Samawa atau Sumbawa tidak hanya kaya akan sumber daya alam dan kulinernya, tetapi juga adat istiadat dan tradisi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Sumbawa adalah "nyorong", rangkaian acara pra-pernikahan dalam peristiwa daur hidup Suku Samawa.

Nyorong merupakan rentetan acara kelima setelah bajajak, badenung, bakatoan dan basaputis yang masih dilakukan oleh masyarakat Sumbawa. Kendati pelaksanaannya cukup berbeda kini dan dahulu, namun esensi dari gelarannya masih tetap sama.

Pada tanggal 15 September 2021, saya dan Ramdan, seorang pemuda Desa Pemasar menghadiri acara Nyorong di Desa Sempe, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa. Desa Sempe merupakan salah satu desa yang masih komitmen mempertahankan adat dan tradisi nenek moyangnya di tengah derasnya arus modernisasi dan budaya luar yang mempengaruhi adat Sumbawa.

Masyarakat Desa Sempe yang konsisten mempertahankan tradisi nyorong menggelarnya dengan sangat meriah, bahkan saking meriahnya, seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dan terlibat dalam acara tersebut. Pelaksanaan nyorong biasanya dilakukan pada sore hari setelah salat ashar dan terkadang juga dilakukan pada malam hari.

Nyorong dilaksanakan selepas tradisi bakatoan dan basaputis yang dilakukan oleh kedua keluarga pasangan pengantin. Dalam proses bakatoan dan basaputis, tokoh agama, tokoh pemerintah, dan tokoh masyarakat membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan kesepakatan bersama, antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin perempuan.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa tradisi nyorong kerap dilakukan pada sore hari, meskipun juga dilakukan pada malam hari, tergantung kesepakatan keluarga kedua calon pengantin. Prosesi nyorong yang dilaksanakan di Desa Sempe umumnya dilakukan selepas waktu ashar, sehingga saya sudah tiba di Desa Sempe sebelum kumandang azan.

Rumah calon pengantin pria diramaikan oleh kerumunan warga, mereka berkumpul di halaman rumahnya, sembari menyimak tokoh masyarakat yang melantunkan sebuah syair dalam Bahasa Sumbawa dan selawat, diiringi tabuhan alat musik rebana.

Saya terkagum-kagum dengan suara mereka yang khas dan tabuhan rebana yang enak didengar, walaupun usia mereka yang berselawat tak muda lagi, tetapi mereka sangat bersemangat dan memiliki napas yang panjang. Mereka sudah terbiasa, bahkan sudah menjadi juru sakeco sejak usia belasan tahun.

Sakeco dilakukan beberapa menit bahkan sampai berjam-jam, dilakukan secara bergantian, kemudian mempelai pria bersiap menuju rumah calon pengantin perempuan. Calon pengantin pria menggunakan pakaian adat Sumbawa dan menunggangi kuda yang sudah dihias sebagai kendaraan, menuju rumah calon pengantin wanita bersama keluarga dan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan bahan lamaran (soan-lemar) yang diminta oleh keluarga calon pengantin wanita dan sudah disepakati pada saat bakatoan dan basaputis.

Calon mempelai pria dengan gagah perkasa menunggang kuda dan berada di barisan depan, sedangkan keluarga mengikutinya dari belakang, diiringi permainan musik Ratib Rabana Ode sampai kediaman calon mempelai wanita.

Setibanya di rumah mempelai wanita, keluarga dan rombongan pengantar mempelai pria tidak langsung masuk, melainkan berbalas lawas atau pantun antar pelawas dari kedua pihak keluarga pengantin. Di dalam lawas atau pantun berbahasa Sumbawa, terkandung pesan moral meski tak terlalu formal. Sesekali terdengar pantun atau lawas jenaka nan sarat makna.

Selepas rabalas lawas (berbalas pantun), calon pengantin pria dan seluruh pengantar diizinkan masuk ke kediaman mempelai wanita melalui seremonial pengguntingan pita yang dibentangkan di pintu masuk, sebagai simbol bahwa calon pengantin pria sudah diterima oleh keluarga calon mempelai wanita dan dipersilakan menempati pelaminan.

Acara dilanjutkan dengan tradisi menyampaikan "kata hati" dari kedua keluarga calon pengantin yang diwakili oleh tokoh pemerintah, tokoh agama, atau tokoh adat. Dalam menyampaikan kata hati, baik keluarga calon mempelai pria maupun dari keluarga calon mempelai wanita, sama-sama menggunakan lawas yang sarat muatan pesan moral, sosial, dan nasihat pernikahan.

Setelah menyampaikan isi hati, acara dilanjutkan ke penyerahan mahar secara simbolik oleh keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Biasanya, oleh ibu dari kedua calon pengantin. Prosesi nyorong pada Etnis Samawa mengandung nilai sosial yang mampu mewujudkan interaksi sosial yang harmonis antarsesama. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumbawa, baik ketika bergaul dengan sesama orang Sumbawa maupun dengan masyarakat pendatang yang telah menetap di Sumbawa.

Begitu pula dengan gotong royong, tolong-menolong, dan menjaga kerukunan seperti yang diajarkan dalam agama Islam juga menjadi nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi nyorong. Di Sumbawa, tidak ada peristiwa batal menikah dikarenakan permintaan mahar yang terlampau berat untuk dipenuhi.

Masyarakat Sumbawa masih kuat memegang teguh tradisi saling menolong (saling tulung) di antara sesama. Bahkan, di dalam tradisi nyorong banyak dari anggota masyarakat ikut mengantarkan calon pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita. Pasalnya, masyarakat Sumbawa mengenal budaya malu atau ila no tama boat dengan (malu kalau tidak ikut berpartisipasi pada acara orang lain).

Melalui keterlibatan masyarakat pada tradisi nyorong, terjadi interaksi sosial antara keluarga dan masyarakat dari dua desa, mereka kemudian mengenal satu sama lain, bahkan terbentuk ikatan kekeluargaan dan perkenalan itu kemudian membuka kemungkinan terjadinya perjodohan antara kaum muda dari dua desa.

Nyorong sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Tradisi ini memberikan dampak yang sangat besar, tidak hanya untuk kedua keluarga calon mempelai, tetapi juga membentuk karakter masyarakat Sumbawa menjadi lebih egaliter, toleran, dan harmonis.