Wanalas masuk ke padepokan dengan dua orang anak kecil di sisinya, satu perempuan dan satunya laki-laki. Langkahnya mantap meski tak bersandal. Ia berjalan sebelum azan salat Jumat berkumandang, di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Matanya tertuju padaku yang duluan sampai di padepokan Dayak Losarang pada 20 November 2020. Ia menyilakanku duduk di pendopo, tempat orang Dayak Losarang menerima tamu. Di pendopo, Wanalas bersama kawan-kawannya biasa bertapa dan berkumpul bersama penganut aliran kebatinan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu.

Model padepokannya seperti yang terdapat dalam film kolosal di televisi. Di dindingnya, banyak ukiran karakter pewayangan Jawa. Sementara di tempat mereka bersemedi, di sebuah gedung kecil mirip musala, terukir relief ular dengan hiasan di kepalanya. Di pintu kayu gedung kecil itu ada gambar ukiran dua perempuan berambut panjang bak dewi.

Salah Satu Relief yang Terukir di Pendopo Padepokan Dayak Losarang Indramayu/ Almaliki

Wanalas berumur 70, berbadan gempal dan berambut putih gondrong. Acak-acakan. Orang yang tak tahu tentangnya, pasti menudingnya orang aneh. Ia sudah duduk bersila sambil mengapit rokok tanpa filter. Di depannya tersedia asbak. Fiuh, ia mengembuskan napasnya sekali dan menyeruput kopi hitam yang sudah disuguhkan.

"Jadi mau ngomong apa ini, nang (senang; bahasa Dermayon, bukan Jawa, yang artinya sapaan buat lelaki muda)," terangnya pada kami. Ia tersenyum. Kami disambut hangat siang itu. Wajahnya kecoklatan lantaran sering diterpa matahari. Ada pula sodetan berukuran panjang di dekat matanya dan itu membuat dagingnya tampak. Merah.

Wanalas Saat Ditemui di Pendopo Padepokan Dayak Losarang Indramayu/ Almaliki

Gigi atas Wanalas sudah nyaris habis, tampak jelas saat berbicara. Sementara gigi bawahnya entah berapa. Kumis putih Wanalas jarang-jarang, panjangnya melewati bibir. Janggutnya juga panjang terurai.

Wanalas dan Filosofi Dayak Losarang

Wanalas menjadi pengikut pertama pemimpin Dayak Losarang, Ki Takmad Diningrat, saat Dayak Losarang belum seperti sekarang. Wanalas masuk tahun 1975, saat Dayak Takmad masih menjadi perguruan silat khas Indonesia, bernama Silat Serbaguna.

Sejarah singkatnya begini, melalui jurnal yang ditulis Tarsono, dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, soal Dayak Losarang, disebut bahwa Dayak Losarang dimulai dari Paheran Takmad Diningrat Gusti Alam. Dulunya, sebelum muncul Dayak Losarang, Ki Takmad berperan sebagai guru pencak silat sekaligus pemilik padepokan.

Ki Takmad konon jago silat dan dikenal sebagai dukun sakti yang masyhur di Indramayu. Pada waktu itu, sekitar tahun 1990 di Desa Krimun, ada dua dukun yang terkenal, yang pertama bernama Ki Takmad dan yang kedua Ki Karma. Keduanya disegani masyarakat Losarang dan sekitarnya. Meski dicap sebagai "orang pintar", Ki Takmad baik dan bijaksana.

Nama lengkap Ki Takmad adalah Paheran Takmad Diningrat Gusti Alam. Ia lahir pada tanggal 10 Oktober 1940, di Desa Malang Semirang Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu. Pada usia 14 tahun, ia menjadi anak yatim piatu. Hidupnya berubah sejak diasuh oleh kakeknya yang bernama Ki Darwi.

Ki Darwi hidup sebagai “orang pintar” dengan menguasai ilmu kesangyangan. Jamak diketahui, biasanya “orang pintar” akan menurunkan ilmunya sebelum ia meninggal. Hal itu terjadi pada Ki Darwi yang ingin mewariskan ilmunya kepada Ki Takmad.

Dimulailah ritual pada suatu malam Jumat Kliwon. Konon, Ki Takmad diikat dan dilipat dengan kain kafan dan dimasukan dalam sebuah lemari selama tujuh malam. Selanjutnya, Ki Takmad diharuskan menghisap asap nasi yang baru matang dan air tajin. Usai ritual, Ki Takmad berubah menjadi sakti.

