Banyuwangi adalah kabupaten yang kaya akan seni tradisi. Dari sekian banyak seni itu, ada sejumlah kesenian yang sangat diminati oleh masyarakat Banyuwangi, tidak hanya dalam rentang waktu satu-dua tahun, melainkan sejak puluhan tahun silam.

Janger

Sutarto dan Sudikan menyebut Janger Banyuwangi sebagai kesenian hasil kebudayaan masyarakat Osing yang tinggal di wilayah Kabupaten Banyuwangi (dalam Sugiyanto dkk., 2016: 69). Janger atau biasa disebut sebagai Damarwulan ataupun Jinggoan, adalah kesenian yang unik. Disebut demikian, karena pertama, menggunakan bahasa kromo sebagai media komunikasi lakon. Kita mesti tahu, Janger adalah produk kebudayaan masyarakat Using yang memiliki bahasa ibu sendiri, yaitu bahasa Osing. Namun mengapa Janger justru berbahasa Jawa?

Kedua, penggunaan musik dan tari Bali yang menyatu dengan unsur lokal Banyuwangi mampu menghasilkan sajian yang menarik. Tidak jarang tembang-tembang Jawa semacam macapat juga turut disuarakan di setiap pagelarannya.

Puspito menyebutkan, keunikan lain dapat ditelaah dari sumber inspirasi lakon yang hampir sama dengan Ketoprak, yaitu sama-sama diinspirasi lakon berlatar kerajaan. Perbedaannya, Ketoprak melakonkan cerita babad atau cerita berlatar kerajaan yang pernah ada di Jawa secara luas. Sementara, Janger Banyuwangi terinspirasi lakon dari berbagai kerajaan yang pernah hidup dan berkembang di wilayah timur Jawa, misalnya Kahuripan dan Kedawung (dalam Sugiyanto dkk., 2016: 69).

Rasanya, kepopuleran Janger di kalangan masyarakat Banyuwangi tidak pernah memudar. Tampak jelas misalnya, ketika ada pagelaran Janger, penonton yang hadir masih penuh, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Itu mungkin karena grup-grup Janger mampu membaca kehendak pasar dan bersedia menyesuaikan. Alhasil, menjadikan Janger sebagai salah satu seni tradisi populer di Banyuwangi.

Gandrung

Gandrung adalah kesenian tradisional Banyuwangi yang kini berkembang subur di dalam dan luar Banyuwangi. Kata ‘Gandrung’ berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti kedananatau tergila-gila.

Dengan arti lain, banyak lelaki yang memuja dan mendambakan Gandrung, baik di atas maupun luar pentas. Terlebih jika sang gandrung mampu menyuguhkan penampilan yang memukau, para lelaki tersebut akan bersedia menyawer.

Pada mulanya, Gandrung diperankan oleh pria. Dan seiring perkembangan situasi dan kondisi saat itu, tepatnya pada tahun 1826-an, perannya tergantikan oleh gadis atau remaja berumur 14 sampai 16 tahun.

Gadis pertama yang berperan sebagai penari Gandrung sekaligus perintis perkembangan Gandrung Banyuwangi bernama Semi. Pada 1969, Gandrung perempuan berada di masa kejayaannya. Berlanjut di tahun 1992, yakni 23 tahun berlangsungnya era kejayaan Gandrung perempuan, Amerika Serikat mencatat penjualan lagu dan tarian Gandrung mencapai 284.999 keping kaset dalam 24 jam (Mursidi, 2018: 13-14).

Sesuai dengan fungsinya sebagai kesenian komersial dan hiburan, Kesenian Gandrung kini sering dipentaskan pada pesta perkawinan, khitanan, peringatan hari-hari besar, upacara adat, dan kegiatan pariwisata. Gandrung kini bukan lagi tentang bentuk pertunjukan semalam suntuk (disebut Gandrung Terob), melainkan terdapat versi ringkas, yang dikenal sebagai ‘Tari Kreasi Gandrung’ dengan macam kreasi yang dibuat.

Seniman Banyuwangi dengan kreativitasnya mampu mentransformasikan fungsi Gandrung, yang mulanya sebagai media ritual-perjuangan menjadi kesenian bernilai jual yang mengidupi dan menghibur.

Kesenian Gandrung merupakan perpaduan antara musik dan tarian yang digarap menjadi satu sajian pertunjukan. Perangkat gamelan Gandrung pada dasarnya terdiri atas: kendang lanang, kendang wadon, ketuk, gong dan kempul, 2 buah piul atau bahola (biola), dan kluncing.

Mursidi menyebut repertoar yang disajikan pada pementasan Gandrung bisa bermacam-macam, terbagi ke dalam beberapa sesi pertunjukan. Sesi Jejer, lagu wajibnya adalah Padha Nonton dan Pudhak Sempal. Sementara pada sesi Seblang Subuh, lagu wajibnya yaitu Bang-Bang Wetan. Selain itu, terdapat sesi Repenan sebagai bagian pertunjukan yang menyajikan lagu-lagu Banyuwangi klasik maupun baru menyesuaikan permintaan penonton.

