Etnis.id - Terdiri dari sekitar tujuhbelas ribu pulau dan dihuni lebih dari seribu suku. Indonesia menjadi negara yang kaya ragam budaya. Salah satu produknya adalah permainan tradisional atau permainan rakyat.

Hampir setiap daerah di Nusantara memiliki permainan tradisional. Ironisnya, seiring kemajuan zaman dan teknologi, banyak permainan yang tidak dikenal, apatah lagi dimainkan bersama. Problem lainnya, jenis-jenis permainan tradisional di sejumlah daerah banyak yang tidak sempat didokumentasikan atau diinventarisasi.

Pemerintah Pusat, melalui UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, telah menetapkan 10 objek pemajuan kebudayaan. Permainan rakyat termasuk satu dari sepuluh objek tersebut. Artinya telah ada payung kebijakan untuk melestarikan-mengembangkan permainan tradisional di masyarakat. Tinggal bagaimana setiap pemerintah daerah mengimplementasikannya di daerah masing-masing.

Provinsi Lampung yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera dan jaraknya kurang dari satu jam dari ibukota negara (via pesawat dari bandara
Soekarno Hatta di Provinsi Banten), juga memiliki permainan tradisional.

Merujuk beberapa literatur lama, permainan tradisional di Lampung ternyata jumlahnya puluhan. Cukup mengejutkan bagi mereka yang belum mengetahuinya. Mayoritas nama permainan itu dalam bahasa Lampung.

Beberapa polanya mirip permainan yang sudah dikenal secara nasional, seperti patok lele, petak umpet, atau egrang. Jenis permainan ada satu lawan satu, ada juga dalam kelompok-kelompok kecil.

Satu literatur mencatat 22 jenis permainan rakyat Lampung, antara lain: taplak sukhung, ketekhan, sundung khulah, setayakhan sinjang, sepatu batok, lapah panjang, bintang malileh, tapak kawai, dan lainnya.

Masing-masing dilengkapi latar belakang dan seluk-beluk permainan, jumlah pemain, alat yang digunakan, ilustrasi sederhana tentang cara bermain, juga informan permainan.

Permainan tradisional itu sekian tahun lalu sempat hidup dan berkembang di banyak tempat di Lampung, seperti: Menggala, Panaragan, Kotabumi, Mesuji, Kerta, Blambangan Pagar, Krui, Terbanggi Besar, Gunung Sugih, Sukadana, Padang Ratu, Kota Agung, Talang Padang, Pagelaran, Pardasuka, Kedondong, Ketibung. Menilik sebarannya, hampir merata di daerah Lampung.

Satu literatur lainnya, memilah permainan tradisional di Lampung menjadi tiga segmen: untuk anak-anak, untuk remaja, dan orang dewasa. Permainan untuk anak-anak seperti: pacet, jelentik, bandar, cam-cam bukur, taplak kuping, bandil/betet, yasut, tanding nyelom, tanding nangui, khakhanduan, cukut pancung dan lainnya; permainan remaja: Sasiahan muli mekhanai, nabuh kelekup, sasuakhian; permainan untuk kalangan dewasa: Tetuanan dan tukokh/tukokh lelok.

Sumber lain mendata setidaknya delapan permainan: pacok kayu, ondom akhul, babedil, taji, dan lainnya. Dalam buku terbitan lama itu juga memuat tata cara bermain, foto perlengkapan permainan, juga sebarannya di Lampung.

Inventarisasi atau pencatatan permainan tradisional Lampung itu dilakukan akhir tahun 70-an hingga awal 80-an. Seluruhnya menggunakan mesin tik dan dikliping sederhana. Menilik peralatan atau perlengkapan permainan, tidak sulit didapatkan. Hampir semuanya tersedia di alam dan tanpa harus membeli, misalnya: bambu, batok kelapa, bebatuan kecil, kaleng bekas, potongan kayu, dan lainnya.

Setelah empat dekade, permainan tradisional sudah terdesak oleh kehadiran permainan modern yang datang dari luar negeri. Akibat yang paling sederhana, nama-nama permainan tradisional nyaris tidak terdengar dan tidak diketahui lagi.