Setelah memegang ilmu itu, pada usia 15 tahun, Ki Takmad memilih bekerja sebagai kuli pelabuhan yang berpindah-pindah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Selama menjadi kuli, ia belajar ilmu bela diri di beberapa tempat yang disinggahinya.

Ketika kembali ke daerah asalnya, Jatibarang, Ki Takmad menyunting seorang gadis bernama Sarinih (Sarini Nyi Ratu Giri Warna) dari Desa Krimun. Dari hasil pernikahannya, Ki Takmad dikaruniai 11 orang anak. 6 di antaranya telah meninggal terkena serangan penyakit. Kini Ki Takmad hidup bersama istri dan 5 orang anak yaitu, Darto Suhendra, Syarifudin, Dewi Mustika Ratu, Nuryati dan Sri Penganten Gumilang Sari, serta dikaruniai empat cucu.

Waktu berlalu, Ki Takmad mendirikan perguruan yang mengajarkan ilmu kanuragan dengan nama Silat Serbaguna (SS) pada tahun 1974. Kata serbaguna diartikan sebagai ilmu yang dipelajari untuk mendapatkan pengasihan, rezeki, disegani, pelaris, serta untuk mengobati penyakit jasmani dan rohani.

Silat berjalan tak sesuai harapan. Anak didik Ki Takmad berubah menjadi sombong karena merasa mampu berkelahi. Beberapa dari mereka menyimpang dari aturan perguruan, seperti gemar berjudi, mabuk, main perempuan dan mengajak kelompok silat lain untuk berkelahi. Tidak betah, Ki Takmad pun membubarkan SS.

Pernah juga, Ki Takmad bertingkah bak Robin Hood. Ia mengumpulkan maling untuk mencuri. Hasil perbuatan itu, diberikan kepada rakyat miskin atau yang kekurangan makanan. Perkumpulan maling-maling ini kemudian disebut dengan Maling Guna.

Hari-hari berlalu, perguruan silat serbaguna (SS) bersalin nama. Ki Takmad mengubahnya menjadi perguruan Pencak Silat Jaka Utama pada tahun 1976 yang berguna untuk memperbaiki moral masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan. Pada satu waktu, Ki Takmad bertapa selama 4 bulan di rumahnya, hingga pada malam tanggal 19 November 1996, Ki Takmad mendapat ilham bahwa di tanah Jawa, tepatnya di tanah Indramayu, akan terjadi goro-goro atau perang saudara dan mengakibatkan banjir darah.

Ilham tersebut dianggap sebagai awal dari lahirnya sejarah Jawa. Selepas mendapat ilham, akhirnya Ki Takmad, mengganti Jaka Utama menjadi Gelaran Alam (sejarah adanya manusia) yang saat ini disebut dengan Komunitas Suku Dayak Losarang Indramayu, atau disebut juga dengan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu.

Ki Takmad mengganti Jaka Utama menjadi Gelaran Alam yang Saat Ini Disebut dengan Komunitas Suku Dayak Losarang Indramayu)/ Almaliki

Komunitas Suku Dayak Losarang Indramayu bukanlah etnis. Suku diartikan sebagai kaki, maksudnya adalah manusia berjalan dan berdiri di atas kaki mereka sendiri. Sementara Dayak berasal dari kata ngayak yang artinya menyaring berbagai pilihan benar atau salah yang ada di hadapan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Hindu ialah rahim atau mengandung. Maksudnya, setiap manusia dilahirkan dari kandungan seorang ibu. Selain itu, mengingatkan setiap manusia akan besarnya peranan perempuan. Sedangkan Budha (wuda) yang berarti lahir atau ketika dilahirkan, tidak memakai apa-apa. Artinya,manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang yang seharusnya penuh dengan kejujuran dan menyatu dengan alam.

Ajaran utama Komunitas Dayak Losarang ialah pendalaman Alam Ngaji Rasa, yakni konsep hidup yang meneladani tokoh pewayangan. Dianggap sebagai anggota Dayak Takmad dan sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. "Saya masuk di sini tahun 1975. Awalnya saya menjalankan perguruan silat Seniman Serbaguna," terang Wanalas.

Waktu itu, anggotanya masih sedikit. Wanalas termasuk orang yang berani karena memilih jalan hidup sebagai anggota Dayak Losarang. Wanalas bahagia saja, walau belakangan, saat Dayak Losarang terbentuk, ia dan kawan-kawannya kerap dicemooh dan dianggap gila. "Ya, kalau orang tidak mengenal saya, saya dianggap gila," ujarnya tertawa.

