Sebagai sebuah desa yang mempunyai letak kawasan lahan miring yang berdekatan dengan Gunung Merapi dan Merbabu, Desa Lencoh dikenal sebagai salah satu desa yang kuat dengan budaya lokal agraris, di mana komposisi penduduknya mayoritas adalah kaum petani sayur, tembakau, dan peternak sapi dataran tinggi.

Tak banyak yang tahu bahwa Desa Lencoh memiliki aset berharga berupa tanaman kopi. Budaya menyesap nikmatnya kopi memang tak semasyhur di daerah lain. Namun, eksistensi kopi lokal di Desa Lencoh selalu lekat dengan hidangan sesaji pada gelaran seni di lereng Merapi. Kopi menjadi pelengkap yang tak boleh dilewatkan sebagai bagian dari persembahan yang liyan.

Sebagai contoh, misalnya, ketika digelar upacara sedekah di Gunung Merapi, ritual bersih desa, maupun upacara ruwatan. Konon, kopi jenis arabica di Desa Lencoh sudah ada sejak zaman Belanda. Uniknya, kopi peninggalan era kolonialisme yang tersisa itu masih tumbuh dan tersebar di wilayah pedesaan, sehingga masyarakat desa menamainya sebagai Kopi Liar Lencoh atau Kopi Janda—Jaman Belanda.

Menemukan kopi liar Lencoh

Suatu ketika, rasa penasaran menuntun saya untuk berkunjung ke sebuah kedai kopi yang berada tak jauh dari pos I pendakian Gunung Merapi untuk mencari tahu kisah kopi liar Lencoh peninggalan Belanda.

Kedatangan saya disambut senyum ramah si pemilik kedai. Menurut penuturan pemilik kedai kopi, Iswondo, pria berusia 40 tahun itu berbagi kisah, ia menemukan kopi itu secara tak sengaja. Kisahnya berawal di tahun 2000-an, ketika itu Iswondo bertemu dengan seorang nenek yang menjual biji kopi kering di pinggir jalan sekitar Kecamatan Selo.

Iswondo merasa heran biji-biji kopi itu dijual dengan harga sangat murah, hanya Rp 2.500,- per kilogram. Iswondo semakin heran ketika penjual kopi bertutur bahwa biji kopi itu merupakan hasil panen dari pohon kopi liar yang tumbuh di sekitar Desa Lencoh.

Menurut asal-usulnya, pohon-pohon kopi sudah ada sejak zaman Belanda, tepatnya tahun 1935. Menurut sumber lain, yang dituturkan oleh warga setempat, dahulu, tumbuhan kopi merupakan peninggalan orang Belanda kaya-raya bernama Agustinus Dezentje yang makamnya diketahui berada di daerah Ampel, Boyolali.

Dezentje pada waktu itu memang pemilik sebagian besar lahan perkebunan di sekitar lereng Merapi dan Merbabu, saya berasumsi bahwa di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu masih tersisa pohon kopi yang tumbuh secara liar.

Pohon-pohon kopi liar itu tumbuh secara acak di pekarangan rumah warga, di rumpun-rumpun pohon bambu, dekat kandang sapi. Ada juga yang tumbuh di samping toilet rumah warga. Sebagai penikmat kopi, sempat terlintas dalam pikiran saya, sifat tanaman kopi liar di Desa Lencoh yang mudah menyerap unsur hara di sekitarnya mengekspos cita rasa kopi yang unik dan membuat penasaran penikmatnya.

Sosialisasi sistem agroforestri

Sejauh ini, upaya yang dilakukan Iswondo bersama sejumlah komunitas kecil petani di Dukuh Plalangan, Desa Lencoh, Selo, Boyolali, ialah pembudidayaan tanaman kopi dalam skala kecil melalui sistem tumpangsari di sela-sela kebun sayur.

Dahulu, ia pernah mencoba bertanam dengan sistem agroforestri. Namun, dalam kurun waktu satu dekade, agroforestri yang dikembangkan Iswondo mengalami kegagalan lantaran bibit-bibit kopi yang ia tanam di dekat Taman Nasional Gunung Merapi dibabat habis oleh pencari rumput untuk pakan ternak. Mereka tak mengetahui bahwa tanaman kopi itu sengaja disemai.

Melihat urgensi kopi yang notabene aset berharga di Desa Lencoh, sistem agroforestri menjadi strategi ketahanan pangan melalui produk pertanian kopi lokal jenis arabica yang tumbuh di sekitar tanaman perkebunan warga desa yang lokasinya berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Merapi dapat disosialisasikan secara masif kepada warga desa.

Agroforestri merupakan istilah baru dalam praktik pemanfaatan lahan tradisional yang berkaitan dengan penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia lantaran adanya penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan, pada konteks waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, dan adanya interaksi ekologi, sosial, ekonomi (Kurniatun dkk, 2003).

Sumber lain menyatakan bahwa agroforestri dipahami sebagai sistem penggunaan lahan yang memadukan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman bukan kayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), terkadang ada pula komponen ternak atau hewan lainnya (lebah dan ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Huxley, 1999).

Ada potensi yang sangat besar dalam pertanian kopi liar di Desa Lencoh, sebab tanaman kopi dapat dibudidayakan secara fleksibel dan tidak memerlukan lahan khusus, melainkan dapat ditanam secara acak, bahkan tanpa membuka lahan baru. Selain itu, sebagian besar warga memiliki peternakan sapi, sehingga tak lagi memerlukan pupuk untuk melakukan pembibitan dengan rantai simbiosis yang sebenarnya mampu memudahkan petani dalam budidaya pohon kopi di lereng Gunung Merapi.

Dengan adanya sistem tanam acak dan agroforestri, pembukaan lahan baru untuk bertanam kopi tak lagi dibutuhkan. Melalui sistem tanam acak ini, diharapkan masa depan dan pola pikir petani di Desa Lencoh tak hanya berfokus pada pertanian sayur dan tembakau, ataupun mengandalkan hasil peternakan dan penginapan saja, tetapi juga dari perdagangan kopi liar yang menjadi jenama produk lokal desa.

Aset pariwisata lokal

Tanaman kopi liar penting untuk dikembangkan dalam perspektif keseimbangan ekosistem sekitar hutan sebagai bagian dari sirkulasi perekonomian lokal dalam kerangka budaya dan aset pariwisata agraris masyarakat petani dataran tinggi untuk meningkatkan akses pemasaran produk lokalnya.

Melalui sistem tanam agroforestri, di masa mendatang sangat memungkinkan terbukanya model pariwisata petik kopi keliling desa. Wisatawan tak hanya disuguhi dengan keindahan alam desa dan menyesap nikmatnya aroma kopi zaman Belanda saja. Dengan wisata petik kopi keliling, maka dapat menumbuhkan kedekatan dengan warga desa. Hal ini dapat terwujud apabila terjadi kerjasama antara petani, stakeholder, serta dukungan dari pemerintah daerah setempat.

Penyunting: Nadya Gadzali