Suku Batak dikenal sebagai etnis yang sangat suka bernyanyi. Bagi Suku Batak, pantang untuk melewatkan aktivitas bernyanyi. Fenomena bersenandung sebagai kebiasaan orang Batak tentu berkaitan dengan budaya yang selama ini tumbuh dan berakar. Terlihat dari banyaknya tradisi Batak yang mengharuskan masyarakatnya untuk bisa bernyanyi. Pada acara penting seperti pernikahan misalnya, ada satu momen di mana orang tua akan bernyanyi untuk anak mereka. Hal itu menjadi pelepasan berkat bagi anak mereka dan sekaligus ungkapan bahwa orang tua merestui dan memberangkatkan anaknya untuk menjalani bahtera rumah tangga.

Di upacara adat pemakaman, keluarga yang ditinggalkan akan bernyanyi sebagai ungkapan duka cita. Kemudian saat beribadah di gereja, bernyanyi menjadi suatu rangkaian ibadah para jemaat. Orang Batak juga memanfaatkan waktu luangnya untuk bernyanyi ketika berkumpul dengan keluarga maupun ketika bersama kerabat. Oleh sebab itu, kebiasaan bernyanyi orang Batak sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, tumbuh dan berakar dalam tradisi mereka hingga saat ini.

Masyarakat Batak Toba menerapkan kesenian vokal atau seni suara yang terbagi berdasarkan fungsi masing-masing. Pembagian seni vokal tersebut biasanya disebut dengan kata ende, yang berarti nyanyian atau lagu. Berbagai jenis ‘ende’mencerminkan beragam fungsi dan makna, baik dalam kehidupan sehari-hari mau pun dalam berbagai upacara adat. Ende mandideng misalnya, sebuah lagu yang digunakan pada saat meninabobokan anak. Lalu ada ende sipaingot, lagu ini berisi pesan untuk mengingatkan hal-hal baik.

Salah satu contoh penggunaannya pada saat seorang anak (putri) menikah dengan seorang pria. Orang tua mempelai perempuan akan menyanyikan ende sipaingot untuk putrinya. Kemudian ada ende pargaulan, lagu ini dinyanyikan ketika sedang berkumpul bersama teman-teman di waktu senggang. Ende tumba, lagu yang dinyanyikan sebagai pengiring tari-tarian. Ende sibaran, lagu untuk menyampaikan pesan ketika mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Ende pasu-pasu, lagu yang digunakan untuk penyampaian berkat. Ada pun ende hata, biasanya menggunakan lirik yang mengungkapkan perasaan dan dibawakan dengan pengulangan sehingga terkesan monoton. Terakhir ada ende andung, sebuah nyanyian ratapan yang dapat kita temui ketika seseorang meninggal dunia.

Dari semua jenis ende yang ada, ende andung dalam konteks kebudayaan Batak merupakan ungkapan belasungkawa. Andung adalah sebuah nyanyian ratapan, dibawakan untuk menyatakan kesedihan. Kerabat dekat mau pun keluarga yang ditinggalkan menyanyikan ende andung dalam peristiwa kematian. Lirik dalam ende andung biasanya berisi kata-kata yang menggambarkan perbuatan baik yang pernah dilakukan oleh almarhum (orang yang meninggal) semasa hidupnya. Diselipkan juga kata-kata yang menggambarkan kesedihan keluarga, penyesalan, rasa cinta, dan pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh orang yang ditinggalkan. Sebagai salah satu kesenian vokal masyarakat Batak, andung diturunkan secara turun-temurun dan pengguna andung tidak dibatasi oleh jenis kelamin atau usia, meski pada kenyataannya sering kali dipraktikkan oleh seorang perempuan.