Soal mandi dan bersih-bersih, Wanalas menjawab sama seperti orang-orang pada umumnya. Wanalas dan kawannya terkadang berendam di kolam yang ada di padepokan. Berendamnya pun mengandung filosofi. Ia ingin merasakan tubuhnya terrendam di dalam air untuk waktu yang cukup lama, sekira 6 jam, dari pukul 00.00 hingga pukul 06.00 pagi. "Aku itu lepas sandal untuk merasa, gimana sih gak pakai sandal siang bolong, kena panas. Hal itu menguji diriku sendiri. Itu cukup bisa melatih kesabaran."

Anggota Dayak Losarang terbagi tiga: Preman, golongan, serta Dayak pedalaman. Preman itu masih mengenakan baju. Simbolnya, mereka pakai gelang sama seperti yang dipakai Wanalas. "Gelangku ini ada tiga bambu. Pertama bambu kuning, bambu wulung, buah hanjeli."

Golongan, memakai pakaian hitam-hitam, dan itu sudah tersebar di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Terakhir, Dayak pedalaman. "Inilah yang paling susah, karena harus mengatur nafsu duniawi. Tidak pakai baju, tidak pakai sandal, tidak makan produk hewani, bercelana hitam dan putih."

Soal celana hitam dan putih yang nyentrik itu, orang Dayak Losarang percaya, bahwa sebelum Indonesia merdeka, terkhusus pada masa pendudukan Jepang, itulah bendera pertama yang digunakan oleh Hindia Belanda. "Aku itu nang, yang aku takuti itu bukan polisi dan lain-lain, tapi salah." Wanalas dan anggota lain dari Dayak Losarang berprinsip tak ingin mengganggu orang. Nafsulah, katanya, yang banyak membuat orang tersesat dan mempunyai masalah.

Saat masuk perguruan silat Jaka Utama sampai 1996, Wanalas masih memakai baju. Belakangan, pada tahun 1997, ia mulai bertelanjang dada ke mana-mana demi belajar sejarah Alam Ngaji Rasa. Katanya, itu adalah ilmu tertinggi dari Dayak Losarang. Bayangkan, saat sinar matahari siang menerpanya, di situlah kesabaran diuji. Wanalas dan anggota lainnya harus tahan dengan keadaan. "Semakin lama, kita jadi diajar sabar. Itu melatih saya pribadi, tentang sampai mana kekuatan saya."

Ikat rambutnya dilepas. Kepalanya digeleng-geleng, rambutnya dibiarkan tergerai. Wanalas menjelaskan, mengapa ia harus berambut gondrong, seperti teman-temannya. Itu bukan gaya atau tren yang berkembang, melainkan ajaran yang penuh filosofi. Rambutnya enggan dipotong sebab kasihan. Ia ingin memanjangkannya saja, membiarkan ciptaan Tuhan itu tumbuh dengan sendirinya. "Kasihan rambut ini kalau dipotong".

"Petruk dadi (jadi) ratu," ia menunjuk satu relief yang melekat di tembok padepokannya. "Semua orang mau jadi ratu, nang. Itu makanya istriku kujadikan ratu, anak-anakku juga".

Relief Bala Korawa yang Melekat di Pendopo Padepokan Dayak Losarang Indramayu/ Almaliki

Bagi anggota Dayak Losarang, tak boleh ada kekerasan dalam rumah tangga. Dalam filosofi Alam Ngaji Rasa, anggota Dayak Losarang diwajibkan menghormati istri dan takut kepada anak. Tidak boleh memarahi anak, sebab ia kasihan, masa setelah terlahir di dunia, atas kehendak orang tuanya yang didasari cinta, kemudian hasil cintanya membuatnya marah. "Aneh, kan."

Agama

Cucu Wanalas yang memakai kerudung berwarna pink memanjat ke atas pohon mangga. Ia bermain-main dengan kakaknya. Di atas pohon mangga ia bersalawat dengan nyaring. Wanalas masih mengisap rokoknya, asapnya diembuskan pelan-pelan sambil melihat dua cucunya bergelantung di ranting pohon mangga yang tipis. Mereka berayun-ayun.

Bagaimana Dayak Losarang memandang agama?. Kata Wanalas, kelompoknya membebaskan orang-orang untuk memeluk agama sesuai yang mereka yakini. Wanalas tidak memeluk agama tertentu dan tidak punya KTP. Meski begitu, ajaran dari agama itulah yang ia pegang teguh. "Sama aja kok. Ajarannya kan menyuruh untuk tidak ganggu orang," ujar Wanalas dengan mantap.

