Etnis.id - Virus Covid-19 (Corona) sedang melanda Indonesia. Beberapa daerah melakukan lockdown dengan meniadakan-meliburkan berbagai aktivitas demi menghambat persebaran virus itu.

Dalam jejak sejarahnya, jauh sebelum dunia informasi membanjiri manusia di hari ini, masyarakat Jawa melakukan mitigasi (yakni serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampaun menghadapi ancaman bencana) dengan melangsungkan ritus-ritus tradisi.

Manusia Jawa memiliki terminologi sendiri dalam menyebut berbagai penyakit masal yang melandanya, yakni “pageblug”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pageblug diartikan sebagai wabah penyakit atau epidemi.

Apapun jenis virus itu, asalkan berpotensi menjangkiti orang dengan jumlah banyak, maka dengan seketika disebut pageblug. Selain melakukan pengobatan semampunya, masyarakat Jawa menggelar ritual “tolak-bala” atau menolak segala jenis pageblug dengan ritus yang dipandang sakral dan wigati.

Ritual itu berwujud ruwatan, dapat berbentuk pertunjukan wayang, tarian, upacara adat, larung sesaji dan laku doa bersama. Dalam pertunjukan wayang kulit misalnya, seringkali hadir dengan ikhtiar “bersih desa”, yakni membersihkan desa dari segala macam penyakit.

Demikian pula dengan tari Seblang di Banyuwangi, atau larung sesaji di masyarakat pesisir pantai. Apabila dibaca lebih jauh, upaya yang mereka lakukan lebih dari sekadar urusan pemenuhan kelangsungan tradisi, tetapi lebih kompleks dari itu.

Ruwatan Sukerta menghadirkan wayang kulit dengan mengambil lakon-lakon khusus yang berisikan kekalahan makhluk jahat-raksasa (Bhatara Kala) oleh kebaikan.

Tjintarini lewat tulisannya Ruwatan Massal Melalui Wayang Kulit (2012) menjelaskan, dalam pertunjukan wayang itu disampaikan pula pesan-pesan pada masyarakat agar menjaga diri sebaik-baiknya dari segala hal yang menimbulkan sakit dan bencana.

Dalang dianggap sebagai sosok yang paling kompeten menyampaikan segala nasihat tentang cara menangkal pageblug. Apa yang disampaikan dalang, serupa dengan ajakan-ajakan yang megandung misi sakral, mendesak dan penting. Tidak jarang dalam konteks ini seorang ibu hamil meminta nama anak yang dikandungnya pada sang dalang agar terhindar dari pageblug.

Juga bagi anak bayi, sang ibu akan mendatangi gong (instrumen musik paling besar) yang sebelumnya telah diberi rupa-rupa sesaji, menyentuh gong itu, memejamkan mata sekaligus merapal doa sebisanya, kemudian tangan itu diusapkan ke wajah anaknya. Semua dilakukan demi membentengi diri dari keburukan.

Laku ritual yang demikian, tidak terkecuali tari-tarian tradisi (baca: Seblang) dan larung sesaji, adalah sebentuk upaya menguatkan diri. Terlepas efek magis yang dikandungnya, ritual-ritual itu memberi semangat baru agar manusia kembali menjalani hidup dengan lebih berani dan tetap mawas diri.

Keberanian menjalani hidup dengan optimis di tengah wabah penyakit atau pageblug itu penting, sebab otomatis meningkatkan sistem imun dalam tubuh. Karena itu, tidak sedikit yang mempercayai bahwa setelah ritual-ritual itu dilangsungkan, hati menjadi lebih tenang dan damai.

Ironisnya, selama ini kita cenderung memandang ritual tolak bala tersebut dalam kacamata konfliktual, dibenturkan dengan dogma-dogma religius keagamaan yang cenderung menempatkanya pada posisi marginal (haram).

Padahal ritual yang demikian berguna dalam misi komunikasi sosial, menyatukan dan saling menguatkan di tengah ketakutan akibat wabah. Setidaknya, adanya ritual tersebut menunjukkan bahwa kita tidak sendirian menghadapi pageblug. Diperlukan gotong-royong atau bekerja bersama dalam menghadapi bencana.

Ritual tolak-bala semakin kehilangan eksistensi, tak banyak dihadirkan karena dianggap sudah tak selaras pula dengan zamannya. Manusia di abad kiwari lebih mempercayakan segala keingintahuannya pada “dunia daring” dengan lalu-lintas informasi yang seringkali tidak terkontrol dan meyesatkan.

Akibatnya, ketakutan terjadi secara massal dan masif. Kejadian wabah di kota merangsek menjadi momok di pelosok desa. Tidak ada penguatan dan kontemplasi dalam menyikapi semua itu.

Akhirnya, kearifan lokal menjadi penting dan mendesak dikukuhkan kembali, setidaknya menjadi pegangan transendental manusia Jawa dalam melepaskan segala ketakutan dan kepanikan.

Hari ini, akibat pageblug bernama Covid-19, kita tersadarkan bahwa nilai-nilai empati dan ketenangan diri sebagai manusia Jawa semakin luntur. Kita menyikapinya tergesa-gesa, bahkan cenderung gagap, dengan memborong bahan makanan sebanyak-banyaknya, menghindari bertegur sapa, menaruh curiga pada orang lain, dan segala hal yang terkesan banal.

Tradisi sebenarnya telah mengajarkan kita tentang kearifan diri, melawan pageblug tidak dengan ketakutan, tetapi penguatan pada “energi spiritual” yang berujung semangat dan peningkatan imun tubuh. Ritus tolak balak sebenarnya hanya simbol, yang menunjukkan bagaimana kuatnya manusia Jawa menghadapi segala cobaan.

Narasi yang demikian diwujudkan atau dikukuhkan dengan menggelar berbagai ritus yang bertema “ruwatan”. Bahkan dalam pertunjukan wayang kulit, lakon-lakon yang disajikan juga khusus (baca lakon Murwakala).

Pageblug, selain berpotensi menjadi bencana, juga menumbuhkan sisi kreatif bagi masyarakat Jawa untuk melahirkan berbagai atraksi kesenian (juga upacara tradisi) yang bertema tentangnya.

Bagi masyarakat Jawa, pageblug memang menakutkan, tapi tetap memberi mereka kesadaran dan kemawasan diri lewat laku ruwatan. Bagaimanapun juga, pageblug tidak hanya dapat dilawan dengan obat-obatan, tetapi juga “siraman spiritual” sebagai bekal menjaga batin tetap kuat.

Ruwatan-ruwatan itu menjelma tidak saja sebagai laku religius ala orang Jawa, tetapi berpendar menjadi “pertunjukan” yang menghibur, bahkan tidak jarang membuat tertawa (lakon wayang: gara-gara). Hal itu menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gersang dan panasnya kemelut berita tentang Covid-19.

Makanya, tak ada salahnya kita kembali kontemplasi untuk menyadari betapa pentingnya laku tradisi dalam memberi makna bagi kehidupan kita. Tak terkecuali untuk urusan pageblug.

Editor: Almaliki