Tidak ada aturan khusus mengenai lirik yang digunakan dalam andung. Pasalnya, ende andung merupakan ungkapan isi hati pribadi orang yang menyanyikannya. Andungdisampaikan sebagai sebuah tangisan dan melalui andung orang dapat merasakan kelegaan setelah menyampaikan perasaan mau pun pesan kepada orang yang meninggal. Praktik ende andung dianggap sebagai penghormatan terakhir terhadap mendiang. Meski pun telah tiada, masyarakat Batak Toba percaya bahwa arwah dapat mendengar pesan dalam andung.

Makna Simbolis Andung

Bagi masyarakat Batak Toba, andung bukan sekedar seni vokal yang dimainkan tanpa makna dan filosofi. Lirik yang jujur disampaikan saat melakukan andung. Lirik andung dapat membuat kita larut membayangkan hal-hal indah yang terjadi ketika mendiang masih hidup, terlebih lagi melodi andung yang bercampur dengan isak tangis memungkinkan pangandung (sebutan bagi seseorang yang sedang melakukan andung) dan pendengarnya hanyut dalam komunikasi emosional yang sangat dalam.

Andung mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Batak Toba serta menciptakan keterhubungan antara manusia dan kepercayaannya. Masyarakat Batak Toba memiliki suatu keyakinan tentang kematian. Mereka meyakini bahwa kematian tidak memisahkan mereka dari hubungan keluarga. Bagi Suku Batak Toba, ada suatu ikatan yang terjalin antara yang mati dan yang hidup.

Suku Batak Toba percaya bahwa yang mati adalah raga, bukan roh. Arwah (tondi) diyakini tetap hidup dan masih bersama dengan keluarganya. Mereka percaya bahwa tondi orang yang meninggal dapat memberkati mereka dan orang yang ditinggalkan tetap dapat berkomunikasi atau mengirimkan doa kepada arwah orang yang meninggal dengan harapan pesan tersebut sampai kepada Debata (Tuhan Sang Pencipta).

Suku Batak Toba mempunyai berbagai macam istilah untuk upacara kematian, antara lain upacara kematian anak dalam kandungan (mate bortian), bayi (mate poso-poso), anak remaja (mate bulung), anak dewasa yang belum menikah (mate ponggol), dan (saur matua) meninggal di saat sudah memiliki anak dan cucu.

Saat melaksanakan upacara pemakaman, makna simbolis andung sebagai sebuah tangisan juga terlihat jelas. Pangandung akan melakukan gerakan tangan yang teratur dan repetitif, mengarahkan tangannya dari arah orang yang meninggal menuju ke jantungnya sendiri. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk memperoleh berkat dari almarhum, baik untuk diri sendiri (si pangandung) maupun keturunannya. Gerakan ini disebut "mangalap tondi ninamate"atau "mangalap sahala ninamate." Proses ini dinilai sangat penting sebagai penyembuhan luka batin yang dialami si pangandung. Selain gerak tersebut, pangandung terkadang juga menyentuh wajah atau pipi orang yang meninggal, bergerak atau mengayunkan lengannya. Semua gerakan itu beserta tindakan lainnya merupakan bahasa komunikatif yang menyiratkan makna simbolis andung.

Dalam andung, pesan yang disampaikan tidak terbatas hanya untuk arwah mendiang. Orang-orang yang hadir dan mendengarkan tanpa disadari akan mengolah isi teks andungmenjadi sumber informasi bahkan dapat menjadi pesan. Misalnya, ada sebuah andungyang berisi teks begini “Oh anakku, kenapalah engkau tidak menuruti kata-kataku. Jangan membawa motor itu dengan kencang. Sekarang kamu telah pergi meninggalkanku. Siapa lagilah yang akan kunasehati. Aku merasa kehilangan.”Contoh teks andung tersebut, bagi yang mendengarkan, dapat menjadi bahan pertimbangan untuk berhati-hati ketika berkendara. Maka secara fungsi, andunglebih dari sekedar mengungkapkan emosi bagi si pangandung.

