Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.

Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Apa yang terjadi di utara? Mengapa ia dalam kutipan puisi “Asmaradana” mengucapkan perpisahan? Bahkan, tokoh dalam karya Goenawan Mohamad tersebut harus melihat peta usai mengatakannya. Sang ia tahu tentang perpisahannya dengan kekasih. Bersama tapak yang menjauh ke utara, ia akan pergi selama-lamanya. Ia tahu dirinya akan menyongsong maut.

Kematian adalah tidur abadi. Seseorang pernah berkata kepada saya bahwa tidur merupakan latihan mati. Saya tidak suka itu. Tak ada yang mau repot-repot mengerjakan simulasi konyol itu. Namun, manusia tetap butuh tidur. Apa jadinya jika seseorang terjaga sepanjang waktu?

Bagi saya, tidur sesederhana merebahkan diri dan memejamkan mata—saya masih tak mengerti mengapa ada orang sulit tidur. Tetapi, tidak pernah terlintas dalam benak saya bahwa tidur juga punya tata tertib. Boleh jadi, insomnia mengusik malam lelap kita akibat adab yang dilanggar.

Di suatu sore yang sibuk, saya bersama empat orang mengangkat dipan kayu besar sekali di sebuah kamar sempit. Tangan saya menahan kaki dipan agar tak memijak lantai. Benda ini berat amat! Kami mesti memutar ranjang keparat itu karena posisinya dianggap salah.

“Apa ini? Kenapa posisi kepalanya di utara?” gertak paman.

“Memangnya kenapa?” jawab saya ogah-ogahan.

“Itu arah kematian! Putar arah!”

“Enggak usah. Cuma bikin repot.”

“Kamu ini, dengerin kalau orang tua ngomong!” Paman membentak. Saya bungkam.

Pekerjaan itu makin ruwet karena dipan itu seperti enggan diputar begitu saja karena harus dimiringkan terlebih dahulu. Hendak dibongkar pun sudah terlambat. Benda itu telah terpasang sempurna. Saya menahan beban di lengan sambil menggerutu. Siapa sangka orang Madura memusingkan urusan kasur? Lalu gimana kami harus tidur?

Alhasil, ranjang itu diputar 180 derajat. Kini, posisi kepala si pengantin baru—ranjang itu untuk sepupu saya yang baru menikah—bakal bersandar di selatan. Tata letak itu tampak timpang dengan desain ruang yang sepertinya tak ditakdirkan untuk dirancang demikian. Dinding kamar pun lecet-lecet akibat tergores kaki dipan. Lucu sekali. Meskipun terdengar konyol, bagi saya persoalan ini menarik.

Setelah kejadian itu berlalu, saya menemui paman—usai memastikan ia tak kesal karena saya telah membantah—untuk bertanya perihal kepercayaan itu. Saya menemuinya saat ia sedang bersantai di beranda. Kami bercakap-cakap.

“Orang dulu menyebutnya olo daja (hulu utara). Itu simbol petaka. Memang tak ada kitabnya, tapi katanya sih begitu,” jelas paman. Ia menambahkan bahwa arah selatanlah yang baik. “Lihat saja mayat kalau dikubur. Kepalanya di utara.”

Baginya, tidur dengan posisi kepala di mana pun tak masalah asal bukan di utara. Saya kian tertarik mengulik bagaimana kira-kira kepercayaan itu bermula. Ternyata, tidur dengan letak kepala di utara juga dianggap tabu di beberapa kebudayaan lain.

Vastu sastra, sebuah sistem arsitektur dan tata ruang tradisional Hindu sepakat soal ini. Ajaran kuno itu melarang seseorang tidur dengan posisi demikian karena diyakini akan berdampak buruk bagi kesehatan. Tidurlah seperti itu jika ingin berurusan dengan masalah tekanan darah dan insomnia. Dalam kepercayaan Hindu, tubuh manusia memiliki dua kutub magnetik—utara dan selatan—sebagaimana bumi. Kepala merupakan kutub utara, sedangkan kaki adalah kutub selatan.

