Pada 2014 lalu, beberapa daerah di Kediri, Blitar, dan Malang geger. Orang-orang mengungsi. Mereka berbondong-bondong ke titik evakuasi. Kilatan cahaya menyala-nyala di tengah gulita. Gemuruh terdengar, malam dalam kecamuk, Gunung Kelud tengah mengamuk.
Dalam sains, letusan gunung tak lebih dari sekadar fenomena alam. Penyebabnya bisa dikaji secara empiris melalui geologi atau vulkanologi. Namun, pada masa lalu, manusia tidak memaknai bencana alam serasional itu. Ia adalah persinggungan antara jagat sekala dan niskala. Letusan gunung bukan gejala vulkanik belaka. Kadang, itu adalah kutukan.
Suara burung takur bersahutan saat kami memasuki perkebunan di Desa Gadungan, Gandusari, Blitar. Kebun nanas terhampar luas. Di sekitarnya, tebu-tebu tegak penuh sesak. Tubuh jangkungnya melambai-lambai dibuai angin. Kami memacu motor di atas jalur tanah yang terus menanjak, memasuki kebun karet dan kopi. Jalanan menyempit, pohon-pohon kian besar, perjalanan kian sukar. Namun, patung yang kami cari belum juga terlihat.
Sehari sebelumnya, saya mencari informasi di internet tentang patung Lembu Sura. Ia adalah tokoh dalam cerita rakyat sekitar Gunung Kelud. Sesosok manusia berkepala sapi yang konon mengutuk wilayah Kediri, Blitar, dan Tulungagung sebelum ia mati di atas gunung.
Patung itu sendiri sebenarnya tak terlalu istimewa. Sebab, alih-alih arca peninggalan zaman kerajaan, patung itu kabarnya merupakan buatan seorang perajin atas permintaan Perhutani pada tahun 90-an sebagai penanda sekaligus pemanis wilayah tersebut.
Meski begitu, ia menjadi menarik karena merekam perwujudan sosok Lembu Sura yang melegenda. Dan ternyata ada dua patung, beberapa meyakini mereka adalah Jatha Sura dan Lembu Sura—ada juga yang percaya bahwa salah satunya adalah Mahesa Sura.
Beredar beberapa versi kisah Lembu Sura dalam legenda Gunung Kelud, tapi semuanya mengusung tema serupa, yakni pengkhianatan. Dikisahkan, seorang raja hendak mencarikan pasangan untuk putrinya yang jelita, Dewi Kilisuci—versi lain menyebutnya Dyah Ayu Pusparani. Sang raja mengadakan sayembara kepada siapa pun pria yang bisa menaklukkan tantangannya, orang itu akan mendapatkan putrinya.
Begitu berat perlombaan itu sampai-sampai tak ada seorang pun yang bisa menang. Saat semua laki-laki mundur, Lembu Sura datang—versi lain menyebut Jatha Sura dan Mahesa Sura ikut serta. Dengan kesaktiannya, ia menuntaskan semua tantangan raja secara sempurna. Pemenang telah ditentukan. Janji raja tak bisa dibatalkan.
Sang putri ngeri calon pengantinnya adalah lelaki berkepala sapi. Ia tak mau menikah dengan siluman. Oleh karena itu, dia meminta Lembu Sura untuk menggali sumur di puncak gunung dalam waktu semalam. Manusia lembu itu mengiyakan. Namun, sayang, saat sedang berada di dalam lubang, atas titah raja, Lembu Sura dikubur hidup-hidup. Sebelum menemui ajal, ia bersumpah. Mengutuk orang-orang yang telah mengkhianatinya.
"Yoh.. Kediri, mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping. Yo iku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung dadi kedung."
(“Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapat balasanku yang amat besar. Kediri akan jadi sungai, Blitar jadi daratan, dan Tulungagung jadi danau").
Legenda sumpah Lembu Sura masih eksis hingga kini dalam tradisi lisan masyarakat sekitar Kelud. Saat saya bertanya pada beberapa kawan dari Blitar dan Kediri, mereka tahu atau setidaknya pernah mendengarnya—meskipun dalam versi yang berbeda-beda. Bahkan, beberapa orang meyakini patung itu merupakan pelindung dari murka Kelud. Ada juga yang mengaku melihat awan panas berbentuk sapi saat Kelud erupsi. Larung sesaji masih dilakukan guna menolak bala sumpah itu.
Kisah tersebut tentunya mengingatkan kita pada legenda Rara Janggrang yang dikutuk Bandung Bandawasa. Apakah kisah Lembu Sura di Kelud merupakan plagiat dari cerita seribu candi Prambanan atau sebaliknya? Entahlah. Akan tetapi, dalam pewayangan, cerita sang lembu tidak seperti itu.
Baik Lembu Sura, Mahesa Sura, dan Jatha Sura adalah tokoh dalam wiracarita Ramayana. Semuanya adalah tokoh antagonis dari bangsa raksasa. Mereka adalah penguasa Gua Kiskenda, musuh Subali dan Sugriwa. Mahesa Sura adalah raja, Lembu Sura menjabat sebagai patihnya, dan Jatha Sura merupakan tunggangan sang raja. Mahesa Sura melamar Dewi Tara, tapi para dewa menolaknya. Begitulah akhirnya mereka bertempur.
