Gunung Bromo yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru selalu menyajikan pengalaman yang berkesan bagi wisatawan yang datang. Tak heran, Gunung Bromo menjadi salah satu objek yang wajib dikunjungi jika berkunjung ke daerah Malang, Jawa Timur.

Puluhan tour guide menawarkan jasa untuk melihat keindahan Gunung Bromo dari dekat. Tarif yang bervariasi dari titik penjemputan di sekitar Kota Malang dan pengantaran kembali ke lokasi penjemputan, membuat pengunjung tidak perlu risau, hanya perlu kecocokan waktu dan uang yang cukup, semua sudah dapat berkunjung ke Gunung Bromo.

Gunung Bromo dikenal sebagai kawasan tempat tinggal masyarakat suku Tengger. Selain pemandangan alamnya yang indah, faktor lain yang menjadi daya tarik Gunung Bromo ialah kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Suku Tengger. Membuat wisatawan datang berbondong-bondong, baik domestik maupun mancanegara. Terlebih, Gunung Bromo menjadi salah satu tempat bersejarah bagi peradaban masyarakat Suku Tengger.

Wisatawan terpikat oleh Pura Poten Luhur di kaki Gunung Bromo. Pura yang berdiri tegak dengan kokoh itu menjelma keunikan tersendiri dan menjadi daya tarik Gunung Bromo. Saat itu, saya bertanya langsung kepada tour guide yang menemani saya berwisata ke Gunung Bromo. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan ialah tentang masyarakat Suku Tengger, di manakah suku ini tinggal? Apakah semua masyarakat Suku Tengger beragama Hindu?

Tempat Tinggal Suku Tengger

Masyarakat Suku Tengger hidup di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan terbagi menjadi 4 Kabupaten yaitu, Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan. Masyarakat Suku Tengger dimasukkan ke dalam “Desa Tengger” yang mayoritas beragama Hindu dan masih menjaga adat istiadat tengger yang sudah ada sejak dahulu. Desa Tengger yang dimaksud ialah Desa Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso (Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo), Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung (Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan), dan Argosari serta Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang).

Mereka hidup di daerah pegunungan dan sebagian besar berprofesi sebagai petani, tinggal berkelompok di dekat lahan pertanian mereka. Udara yang sejuk dan dingin membuat mereka nyaman dan kerasan bekerja di ladang dari pagi hingga sore hari. Komoditas pertanian utamanya yaitu sayur mayur khas pegunungan, seperti kubis, kentang, wortel, bawang putih, bawang daun, dan lain sebagainya.

Sejarah Suku Tengger

Menurut tour guide yang menemani saya dan kawan-kawan, Suku Tengger berasal dari dua padanan kata terakhir dari leluhur mereka, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Teng diambil dari kata terakhir Rara Anteng dan Ger diambil dar Joko Seger. Masyarakat Suku Tengger meyakini bahwa Rara Anteng dan Joko Seger adalah nenek moyang mereka.

Anteng diartikan tak banyak tingkah dan tak mudah diusik. Istilah tersebut diyakini oleh masyarakat setempat dalam kenyataan hidup sehari-hari yang hidup sederhana, damai, tentram, gotong–royong, memiliki toleransi tinggi, serta bekerja keras. Rara Anteng dipercaya sebagai putri dari Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Joko Seger merupakan seorang putra Brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger.

Masyarakat Suku Tengger memiliki keyakinan bahwa mereka ialah keturunan Majapahit. Terbukti dengan ditemukannya prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit pada tahun 1880. Prasasti tersebut terbuat dari kuningan di Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan dan tertulis tahun 1327 Saka atau 1407 M. Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo Tengger Semeru sudah dihuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya.

Kehidupan Masyarakat Suku Tengger

Masyarakat Suku Tengger mayoritas memeluk agama Hindu, kendati tidak menutup kemungkinan bahwa ada pula yang sudah beragama Islam, Kristen, Buddha, dan lain sebagainya. Masyarakat Suku Tengger hingga kini masih melestarikan tradisi Walandhit dan Majapahit.

