Beberapa waktu lalu, parade sound system menjadi perbincangan di media sosial. Jamak yang mengeluhkan keberadaan parade ini. Bising, kaca pecah, genteng jatuh, rumah retak, bahkan korban jiwa.

Parade sound yang mulanya dekat dengan perayaan, suka ria, maupun ingar bingar, akhirnya memanifestasikan sisi lainnya. Ia juga menyimpan kisah duka yang begitu muram.

Dalam jejak yang ada, parade sound sebenarnya baru muncul akhir-akhir ini. Kendati baru, saya rasa parade ini telah mampu mewarnai landskap bebunyian nusantara. Warna ini dapat dibaca melalui ketertautan antara bunyi dan kultur yang termuat di dalamnya.

Bunyi

Secara implisit, sound adalah sebuah kompetisi. Para pelaku berlomba-lomba memamerkan perangkat terbaiknya. Tak jarang banyak yang membeli perangkat sound termutakhir untuk mengikuti parade ini.

Selain itu, mereka juga mempertontonkan skill dan kepiawaiannya dalam mengatur bunyi. Skill dan kepiawaian itu lantas disenyawakan dengan perangkat yang mumpuni untuk menghasilkan bunyi yang presisi dan ciamik.

Semakin bagus keseimbangan bunyinya, semakin keras bunyi yang dikumandangkan, dan semakin lama perangkat dibunyikan, maka ia akan dianggap sebagai pemenang.

Dalam hal ini, bunyi menjadi tampuk atas kompetisi yang dilakukan. Saya rasa, parade sound ibarat sebuah pagelaran bebunyian.

Tersaji puspawarna bunyi dari masing-masing perangkat sound. Alih-alih bergiliran, mereka justru membunyikannya secara berbarengan. Menggelegar, riuh, dan bunyi yang tumpang-tindih menjadi potret yang tak terhindarkan. Bebunyian yang tumpang-tindih itu seringkali dianggap sebagai kebisingan yang mengganggu oleh sebagian orang.

Kebisingan ialah sebuah polusi berupa bunyi. Pada ambang batas tertentu, suatu kebisingan dapat merusak telinga. Sayangnya, hal itu tidak meruntuhkan pemikiran pelaku maupun pecinta sound.

Alih-alih memikirkannya, mereka justru menafikannya. Selain karena suka, agaknya tindakan itu dipengaruhi karena kebisingan mampu memberikan kenikmatan tersendiri.

Kebisingan bukan saja tentang bunyi yang berisik dan berantakan. Sebenarnya, kita telah menikmati bunyi bising setiap hari. Bunyi itu berasal dari suara motor yang ramai, kereta api, ataupun bunyi-bunyi lainnya. Hanya saja, lanskap itu tidak secara sadar dinikmati. Ia dianggap sebagai sebuah hal yang normal dan biasa saja.

Dalam hal ini, parade sound sebenarnya menjadi sebuah perayaan tentang kebisingan. Ia bahkan menjelma menjadi laku estetik. Laku itu ditandai dengan adanya estetika yang ditemukan dalam kebisingan.

Suara bas yang jedak-jeduk, keriuhan yang sengaja dikumandangkan, hingga pada goyangan yang digelorakan mengikuti gema yang ada. Hal itu ialah sebuah keindahan dari bunyi yang bising. Mereka menikmati dan mengkhidmatinya dengan khusyuk.

Spektakuler

Dalam membaca parade sound, akan lebih rinci apabila dibaca dari kultur yang ada. Secara kultural, sebenarnya masyarakat telah akrab dengan pengeras suara, yakni berupa toa.

Toa biasanya digunakan untuk memberikan pertanda atas suatu hal. Melaluinya, pengumuman akan menggema hingga sudut-sudut desa.

Pengeras suara juga karib ditemui di pasar malam. Di pasar malam, pengeras suara digunakan oleh pedagang untuk menawarkan dagangan maupun jasanya.

Pengeras suara itu diatur sekeras mungkin. Mereka tidak peduli jika bunyi yang berkumandang cempreng, pekak di telinga, ataupun perangkat pengeras suaranya keder. Terpenting, bunyi itu mampu menarik perhatian pembeli.

Selanjutnya, pengeras suara juga lazim digunakan dalam hajat-hajat masyarakat, seperti slametan, pernikahan, bersih desa, dan lain sebagainya. Dalam hajat-hajat yang ada, pengeras suara seringkali diperhitungkan keberadaannya.

Bahkan, saya mendapati di beberapa tempat bahwa pengeras suara dijadikan parameter tentang keberhasilan suatu hajat. Artinya, adanya pengeras suara dianggap sebagai salah satu faktor suksesnya suatu hajat. Tanpanya, hajat akan dianggap sepi dan gagal.

Ketiga peristiwa itu menjelaskan bahwa pengeras suara telah terlibat secara serius dalam kehidupan masyarakat. Mereka telah terbiasa, familiar, bahkan menganggap pengeras suara sebagai entitas yang penting.

Saya teringat pernyataan Sumarsam ketika berdialog dalam acara International Gamelan Festival di Solo. Ia menyinggung ihwal kultur masyarakat Jawa yang berada dalam fase serba spektakuler.

