Setiap etnis atau suku di dunia ini mempunyai tradisi, budaya, atau adat istiadatnya sendiri. Meskipun ada beberapa adat istiadat yang memiliki kemiripan antara satu suku dengan suku lainnya, tetapi banyak juga yang unik, yang tidak dimiliki oleh suku-suku lainnya. Salah satunya adalah adat istiadat etnis Batak Toba, khususnya dalam hal hubungan kekerabatan.

Salah satu adat istiadat yang unik dalam budaya Batak Toba adalah adanya sejumlah hubungan antara anggota-anggota keluarga tertentu yang "pantang dekat." Ada beberapa anggota keluarga yang tidak boleh dekat satu sama lain atau terlihat akrab. Misalnya, tidak boleh duduk berdekatan, tidak boleh berbincang tanpa perantara, dan tidak boleh berada di rumah hanya berdua, sekalipun di ruangan yang berbeda.

Kalaupun mereka harus berbicara, mereka akan saling menyapa satu sama lain dengan kata "hamu". Hamu artinya adalah kamu dalam arti jamak, atau kalian, seolah-olah menyapa lebih dari satu orang, padahal hanya satu orang. Ini adalah bentuk penghormatan kepada teman bicara. Sama seperti seseorang yang menyebut "kami" sebagai pengganti kata "saya," walau maksudnya hanya dirinya sendiri.

Hubungan yang pantang dekat dalam budaya Batak Toba ini adalah antara salah satu anggota keluarga dari suatu keluarga tertentu dengan salah satu anggota keluarga yang baru, yang menjadi bagian dari keluarga tersebut, atau dalam ilmu antropologi disebut sebagai "kerabat kawin," yakni seseorang yang menjadi anggota keluarga karena perkawinan.

Tentu hubungan yang pantang dekat ini adalah antar lawan jenis, antara laki-laki dengan perempuan, di mana perempuan tersebut yang menjadi kerabat kawin. Hubungan seperti ini berlaku juga dengan saudara kandung dan saudara sepupu dari si pihak laki-laki.

Maksudnya, jika seorang laki-laki memiliki hubungan yang "pantang dekat" dengan seorang perempuan yang merupakan kerabat kawin, maka hal ini juga berlaku bagi kakak kandung atau kakak sepupu dari laki-laki tersebut. Tetapi, hal ini tidak berlaku bagi saudara si perempuan, baik saudara kandung maupun saudara sepupunya.

Hingga kini, tradisi "pantang dekat" masih berlaku dalam setiap keluarga Batak Toba, tetapi semakin lama tampaknya semakin "mencair" seiring perubahan zaman. Tradisi seperti ini berlaku ketat di keluarga Batak Toba yang masih tinggal di kampung halaman.

Sementara di dalam keluarga Batak Toba yang tinggal di perantauan atau perkotaan, tradisi ini lebih longgar. Apalagi jika kerabat kawin atau anggota keluarga yang "datang" itu bukan berasal dari kalangan suku Batak Toba, tetapi dari suku lain di Indonesia, bahkan dari bangsa lain di luar Indonesia.

Tradisi unik seperti ini perlu diketahui bukan hanya oleh orang Batak sendiri, tetapi juga oleh orang lain di luar suku Batak Toba. Dengan demikian, mereka mengerti mengapa sejumlah anggota keluarga dalam sebuah keluarga Batak Toba tidak boleh dekat, dalam hal duduk atau berbicara.

Apalagi jika mereka, khususnya para perempuan, akan menjadi bagian dari sebuah keluarga Batak Toba, menjadi kerabat kawin mereka. Maka tradisi ini wajib diketahui. Nah, apa saja ketiga "hubungan terlarang" dalam budaya Batak Toba? Simak ulasannya berikut ini.

Ayah Mertua dan Menantu Perempuan

Dalam budaya Batak, khususnya Batak Toba, seorang mertua laki-laki tidak boleh dekat dengan menantu perempuannya. Dia tidak boleh banyak berbicara dengan menantunya. Demikian juga dengan posisi duduk. Mereka tidak boleh terlalu dekat atau secara langsung berdekatan tanpa ada "penghalang". Selain itu, mereka juga tidak boleh berada di dalam rumah berduaan, kecuali terpaksa, sekalipun di dalam kamar atau ruangan yang berbeda.

Bahkan, pada zaman dahulu, laki-laki dan menantu perempuannya tidak boleh berbincang secara langsung. Kalaupun ia terpaksa harus berbicara dengan menantu perempuannya, maka harus melalui perantaraan orang lain, demikian juga sebaliknya.

Dalam hal penyebutan atau sapaan, yang dalam bahasa Batak Toba disebut partuturan, seorang laki-laki akan memanggil menantu perempuannya dengan sebutan inang atau inang parumaen, yang artinya anak mantu. Sedangkan sang parumaen atau menantu perempuan menyebut ayah mertuanya itu sebagai amang atau amang simatua atau ayah mertua.