Dalam pewayangan, ketiganya sama-sama berwujud manusia setengah hewan. Lembu Sura berkepala sapi (lembu artinya “sapi”) sedangkan Mahesa Sura (mahesa berarti “kerbau”). Sebaliknya, Jatha Sura, digambarkan bertubuh harimau—meskipun menurut saya lebih mirip sapi—dengan kepala raksasa. Namun, dari ketiganya, Lembu Suralah yang paling dikenal masyarakat sekitar Kelud.
Gunung Kelud merupakan salah satu gunung suci di Jawa. Nama lama Kelud adalah “Kampud”. Tantu Panggelaran mengisahkan bahwa gunung itu merupakan reruntuhan dari Mahameru saat para dewa memindahkannya dari Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa (Jawa). Amukan Kelud sudah lama tercatat dalam sejarah. Muntahan abu vulkanik dan laharnya tercatat pernah menewaskan 5.160 orang pada 1919. Negarakertagama mencatat letusan Kelud begitu dahsyat:
Gempa, bumi berguncang, hujan debu, gemuruh, halilintar, kilat bersambungan di langit. Gemuruh suara Gunung Kampud runtuh membinasakan orang jahat dan bajingan, yang mati tanpa ampun.
Wajar jika masyarakat menghormatinya, memujanya, mendirikan tempat-tempat pemujaan untuk meredam amarahnya, bahkan menggubahkan kisah untuk sang gunung.
Tak jelas bagaimana awal mula penggunaan lakon Lembu Sura dalam legenda Gunung Kelud. Lebih mudah menerima bahwa ia dicomot begitu saja dari jagat pewayangan untuk dibuatkan cerita independen. Memberi panggung sendiri baginya untuk beraksi sebagai tokoh utama demi menyampaikan pesan moral dalam cerita. Meskipun demikian, keterkaitan antara sapi dan kultus gunung dalam Hinduisme mungkin berpengaruh.
Dalam kosmologi Hindu, Siwa dikenal juga sebagai giri natha yang artinya “raja gunung”. Ia memiliki kendaraan (wahana) yaitu Nandi, seekor sapi jantan. Barangkali, konsep inilah yang melekat di benak Orang Jawa pada masa lalu sehingga mereka memilih manusia sapi sebagai tokoh di balik legenda Gunung Kelud. Atau, mulanya seseorang memang pernah melihat sang makhluk.
Sosok manusia setengah hewan seperti Lembu Sura nyatanya tidak hanya muncul di Jawa. Lembu Sura bahkan menemukan kembarannya di Yunani, yakni Minotaur. Beberapa dewa Mesir kuno digambarkan berkepala binatang, seperti Anubis dan Horus. Lebih tua dari itu, lukisan manusia setengah hewan tergambar pada dinding-dinding gua—salah satu yang paling terkenal adalah Sang Penyihir. Bukankah aneh menggambar makhluk yang bahkan tak pernah dilihat sebelumnya? Manusia pasti pernah melihat sosok-sosok itu, setidaknya dalam kepala mereka.
Para ahli menduga awalnya figur-figur tersebut ada hubungannya dengan syamanisme alias perdukunan. Sosok-sosok entoptis itu muncul ketika sang dukun mengalami halusinasi. Dalam pikirannya, mereka melihat citra-citra aneh itu lalu melukisnya pada dinding-dinding gua, memujanya sebagai penguasa para binatang.
Tak mengherankan jika komunitas manusia awal menyembah sosok-sosok therianthrope—manusia-hewan—itu demi hasil buruan. Boleh jadi, manusia sapi merupakan semacam dewa kuno yang masih tersisa dalam ketidaksadaran kolektif Homo sapiens, mengingat sapi merupakan penyedia berbagai kebutuhan spesies kita sejak lama.
Meskipun sebatas tokoh wayang, Lembu Sura, Mahesa Sura, dan Jatha Sura pastinya terbentuk melalui perenungan mendalam manusia. Tentunya lebih mudah menggambarkan makhluk-makhluk itu dalam bentuk aslinya yang zoomorfis. Namun, para leluhur malah memilih cara yang merepotkan dengan menggabungkan wujud binatang dan manusia.
Mereka bukannya gagal menentukan batas antara manusia dan hewan. Sosok-sosok hibrida itu merekam jejak revolusi kognitif manusia, di mana leluhur kita mulai mampu melihat sesuatu yang tak tampak. Tidak berlebihan rasanya jika menyebut representasi itu sebagai hantu.
Awal kemunculan hantu-hantu Kelud tampaknya akan tetap menjadi misteri dalam khazanah sastra lisan Nusantara. Akan tetapi, legenda yang masih hidup hingga kini dan ritual yang masih dilakukan menunjukkan bahwa mereka masih bergentayangan, menjaga siapa pun tetap takzim terhadap alam.
Penyunting: Nadya Gadzali