Sedangkan tata cara peribadatan, masyarakat Suku Tengger masih menggunakan benda-benda bercirikan Hindu seperti Gentha, Kropak, Prasen (tempat air suci) dan Prapen (tempat api dan kemenyan), serta memakai Sampet (selendang yang dikenakan oleh pendeta Hindu pada zaman Majapahit). Hingga kini, Suku Tengger masih tetap melestarikan tradisi yang ada, seperti upacara adat di kehidupan sehari–hari yang masih mengenakan pakaian khas, yaitu sarung yang dikenakan di leher. Pada hari–hari besar, masyarakat Suku Tengger menghormati arwah–arwah leluhur dan mempercayai kekuatan benda-benda gaib yang ada.

Masyarakat Suku Tengger sangat menghormati Gunung Bromo, memuliakan Gunung Bromo dan gunung-gunung yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Konon, menurut kisah yang melegenda, Joko Seger dan Rara Anteng tak memiliki keturunan. Lalu keduanya bertapa di Gunung Bromo dan memohon agar segera dikaruniai keturunan. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Sang Hyang Widhi Wasa dengan syarat bahwa anak yang terakhir akan dijerumuskan ke kawah Gunung Bromo. Sang istri pun melahirkan hingga 25 anak.

Gunung Bromo pun menagih janji. Rara Anteng dan Joko Seger harus menumbalkan anak terakhirnya beberapa tahun kemudian. Rara Anteng dan Joko Seger menyadari peringatan tersebut dan menyembunyikan anak bungsunya ke Desa Ngadas. Namun, namun persembunyian tersebut tetap dapat diketahui. Semburan api Gunung Bromo kemudian menarik salah satu putranya yang bernama Kusuma untuk dijadikan tumbal dan dilemparkan ke kawah Gunung Bromo demi keselamatan saudara-saudaranya.

Upacara Kasada

Selayaknya umat Islam yang setiap tahunnya merayakan hari raya Idul Adha atau hari Raya Kurban, masyarakat Suku Tengger juga merayakan upacara Kasada setiap tahunnya atau yang dikenal dengan Yadnya Kasada sebagai bentuk komunikasi antara Suku Tengger, Tuhan, dan roh leluhur yang ada di kawasan Suku Tengger.

Upacara ini merupakan amanat leluhur Suku Tengger, Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma yang harus dilestarikan oleh Suku Tengger. Pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan pada tanggal 14, 15, 16 bulan Kasada atau bulan kesepuluh, bertepatan dengan kemunculan bulan purnama. Lokasi upacara ini berada di sekitar kaki Gunung Bromo, dimulai dari tengah malam hingga pagi hari.

Ritual Yadnya Kasada tak hanya diikuti oleh pemeluk agama Hindu, tetapi juga oleh pemeluk agama Islam, Buddha, dan Kristen. Rangkaian upacara dimulai dengan ritual pengambilan Mata Air Suci (diambil dari mata air Gunung Widodaren sebelum upacara dimulai). Kedua, Yad Kasada (dilakukan oleh Parisida Hindu dan Dukun Suku Tengger yang berlokasi di Pura Poten Luhur). Ketiga, Upacara Kasada (ritual dengan berbagai rangkaian acara seperti membacakan kidung–kidung, ngelukat umat (menyucikan umat, tempat ibadah dan tempat para dewa), pembacaan kitab suci Weda, menceritakan sejarah kasada, muspa (persembayangan), doa pasca sembah, pemilihan calon dukun, acara lelebuhan (melempar sesajen ke dalam kawah Gunung Bromo). Sesajen yang dilempar berupa hasil bumi seperti hasil pertanian dan hasil pertenakan yang telah diamanatkan oleh leluhur Suku Tengger.

Ritual Kasada begitu sarat akan nilai-nilai spiritual Hindu. Masyarakat yang beragama non-Hindu hanya hadir untuk menyaksikan proses Upacara Kasada. Ritual pamungkas ialah pepujaan (selametan). Acara ini dilakukan oleh Poten masing-masing dengan menikmati hasil alam yang dipimpin oleh para dukun dan sesepuh desa setempat. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi Wasa kepada masyarakat Suku Tengger. Selain itu, makna dari upacara tersebut ialah simbol penyucian diri, baik lahir maupun batin.

Penyunting: Nadya Gadzali