Selama ini, wayang kulit senantiasa diidentikkan dengan dua epos besar, yakni Mahabarata dan Ramayana. Walaupun kedua epos agung itu telah mampu menyatu dengan pelbagai kekuatan tradisi di Jawa, ditandai dengan munculnya tokoh dan lakon-lakon yang melokal (baca: Punakawan), namun harus jujur diakui bahwa Mahabarata dan Ramayana lahir di tanah India.

Wayang memang telah memberi arti penting bagi eksistensi kebudayaan di Indonesia dan Jawa pada khususnya. Hal itu dikukuhkan oleh UNESCO pada 7 November 2003, bahwa wayang adalah warisan budaya tak benda yang mengagumkan (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Kisah-kisah wayang mampu membawa pengembaraan imajinasi penontonnya ke alam lintas batas. Bagaimana mungkin lewat kelir yang serba putih, penonton diajak bertandang ke kerajaan Hastina Pura yang megah itu?. Tentu saja, kemegahan itu hanya ada dalam imajinasi masing-masing penonton yang boleh jadi, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, pertunjukan wayang memberi kebebasan untuk berimajinasi secara liar, namun tetap mengagumkan.

Masyarakat Jawa mengenal sosok dan tokoh-tokoh wayang melebihi kuasanya sebagai narasi fiktif yang agung. Nama-nama pemuda-pemudi di Jawa kemudian bercitarasa wayang. Sebutlah misalnya, Yudhi yang berasal dari Yudhistira (kakak tertua Pandawa yang terkenal paling jujur), Parto yang berasal dari kata Partha (nama lain dari Arjuna), Tetuko (nama lain dari Gatutkaca), Bima, Sinta, Srikandi, dan lain sebagainya.

Bahkan pada suatu ketika, Slamet Gundono harus mendapatkan perlakuan kurang istimewa pada Festival Greget Dalang di Solo tahun 1995. Ia sengaja membikin sosok lima Pandawa mati. Hal itu membuat penonton yang memadati arena pertunjukan berteriak histeris memprotes kelakuannya. Gundono dianggap merusak pakem pewayangan, di mana tokoh utama (Pandawa) haruslah selalu menang dan hidup bahagia selamanya.

Sebegitu besarnya kuasa lakon wayang dalam struktur kehidupan manusia di Jawa dan menyebabkan wayang bukan sekadar permainan boneka yang sarat simbol, melainkan narasi tentang denyut hidup kebudayaan Jawa itu sendiri. Tetapi zaman terus bergerak, eksistensi wayang sayup-sayup mulai mengalami kebangkrutan. Hal itu ditandai dengan semakin sempitnya ruang-ruang kosong untuk panggung pementasan, tergerus dengan gedung-gedung bertingkat.

Generasi yang mendamba keringkasan dan kecepatan, tak betah berlama-lama menonton pertunjukan wayang semalam suntuk. Belum lagi persoalan bahasa yang terlalu berjarak, saat sebuah generasi telah menemukan kebaruan komunikasi yang intens dan unik (bahasa gaul-alay), dihadapkan dengan bahasa Jawa yang strutural dan privat. Hal itu menjadi tantangan bagi nasib hidup wayang ke depan, sehingga dibutuhkan gebrakan berisi formulasi ideal dalam bentuk temuan-temuan baru gaya pertunjukan yang sarat kreativitas.

Pada konteks inilah Bagus Baghaskoro (dalang muda asal Solo) bersama komunitas Saba Nusa menawarkan alternatif pementasan wayang dengan menampilkan satu genre tontonan yang sinematik. Tontonan itu mengemas pemanggungan wayang yang lebih segar dan greget.

Pementasan Wayang Sinematik/ Aris Setiawan

Boneka-boneka wayang disuguhkan dengan hanya bayangannya saja, sebagai upaya memberi kebebasan imajinasi bagi penonton dalam mempersepsikan bentuk dan wajah wayang sesuai keinginannya. Lewat bayangan itu, karakter wayang lebih mudah dieksplorasi dengan memainkan gerakan menjauh dan mendekat dari sumber cahaya, sehingga memunculkan pelbagai kesan unik. Membesar-mengecil, wigati dan gecul, sebagaimana anak kecil memainkan jari-jari tangannya di depan lilin saat lampu padam. Bayangan jari tangan itu dengan seketika menjadi kupu-kupu, burung bahkan ular.

Di Balik Bentangan Kelir, Karakter Wayang Lebih Mudah Dieksplorasi/ Aris Setiawan

Percapakan antar tokoh wayang dilakukan dengan bahasa Indonesia (lazim dikenal dengan nama sandosa), agar pesan yang hendak disampaikan mudah ditangkap. Lebih penting dari itu semua adalah kemasannya yang dikolaborasikan dengan unsur-unsur sinematik selayaknya film animasi. Tiba-tiba layar putih kelir itu berubah menjadi warna merah menyala, berkorbar api, busur-busur panah pun beterbangan saat peperangan terjadi.

Musik dibunyikan dengan garapan baru, memadukan gamelan dengan pelbagai genre bunyi untuk menguatkan nuansa adegan-adegan tertentu. Semua dibungkus dengan gaya kekinian, namun tidak meninggalkan akar tradisinya, semata agar generasi mutakhir tertarik dan tak lagi abai. Wayang sinematik itu semakin hari menemukan urgensinya untuk terus digelar. Ditandai dengan permintaan pementasan yang silih berganti.

Riset dan Sejarah

Tontonan wayang sinematik berjudul Shri Rajasa Sang Amurwabhumi itu dipentaskan di Malang dan Kediri pada 4-6 Desember 2020. Uniknya, lakon yang dibawakan tidak lagi berkisah tentang Ramayana dan Mahabarata, melainkan perjalanan Ken Arok hingga menjadi raja di Tumapel.

Bagus Baghaskoro memang mengarahkan fokusnya ke arah lakon-lakon pembentuk peradaban Nusantara. Ia berpandangan bahwa Indonesia memiliki banyak lakon-lakon lokal yang selama ini hanya membeku dalam buku-buku pelajaran. Kesempatan itu datang dengan mengangkatnya ke dalam pertunjukan wayang sinematik.

Namun, untuk sebuah pertunjukan, menarik atau menghibur saja tidak cukup, tetapi juga mencerdaskan. Oleh karena itu, sebelum digelar, ia melakukan riset yang panjang agar lakon yang disuguhkan sesuai dengan realitas fakta sejarah yang sesungguhnya, paling tidak, mendekati kebenaran.

Sebelum Menyuguhkan Lakon Wayang, Bagus Baghaskoro Melakukan Riset yang Panjang/ Aris Setiawan

Kisah perjalanan Ken Arok misalnya, ia menggandeng tiga sejarawan dari tiga kampus besar sebagai konsultan. Hal itu ia lakukan agar informasi yang sampai pada penonton tidak menyesatkan, sekaligus mendekonstruksi pengisahan serupa di media elektronik (televisi) yang cenderung banal akibat sekedar mengejar sensasi.

Wayang sinematik telah berhasil menjadi sajian baru yang layak diapresiasi. Setidaknya, menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gersang dan jemunya pertunjukan wayang pada umumnya. Dengan demikian, ke depan kita akan mudah menapak tilas leluhur kita dengan menyaksikan wayang sinematik berlakon Nusantara.

Setidaknya hal itu menjadi penting sebagai upaya mengingat tentang siapa dan dari mana kita berasal, di balik kian masifnya upaya memutus tali sejarah bangsa ini dengan pelbagai bentuk dan wujudnya, tak terkecuali berkedok agama.

Penyunting: Nadya Gadzali