Jadi, kepala harus mengarah ke selatan supaya bertemu dengan daya geomagnetik yang berlawanan. Lagipula, dalam tradisi Hindu, mendiang disemayamkan dengan posisi kepala di utara hingga dikremasi. Konon, ke utaralah jiwa akan meninggalkan raga dan memulai perjalanan ke alam baka. Maka, jangan coba-coba berbaring seperti mayat.

Pola serupa juga diimani tradisi feng shui dalam kultur China. Ajaran tersebut melarang seseorang tidur dengan posisi itu karena akan mengacaukan aliran chi (energi kehidupan) tubuh. Lebih-lebih, letak demikian juga diyakini sebagai posisi kematian—death position atau coffin position. Akan tetapi, dalam urusan posisi maut ini, barangkali kita tak perlu menengok hingga ke China dan India.

Di Indonesia, jenazah orang Islam disemayamkan ke dalam perut bumi dengan letak kepala di utara. Tampaknya, posisi tersebut diupayakan agar jenazah bisa dimiringkan ke kanan untuk menghadap kiblat. Jasad dihadapkan ke arah kiblat dengan bertumpu pada sisi kanan tubuh. Jika posisinya dibalik, mayat harus miring ke kiri. Kiri, kita tahu, dianggap bukan sisi yang baik.

Adab tidur orang Madura sangat mungkin dipengaruhi tradisi India, China, maupun Islam. Terlebih, bangsa India dan China pernah singgah dan turut menancapkan budayanya di Nusantara sekian abad lampau. Meski begitu, kepercayaan orang Madura terhadap pose ajal tidak disertai penjelasan kompleks sebagaimana vastu sastra dan feng shui. Ia sebatas tradisi lisan. Alih-alih berakar pada kepercayaan dari negeri-negeri jauh, keyakinan tersebut bisa saja diciptakan orang Madura sendiri.

Sebuah legenda mengisahkan muasal nenek moyang Suku Madura. Dalam Lintasan Sejarah Madura, Mien Ahmad Rifai mencatat bahwa masyarakat Pulau Garam itu percaya leluhur mereka datang dari sebuah negeri asing di utara. Orang-orang itu lari dari ancaman musuh. Mereka kabur ke selatan, ke arah laut, hingga akhirnya terdampar di sebuah pulau dan menetap di sana. Orientasi ke arah laut dapat dimaknai ka lao’ (ke selatan). Dengan demikian, baik laut maupun lao’ dianggap simbol kebebasan.

Etnis Madura menganggap utara sebagai masa lalu, sumber segala mala. Utara adalah musuh. Sebaliknya, selatan diyakini sebagai harapan, suaka bagi leluhur. Oleh karena itu, rumah di taneyan lanjhang (struktur permukiman tradisional Madura) menghadap selatan. Pantang bagi mereka menoleh ke belakang, ke arah masa silam. Meski begitu, tampaknya kini rumah-rumah di Madura tak lagi menaati pakem tersebut. Terbatasnya lahan menahan kehendak orang saat menata hunian. Nalar utara sebagai arah bencana barangkali juga berlaku di tempat tidur.

Banyak orang percaya bahwa tidur dengan posisi tersebut memang buruk. Berbagai alasan rasional digunakan untuk mendukung keyakinan itu, mulai dari tekanan darah, medan magnet, hingga gelombang otak. Namun, tak sedikit pula yang menganggapnya pseudosains belaka. Saya memang kesulitan menemukan riset yang kredibel sebagai pendukung ‘teori’ tersebut. Tampaknya, tak banyak ilmuwan yang mau buang-buang waktu meneliti orang tidur.

Saya teringat kasur di kamar. Selama ini saya selalu tidur dengan kepala di utara dan merasa baik-baik saja. Tak ada insomnia. Mimpi buruk pun jarang mengganggu. Jangan-jangan, perkara posisi tidur ini hanya efek plasebo? Saya pandangi tempat tidur itu. Sebuah kasur biasa. Tanpa dipan. Posisinya bisa diubah kapan saja. Saya merenung. Apa saya perlu memutarnya ke posisi yang ‘benar’?

Penyunting: Nadya Gadzali