Jadi, jika seorang gadis menikah dengan laki-laki Batak, ia harus mengerti aturan adat tentang cara berbicara dan berinteraksi dengan ayah mertua, meskipun ia ingin menunjukkan perhatian seperti kepada ayahnya sendiri. Ada tata cara untuk menyampaikan perhatian kepada keluarga, misalnya melalui pekerjaan rumah, melalui suami atau ibu mertua.

Kakak laki-laki dengan istri adiknya

Jika ada laki-laki Batak yang mempunya adik laki-laki, lalu adiknya itu menikah dengan seorang perempuan, maka perempuan itu tidak boleh dekat dengan kakak dari suaminya (kakak ipar). Itu adalah hubungan yang pantang dekat dalam budaya Batak Toba. Laki-laki itu tidak boleh duduk dekat dengan istri adiknya, berbicara dengannya kecuali terpaksa, atau hanya berdua dengannya di dalam satu rumah atau ruangan.

Hubungan itu disebut sebagai haha doli dan anggi boru. Haha doli artinya adalah kakak laki-laki, dan anggi boru artinya adalah adik perempuan. Kakak laki-laki menyebut istri dari adiknya sebagai anggi boru atau adik perempuannya. Sementara adik ipar perempuan menyebut kakak iparnya sebagai haha doli atau kakak laki-laki.

Tetapi, meskipun secara harfiah istilah anggi boru adalah adik perempuan, hal ini tidak dapat digunakan seorang laki-laki kepada adik perempuannya. Demikian juga, adik perempuan tidak dapat memanggil kakak laki-lakinya sebagai haha doli, meski arti dari istilah itu adalah kakak laki-laki. Kedua istilah itu begitu khas, berlaku hanya bagi kedua orang itu.

Tetapi larangan ini tidak berlaku sebaliknya. Istri dari kakak ipar diperbolehkan untuk dekat dengan adik laki-lakinya, dengan anggaran bahwa adik laki-laki suaminya itu juga adalah adiknya. Dalam budaya Batak, hubungan kekerabatan itu justru terjalin dengan akrab, kadang lebih akrab daripada hubungan kakak laki-laki dengan adik kandungnya.

Suami dengan saudara iparnya

Jika seorang laki-laki mempunyai saudara ipar laki-laki dari istrinya, maka hubungan dengan istri saudara iparnya itu juga merupakan hubungan yang pantang dekat. Dia tidak boleh dekat dengan perempuan itu. Hubungan kekerabatan semacam itu dalam bahasa Batak Toba disebut dengan marbao. Ia menyebut istri dari saudara iparnya itu sebagai inang bao. Sebaliknya, perempuan itu menyebut saudara ipar suaminya sebagai amang bao.

Seperti antara ayah mertua dengan menantu perempuannnya, atau kakak laki-laki dengan istri adiknya, seorang suami juga tidak boleh akrab dengan istri dari saudara istrinya, atau istri saudara iparnya. Mereka tidak boleh mengobrol secara langsung kecuali terpaksa. Mereka juga tidak boleh duduk berdekatan, harus ada seorang perantara di tengah mereka sebagai "penghalang."

Jadi, jika seorang perempuan menikah dengan laki-laki dari suku Batak Toba, rambu-rambu hubungan kekerabatan dengan ayah mertua, kakak laki-laki dari suami, dan suami dari ipar perempuan harus benar-benar dipahami. Tidak banyak bicara dengan mereka, dan tidak berada di dalam rumah berdua saja, baik di dalam kamar ataupun ruangan yang berbeda.

Lalu, apa arti semua hubungan yang pantang dekat ini? Mengapa mereka tidak boleh dekat dan akrab? Seperti umumnya tradisi di berbagai etnis, alasan-alasan di balik sebuah larangan atau aturan adat adalah tradisi warisan nenek-moyang agar tercipta keteraturan dan hubungan sosial keluarga menjadi baik dan harmonis.

Nenek moyang kita merumuskan tradisi itu pasti memiliki alasan dan tujuan. Alasan filosofisnya, bahwa bagi seorang laki-laki Batak, tidak diperbolehkan untuk terlalu dekat dengan perempuan yang menjadi anggota keluarga atau kerabat kawinnya, karena mereka bukan milik kita, tetapi diharuskan untuk menjaga kehormatan anak dan saudara yang secara kekerabatan posisinya lebih muda dari kita.

Misalnya, laki-laki dengan menantu perempuannya tidak boleh dekat, karena menantunya adalah kehormatan yang dimiliki oleh anaknya. Seorang kakak dengan istri adiknya tidak boleh dekat karena adik iparnya itu adalah orang lain yang menjadi kerabat lantaran hubungan perkawinan dengan adiknya. Begitu pula dengan seorang laki-laki yang tidak boleh dekat dengan istri saudara iparnya. Sebab, perempuan itu terikat secara kekerabatan dengan dirinya karena adanya hubungan perkawinan dengan saudara istrinya.

  • Source gambar utama: Facebook Fanpage Pengantin Batak

Penyunting: Nadya Gadzali