Empat dekade lalu pula, para pengumpul data dan informan sudah memprediksi kemungkinan sekian tahun ke depan permainan tersebut hilang. Prediksi itu pun telah terbukti.

Masa kanak-kanak adalah masa bermain. Anak-anak era milenial saat ini nyaris tidak mengenal lagi permainan tradisional yang tidak mengeluarkan
biaya, juga tidak berbahaya.

Di zaman ketika segalanya serba mudah dan praktis, mereka lebih akrab dengan game online atau offline. Cukup dengan kuota atau sinyal wifi, sudah bisa bermain. Mata mereka bisa berjam-jam menatap layar gawai atau monitor komputer.

Kerap terdengar atau terbaca keluhan-kebingungan orangtua tentang dampak buruk yang ditimbulkan game modern terhadap perilaku anak mereka. Anak-anak jadi lupa waktu, lupa belajar, lupa mandi, abai bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, jarang bermain bersama teman sebaya. Andaipun mereka berkumpul, semua asyik dengan gawai masing-masing.

Permainan modern membuat anak-anak teralienasi dari lingkungan sekitar. Kelak, cepat atau lambat, itu akan berdampak negatif bagi masa depan mereka. Anak-anak, tanpa disadari, sedang dibentuk menjadi generasi yang apatis, individualistis, dan egois.

Anehnya, tidak sedikit orangtua yang justru memfasilitasi dengan dalih bahwa anak-anak mereka lebih aman jika berada di dalam rumah. Memang permainan modern tidak berbahaya secara fisikal, namun secara pikis jelas berdampak negatif bagi anak-anak.

Secara tidak langsung, keputusan “merumahkan” anak-anak dan melengkapinya dengan fasilitas yang memudahkan, justru menjadi semacam “virus” bagi
tumbuh kembang anak.

Permainan tradisional sifatnya bukan sekadar rekreatif atau hiburan semata. Banyak dampak positif, unsur edukatif, dan nilai-nilai moral di dalamnya. Selain tubuh aktif bergerak, terjalin interaksi langsung antarsesama pemain, melatih keterampilan dan disiplin, kecepatan dan ketangkasan, anak-anak berkompetisi dengan sportif dan fair, juga melatih kekompakan antarpemain dalam berkolaborasi meraih tujuan (kemenangan) bersama.

Beberapa tahun belakangan, komunitas-komunitas di sejumlah daerah yang fokus pada permainan tradisional dan peduli pada tumbuh kembang anak, gencar mengupayakan reaktualisasi permainan tradisional. Upaya tersebut dilakukan sebagai langkah membentengi dampak negatif teknologi modern bagi anak-anak.

Langkah ini mestinya bisa dilakukan merata di seluruh daerah di Indonesia, dan pemerintah daerah turut berperan. Sejak UU Pemajuan Kebudayaan ditetapkan, sudah sejauh mana sosialisasi & implementasi permainan tradisional di Lampung?

Makin banyakkah masyarakat Lampung yang (minimal) tahu tentang ragam permainan tradisional di daerahnya? Apakah permainan tradisional itu, misalnya, sudah familiar-digalakkan di institusi-institusi pendidikan atau menjangkau hingga ke pelosok desa? Atau, jangan-jangan, justru sebaliknya.

Idealnya, tiga sumber literatur di atas dapat diterbitkan ulang dan disebarluaskan oleh pemerintah Lampung atau lembaga berwenang. Berikutnya, pemerintah melalui dinas-dinas terkait dan masyarakat melalui komunitas-komunitas dan lembaga non-pemerintah, melakukan gerakan reaktualisasi, mengenalkan-menerapkan kembali permainan rakyat Lampung.

Bukan hanya berpangku tangan “menunggu bola” dari pemerintah pusat melalui program lomba permainan tradisional yang merupakan rangkaian festival berjenjang daerah-nasional, namun harus pro-aktif & inisiatif melakukan upaya reaktualisasi, juga kreatif-inovatif menyebarluaskan permainan tradisional Lampung di kalangan pelajar dan masyarakat.

Jika UU Pemajuan Kebudayaan dan implementasinya di masyarakat Lampung masih seperti panggang yang jauh dari api, niscaya nasib permainan tradisional Lampung tidak lebih dari arsip catatan sejarah.

Editor: Almaliki