Andung di masa sekarang

Di era modern ini, penggunaan ende andung sudah jarang ditemukan pada upacara adat pemakaman. Dalam “Kesepadanan Andung-andung Batak Toba” (Silalahi dan  Purba, Jurnal Bahasa dan Seni, 2015) diungkap bahwa di daerah Balige dan Laguboti, orang yang masih mempraktikkan andung hanya tinggal beberapa saja, bahkan sudah lanjut usia (60 tahun ke atas). Jika ada orang berusia muda dapat melantunkan andung, biasanya mereka sudah meleburkan Bahasa Batak dan Bahasa Indonesia saat mangandung.

Gejala kepunahan andung dalam tradisi pemakaman Batak Toba sudah terlihat sejak tahun 2015, menurut hasil dari penelitian tersebut. Generasi muda yang notabene merupakan penerus tradisi andung tidak lagi melaksanakannya, bahkan masyarakat Batak Toba yang tinggal di kampung sekali pun sudah jarang mempraktikkannya. Ini juga berkaitan dengan penggunaan Bahasa Batak dalam komunikasi sehari-hari pada generasi muda. Penggunaan bahasa daerah sudah mulai tergerus akibat modernisasi dan gempuran teknologi yang semakin mudah diakses. Pada akhirnya, meneruskan budaya andung menjadi hal yang sulit dilakukan sekarang ini.

Kini, eksistensi andung dapat kita temui dalam konteks seni pertunjukan, bukan pada upacara adat pemakaman. Jika pun kita temui dalam upacara adat pemakaman, jumlahnya sudah tidak banyak, dan si pangandung pasti sudah berumur di atas 60 tahun. Jika kita masih menjumpai andung-andung digunakan pada acara pemakaman saat ini, biasanya pangandung sudah menggabungkan Bahasa Batak Toba dan Bahasa Indonesia sebagai teksnya.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, ende andung dianggap menarik untuk ditampilkan. Terbukti dengan eksisnya andung-andung pada wilayah itu. Misalnya, pada tarian kreasi Batak Toba yang terkenal “sipitu cawan”, andung digunakan sebagai pengiring tarian tersebut. Tari sipitu cawan merupakan salah satu tarian yang populer digunakan pada acara-acara hiburan atau kegiatan resmi kebudayaan. Andung mengambil peran penting dalam pertunjukan tari tersebut.

Kemudian, beberapa musisi dan seniman Batak Toba modern juga memasukkan unsur nyanyian andungke dalam karya mereka. Hal ini menciptakan perpaduan yang menarik antara tradisi dan inovasi dalam seni populer. Pada lagu Batak yang melankolis, penggunaan nada-nada andung diterapkan lantaran secara struktur melodi, andungmempunyai ciri khas yang kuat untuk menggambarkan kesedihan.

Tidak hanya sebagai pengiring tarian dan penggunaan andung dalam lagu Batak populer saja, ende andung juga banyak dikompetisikan sebagai perlombaan, baik di tingkat pelajar mau pun kategori umum. Artinya, ada usaha untuk melestarikan andung sebagai budaya Batak bagi generasi muda. Konsep revitalisasi juga sering dikemas melalui sebuah kompetisi, misalnya tahun 2019 di Kota Balige di mana Yayasan TB Silalahi Center mengadakan perlombaan mangandung tingkat pelajar.

Andung, sebagai nyanyian ratapan dari tanah Batak kini telah mengalami pergeseran dari fungsinya semula. Namun, andung atau yang lebih dikenal dengan sebutan andung-andung ini masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Batak Toba. Meski sekarang kita hidup di era modern yang dekat dengan kemajuan teknologi serta perubahan budaya yang begitu pesat, ende andung tetap berperan penting dalam menjaga jati diri dan identitas budaya Batak Toba.‌‌

Keterangan gambar: Gerichtsstätte der Batak bei Tomok, Samosir, Toba, Tbachner, 2006

Penyunting: Nadya Gadzali