Sekarang, Gandrung semakin populer di kalangan anak muda, baik di dalam maupun luar Banyuwangi. Dengan terobosan kreatif para seniman, lewat karya-karya tari lepas bertema Gandrung, termasuk atas penyelenggaraan kegiatan Gandrung Sewu sebagai agenda rutinan di Kabupaten Banyuwangi yang melibatkan para generasi muda, Gandrung mengudara ke berbagai penjuru daerah.

Angklung Banyuwangi

Angklung Banyuwangi merupakan istilah yang merujuk pada jenis kesenian di Banyuwangi. Terminologi angklung oleh masyarakat Banyuwangi memiliki dua pemahaman, yaitu: 1) angklung sebagai instrumen, dan 2) angklung sebagai jenis kesenian.

Angklung sebagai instrumen, artinya, angklung dimaknai sebagai sebuah instrumen berbahan dasar bambu, memiliki buluh atau tabung bambu yang tertata sedemikian rupa di atas rancak kayu, dari nada rendah hingga tinggi.

Sedangkan angklung, sebagai jenis kesenian, dipahami oleh masyarakat Banyuwangi dipahami sebagai serancak gamelan yang terdiri atas selentem, saron, peking, kendang, gong, ketuk, dan instrumen angklung itu sendiri. Bahkan yang terbaru, mencakup pula instrumen kluncing, calung, dan piul atau bahola.

Elvin Hendrata mengklasifikasikan angklung menurut fungsi dan bentuknya menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: Angklung Paglak, Angklung Bali-Balian, Angklung Caruk, Angklung Dwi Laras, Angklung Daerah, dan Angklung Pengiring Tari Kreasi. Keenam jenis Angklung tersebut, sejatinya, memiliki bentuk yang sama. Perbedaannya terletak pada penggunaan alat musik dan fungsi pertunjukannya.

Misalnya, dengan menambahkan alat musik berbahan besi, per bekas, dan kulit ke dalam Angklung Paglak, menciptakan Angklung Bali-Balian. Kemudian, kesengajaan masyarakat menampilkan dua kelompok Angklung Bali-Balian dalam satu panggung pertunjukan, menciptakan kesenian Angklung Caruk. Sedangkan, Angklung Dwi Laras adalah hasil inovasi seniman dengan menggabungkan laras slendro dan pelog ke dalam satu alat musik angklung (baca: Angklung – Tabung Musik Blambangan).

Selain keenam ragam angklung tersebut, ada patrol yang juga termasuk ke dalam kategori angklung. Patrol adalah sejenis musik yang difungsikan untuk membangunkan orang sahur. Musik ini ada hampir di seluruh penjuru Indonesia.

Di Banyuwangi, patrol tercatat sudah ada sejak 1940-an, yakni pada masa pendudukan Jepang (Hendratha, 2021: 62). Patrol oleh masyarakat Banyuwangi dipahami sebagai jenis musik (musik Patrol) dan juga alat musik (alat musik patrol). Musik patrol adalah pengembangan dari angklung atau kentongan yang awalnya diletakkan di pos penjagaan kampung-kampung.

Pada dasarnya, angklung atau kentongan itu memiliki ukuran yang besar dan berat. Maka untuk memudahkan dibawa berkeliling kampung, diubahnya kentongan tersebut menjadi alat musik patrol yang berukuran lebih kecil dan ringan.

Alat musik patrol juga dikenal dengan nama berbeda di setiap desa. Trothok, untuk beberapa kelurahan di pusat kota Banyuwangi. Di Kecamatan Glagah disebut klunthang. Trethek di Kampung Melayu. Dundung di Temenggungan. Derodhok dan truthuk di Mangir, serta katir di Lateng.

Anggota patrol mulanya terdiri dari 2 sampai 3 orang yang bertugas jaga malam (ronda). Kegiatan ronda atau jaga malam ini dilakukan dengan berkeliling kampung. Masing-masing anggota membawa 3 sampai 4 peranti bambu seperti angklung, suling, dan gong bambu. Jika alat musik angklung dibunyikan dengan cara di-tabuh, khusus gong bambu, cara memainkannya dengan memukulkan pangkal bambu ke tanah atau aspal jalan.

Konsep inilah yang kemudian diterapkan pada kesenian Patrol Banyuwangi hingga sekarang. Setiap bulan suci Ramadan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyelenggarakan Festival Patrol Ramadan. Peminatnya banyak, dari seluruh kecamatan di Banyuwangi. Antusiasme masyarakat dalam menonton festival khas Ramadan di Banyuwangi sangat luar biasa.

Penyunting: Nadya Gadzali