Gaya hidup kini bertransformasi menjadi serba instan dan tergesa-gesa. Makanan-makanan instan, jasa cuci kilat, jasa kirim kilat, dan lain sebagainya semakin marak. Secara tidak langsung, gaya hidup itu memengaruhi sikap masyarakat dalam memaknai kehidupan bahwa yang serba cepat adalah kebahagiaan.

Sebagai orang Jawa, nenek moyang kami mengaplikasikan konsep hidup yang justru bertentangan dengan itu. Konsep tersebut ialah alon-alon asal kelakon yang jauh lebih santai, menikmati proses, namun tetap berpegang teguh pada tujuan.

Lantas, seberapa relevankah konsep hidup Jawa tersebut terhadap kehidupan saat ini?

Kata orang bijak, hidup ini adalah tentang menghadapi ujian dan permasalahan. Jika benar demikian, alon-alon asal kelakon tentu menjadi krusial. Betapa tidak, salah satu konsep hidup orang Jawa ini mengajarkan kita untuk terus menikmati hidup.

Tidak hanya berpatokan pada pencapaiannya saja, melainkan setiap detik, menit, jam, hari dan seterusnya dimaknai sebagai proses yang patut disyukuri. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, alon-alon asal kelakon berarti "santai yang penting tujuan tercapai".

Ungkapan itu mengingatkan kita bahwa manusia zaman sekarang, yang sebagian besar telah menanggalkan prinsip berproses dan beralih pada gaya hidup serba cepat itu agar lebih santai (bukan berarti lalai) dan tetap menikmati hidup.

Pasalnya, orang-orang masa kini tampak giat menerapkan budaya "Roro Jonggrang", salah satu cerita yang melegenda di kalangan masyarakat Jawa. Jika legenda pembuatan Candi Prambanan itu oleh pakar spiritual dinyatakan sebagai propaganda buatan pemerintah kolonial Belanda, masyarakat kita saat ini benar-benar melakukannya (sumber: https://youtu.be/H2ak37ErR-g)

Mulai dari mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan kantor, hingga tugas-tugas rumah tangga yang menerapkan “sistem kebut semalam”."Jika bisa dikerjakan besok, kenapa harus sekarang?"

Begitu pula dengan pelajar dan mahasiswa. Menurut pengamatan saya, tak lagi menikmati proses mengerjakan tugas-tugasnya. Yang penting jadi, tugas beres dan terkumpul sesuai deadline, itu sudah cukup. Perkara nilai, bisa diurus belakangan. Fokus utama mereka barangkali adalah MCK: mudah, cepat, dan kilat.

Ciri lain yang lazim terlihat pada kehidupan masyarakat kiwari, yaitu hanya ingin enaknya saja, cenderung mengesampingkan tahapan-tahapan proses yang boleh jadi justru penting.

Bahkan, demi mewujudkan hasrat duniawinya, tindakan apa saja akan mereka upayakan, termasuk yang melanggar norma atau hak orang lain. Budaya semacam itu tentu perlu dipertanyakan.

Mengerjakan tugas adalah tanggung jawab besar, bukan hanya perkara nilai atau hasil belaka. Lewat tugas sekolah atau kampus, siswa belajar memupuk konsistensi, tanggung jawab, dan manajemen waktu.

Hal itu menjadi penting dan sangat dibutuhkan di kehidupan kini dan seterusnya. Bahkan, sekolah juga tak melulu tentang pelajaran yang diberikan guru, tetapi lebih dari itu.

Dengan bersekolah, seharusnya siswa menjadi lebih terdidik, terpupuk, dan terarah sehingga kemudian mereka mampu menemukan jati diri, karakter, dan kepribadian dalam versi terbaiknya.

Adanya gaya hidup instan ini semua menjadi serba cepat, bahkan terlampau tergesa-gesa. Alih-alih maksimal, fenomena tersebut justru dapat menurunkan kualitas.

Dalam konteks tertentu, industri misalnya, kualitas tidak selalu menjadi fokus utama. Sebab, ada saja pihak-pihak yang lebih mementingkan kuantitas produksi ketimbang kualitas.

Candi Prambanan yang konon dibangun dalam waktu semalam saja, realitasnya tidak demikian. Menukil dari laman https://prambanan.slemankab.go.id/, Candi Prambanan mulai dibangun pada masa kerajaan Medang atau Mataram Kuno, sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan dan terus dikembangkan serta diperluas oleh Balitung Maha Sambu (baca: Candi Perambanan).

Raja Balitung Maha Sambu atau Dyah Balitung ini, menurut Katalog Pameran berjudul "Medang: Sejarah dan Kebudayaan Mataram Kuno", persembahan dari Museum Pleret Dinas Kebudayaan D.I Yogyakarta untuk Museum Sepuluh November Surabaya tahun 2022, berkuasa antara tahun 899-911 Masehi.

Artinya, pembangunan Candi Prambanan membutuhkan waktu sekira 60 tahun lamanya, mulai dari awal dibangun sampai menjadi sebuah bangunan candi. Betapa besarnya waktu, tenaga, dan materi yang dicurahkan.

Alon-alon asal kelakon itu demikian, sama halnya dengan pepatah: “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Kita pun boleh mengingat suatu hal yang didapat dengan mudah, kebanyakan hilang atau habisnya pun mudah. Karena itu, kita perlu ilmu pengetahuan dan pengalaman.

Dengan menikmati setiap tahapan dan proses kehidupan kita, kemungkinan akan tumbuhnya kesiapan fisik dan mental saat keberhasilan itu menghampiri menjadi bertambah besar. Alhasil, kesuksesan yang diraih dapat bertahan lama.

Sebagai insan yang tengah berproses dan berkembang, bagi saya, konsep alon-alon asal kelakon ini masih perlu dan amat relevan diterapkan dalam kehidupan kita kini, dan boleh jadi hingga nanti.

Boleh saja berfokus pada goals. Tapi, dengan menjalankan sistem yang baik, akan semakin memperkuat tekad, yang berimbas pada tumbuhnya konsistensi diri untuk terus bertahan dan berusaha mencapai tujuan. Boleh saja mengedepankan kuantitas. Tapi, konsistensi dalam menjaga kualitas juga perlu dilakukan.

  • Source gambar utama: Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat/Nadya Gadzali

Penyunting: Nadya Gadzali