Bahwasanya, kebanyakan masyarakat Jawa menggandrungi hal-hal yang tampak gemerlap, meriah, dan ramai. Segala hajat akan dikemas sebombastis mungkin agar tampak spektakuler. Dalam hal bebunyian, toa, pasar malam, dan pengeras suara dalam hajat masyarakat ialah ikhtibar bernas yang memanifestasikan peristiwa spektakuler itu.

Di sisi lain, keakraban masyarakat dengan pengeras suara yang telah terajut sebelumnya, akhirnya berkecamuk. Untuk meluapkannya, lantas disalurkanlah ke parade sound.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa parade sound menjadi sesuatu yang lumrah. Sama halnya dengan festival tari, wayang, dolanan, payung, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan untuk meluapkan sekaligus merayakan hubungan kultural yang telah ada sebelumnya.

Parade sound adalah warna baru dalam lanskap bebunyian. Permasalahannya, kumandang bunyinya terlalu menggelegar. Ia mempunyai dampak yang tidak sepele. Hal ini tentu saja tidak bisa diabaikan. Harus diregulasi untuk mengatur peristiwa musikal itu.

Selain itu, kesadaran dari para pelaku dan pecinta sound agaknya harus ditajamkan. Menjauhkan area pemukiman untuk meminimalisir dampak seperti tembok retak, kaca pecah, ataupun genting jatuh. Hal itu ditujukan untuk menjaga keharmonisan antar sesama.

Hening

Parade sound menjadi manifestasi atas fenomena serba bombastis yang tengah menjangkiti masyarakat. Hal ini mengartikan bahwa sebelum mencapai fase spektakuler, ada suatu fase yang telah dilalui sebelumnya. Saya rasa, fase itu ialah keheningan.

Hening bukan berarti sebuah kenihilan bunyi. Bunyi itu ada, namun jernih, bening, dan sunyi. Secara kultural, keheningan itu dapat dibaca melalui lelaku Brawijaya, Gajah Mada, serta sosok lainnya yang menyepi ke hutan, goa, ataupun gunung.

Mereka menjauhi kegaduhan dan keramaian untuk mendekati keheningan. Keheningan itu berisikan kicauan burung, desir angin, ataupun gesekan batang pohon. Ada bunyi yang terdengar, namun tidak pekak. Bunyi yang demikianlah yang menemani "tapa" ataupun "brata" untuk mencapai gerbang ilahiah.

Keheningan juga dapat dibaca dari gending-gending gamelan yang halus, lembut, dan sayu. Ada bunyi yang berkumandang, namun tidak mengganggu.

Kumandang gending itu justru menyelinap hingga ke jiwa dan menuntun pada ketenangan, kerimbunan, dan kedamaian. Bahkan, ada anekdot bahwa gending gamelan digunakan sebagai alat untuk ngrabuk nyawa ataupun ngudo roso. Artinya, alunan bunyi gamelan dijadikan sebagai wahana untuk memupuk jiwa ataupun merenggangkan rasa.

Melalui dua kisah kultural tersebut, dapat dikatakan bahwa hening bukan berarti nihil bunyi. Bunyi itu menggema, namun tidak pekak dan mengganggu. Selain itu, hening juga begitu identik dengan kisah-kisah spiritual, kontemplatif, dan keilahian. Hal itu tentu saja bertentangan dengan kultur spektakuler yang kiwari semakin populer.

Sebenarnya, keironian itu adalah hal yang lumrah. Sebab, kultur hening dan spektakuler mempunyai pertautan yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat sebuah tangga, untuk mencapai puncak memerlukan upaya setapak demi setapak.

Demikian juga dengan fase kultural. Untuk mencapai kemapanan, diperlukan langkah pertama dari bawah—satu per satu. Hal terpenting untuk mencapai kemampanan itu ialah dengan merawat fase-fase sebelumnya. Tujuannya, kemapanan itu tidak dimaknai secara terpisah dan tercerai-berai.

Sejauh ini, fase hening seolah-olah dilupakan. Ia tergusur oleh gegap gempitanya fase spektakuler. Dalam hal ini, parade sound menjadi tampuk dari kultur spektakuler. Parade sound ialah sebuah sebuah alarm yang mengingatkan tentang keheningan.

Bukan saja secara musikal maupun kultural, namun juga secara esensial. Keheningan mengajarkan tentang laku-laku spiritual, kontemplatif, maupun ilahiah. Melalui laku-laku itu, seseorang akan tertuntun pada kenihilan.

Sebelum kultur hening kalah, rasanya kita perlu berziarah. Tujuannya untuk membaca ulang esensi tentang keheningan tersebut. Sebab, kultur hening mempunyai pengaruh terhadap kebiasaan, pola pikir, maupun tingkah laku.

Demikian pula dengan kultur spektakuler. Dengan mengingat esensi itu, secara otomatis kultur spektakuler akan dimaknai dengan berbeda. Setidaknya, kultur spektakuler berubah menjadi lebih ramah. Sehingga, tidak ada lagi peristiwa genting pecah, tembok retak, atau bahkan kematian. Semoga!

Penyunting: Nadya Gadzali

‌‌