oleh orang yang lebih tua dengan mencontohkan sepenggal lagu, generasi muda mempelajari cara mengamati, menghafal, dan mencoba memainkannya. Para pemain membentuk barisan dan saling bergandengan tangan melakukan gerakan seirama maju dan mundur sambil berbalas ungkapan dengan kelompok lawan, menciptakan suasana yang begitu cair.

Satu kelompok dalam permainan joting biasanya terdiri dari lima orang atau lebih. Aksi para pemain dalam pertunjukan joting disebut marjoting. Dalam marjoting, setiap kata yang dinyanyikan biasanya merupakan ungkapan perasaan orang yang mengikuti permainan tersebut.

Setiap orang bergiliran mengungkapkan perasaannya dan kelompok lainnya berperan sebagai penerjemah. Pengungkapan perasaan dalam marjoting bisa dalam bentuk tangiang (doa), umpasa (pantun), ataupun dalam bentuk lainnya.

Ilustrasi joting/Khairil Amri Harahap

Warisan Budaya yang Terlupakan

Beragamnya kesenian Suku Batak sebagai warisan budaya yang memiliki nilai dan makna menjadi identitas penting yang harus tetap dijaga. Warisan memang menjadi investasi bagi anak cucu tetapi banyak juga masyarakat yang belum sadar akan pentingnya warisan budaya etnis mereka sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kesenian yang dahulu eksis di masyarakat, namun sekarang ini tidak pernah ditampilkan lagi.

Joting misalnya, kesenian yang sudah terlupakan. Meskipun joting telah bertahan cukup lama, namun kesenian ini mengalami penurunan di tengah gempuran arus modernisasi dan perubahan budaya. Saat ini, kesenian joting sudah sangat sulit kita jumpai. Tentu akibat perkembangan teknologi yang banyak sekali menghasilkan aplikasi permainan yang menggeser minat generasi muda.

Terlebih lagi pengaruh media sosial dan platform digital lainnya yang mengubah pola hidup anak muda menjadi jarang bermain di halaman rumah ataupun lapangan terbuka. Joting merupakan pertunjukan yang dimainkan secara komunal sehingga lapangan terbuka merupakan tempat yang cocok untuk memainkannya.

Ada pun usaha-usaha yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat Batak, seperti naposo bulung (anak-anak muda) komunitas parmalim untuk melestarikan joting sebagai kesenian yang harus tetap eksis juga tak luput dari kendala.

Kendala yang dihadapi pun beragam, mulai dari gaya hidup anak muda yang sudah terbiasa dengan gadget, hingga faktor sosial kemasyaratakan Suku Batak yang sudah mulai bergeser. Dalam beberapa kesempatan, joting juga diperkenalkan sebagai sebuah pertunjukan yang mampu menarik minat wisatawan.

Usaha ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Apakah karena panggung pertunjukan untuk joting belum begitu banyak atau kemasannya yang harus dibenahi kembali? Tentu untuk mencari jawabannya dibutuhkan penelitian lebih jauh.

Penelitian serius tentang joting telah dilakukan oleh Sastra Gunawan Pane, seorang sarjana Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara enam tahun silam (2017). Dalam penelitiannya dijelaskan tentang fungsi joting maupun analisa tekstual dan musikal yang terkandung dalam kesenian joting. Di tahun yang sama, Sastra mengungkap bahwa keberadaan joting memang sudah sangat jarang ditemui, apalagi di era sekarang ini. Di mana dapat kita jumpai pertunjukan joting? Atas dasar itulah simpulan pada tulisan ini mengerucut bahwasanya joting merupakan warisan budaya atau kesenian tradisional yang terlupakan.

Joting merupakan peninggalan berharga dalam budaya Batak Toba. Kesenian joting memang bukan bagian penting dalam suatu upacara atau perayaan adat, tetapi joting sangat bermanfaat sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda tentang nilai, budaya, dan etika, untuk membangun kebersamaan, serta menjadi media untuk bersenang-senang.

Bahkan, joting bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat, yaitu menghapus kesenjangan sosial. Pada prinsipnya, kesenian ini dapat dimainkan oleh siapa saja dan menjadi hiburan rakyat tanpa memandang strata sosial yang sudah mulai terkotak-kotakkan akibat globalisasi.

Harapan untuk melestarikan joting kedepannya adalah dengan melibatkan generasi muda agar lebih giat dalam mempelajari dan meneruskan tradisi ini. Pembelajaran formal dan dukungan dari masyarakat lokal serta pemerintah juga memainkan peranan penting dalam konservasi joting.

Pertunjukan wisata dengan menampilkan joting setidaknya memberikan kesempatan bagi kesenian daerah untuk kembali eksis. Semoga, upaya pelestarian joting semakin masif agar warisan budaya yang satu ini dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang dan serta menampilkan keragaman budaya Batak.

* Ilustrasi Suku Batak Toba: "A group of Toba-Batak people, Sumatra." Foto/dok Wikimedia Commons, Koleksi Tropenmuseum, circa 1914-1919.

Penyunting: Nadya Gadzali