Kendati tak pernah berniat mengganggu, Dayak Losarang pernah juga dikecam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengawas Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Pakem). Pada 2017 lalu, MUI Indramayu menjatuhkan vonis sesat pada Dayak Losarang lantaran menganut Alam Ngaji Rasa yang dipandang tidak Islami.

Meskipun mendapat stempel buruk dari MUI dan Pakem, orang Dayak Losarang tak pusing. Alasannya, perbuatan yang dilakukan orang Dayak Losarang adalah keyakinan. "Keyakinan itu tidak bisa dipaksakan karena merupakan hak asasi manusia (HAM)," beber Pimpinan Dayak Losarang, Paheran Takmad Diningrat, dilansir Antara.

Dayak Losarang juga tak pernah menyuruh orang lain untuk masuk dan bergabung dengan mereka. Tak boleh ada tekanan untuk bergabung. "Paling penting, kami itu harus tahu antara benar dan salah, antara untung dan rugi," tuturnya.

Agama bukanlah sesuatu yang membuat Dayak Losarang harus condong ke sana atau ke sini. Ia merasa semua manusia sama saja. Meski begitu, ia berterima kasih, karena mereka masih bisa mengambil nilai baik dari agama itu sendiri. "Inti ajaran agama harus kami patuhi dan kami pedomani dalam hidup."

Wanalas menilai sudah banyak orang melihat kebenaran dari agama, bukan pada sikap."Buat apa kalau tidak benar?", ia berujar. "Kalau saya tidak memeluk suatu agama, apa sih salahnya? Pertanyaan gampang kok. Ada yang bisa jawab tidak?", lanjutnya lagi.

Mereka kerap dicap tidak seperti masyarakat umum, seperti tidak mengenakan helm dan baju saat berkendara. Masalah semacam itu diselesaikannya. "Aku tidak mengganggu orang kok. Kalau tidak mengganggu, masa aku mau dilarang?", terang Wanalas.

"Aku berkali-kali ketemu aparat dan pemerintah, aku jelasin bahwa kami tidak mengganggu. Kami selalu menghormati orang lain. Apa kami marah dituding ini itu? Tidak." Kini, orang-orang Dayak Losarang lebih banyak bergelut dengan dirinya sendiri sambil tak lupa membela orang-orang kecil yang tertindas di Indramayu. "Hidup kami sudah jalannya begitu," tandasnya.

Istri orang Dayak

Kali ini dari Tasmiah yang kutemui di Kecamatan Jatibarang, Desa Pawidean. Menurutnya, tidak ada paksaan atau aturan apapun, seperti ia harus bekerja, memasak dan lain-lain. Sebagai istri angota Dayak Losarang, ia hanya diminta menerapkan ajaran Ngaula Ning Anak Rabi yang dipercaya oleh Dayak Losarang. Isinya, seorang istri harus bisa mengimbangi dan bergotong-royong dalam mengurus rumah tangga. "Kita diminta meneladani tiga aspek yaitu benerana, jujurana, sabarana yang artinya kita dituntut untuk berbuat benar, jujur dan sabar”, Tasmiah menjelaskan.

"Istri atau suami sama-sama mengurus pekerjaan rumah tangga, ketika pagi hari suami memasak, istri yang membangunkan anak-anak dan menyiapkan sarapan. Istri tidak diperkenankan pergi ke pasar tanpa ditemani oleh suami, sebab bagi suami menemani dan menjaga istri adalah sebuah keharusan."

Keseharian Tasmiah seperti ibu pada masyarakat umum, yakni mengasuh anak di rumah. Tasmiah mengaku bahwa perempuan sepertinya banyak pula yang menjalankan usaha kecil, seperti membuka warung, menjual aneka macam jajanan anak-anak, atau membantu suaminya sebagai buruh tani.

Bagi Tasmiah, bekerja tidak ditentukan dari jenis kelamin, akan tetapi pekerjaan dan perbuatan yang dilakukannya. Laki-laki dan perempuan bisa bertukar peran. "Begini-begini juga aku bahagia," ucapnya diselingi tawa.

Keseharian Orang Dayak Losarang

Kini beralih ke Karnita, seorang petani dari Kecamatan Lelea, Indramayu. Ia bertani tak seperti orang pada umumnya. Karnita merupakan petani yang bergiat di pertanian organik. Saat bertani, Karnita menambahkan konsep ngaji rasa yang ia dapatkan dari padepokan Losarang. "Aku sangat mengurangi input-input kimia untuk budidaya padi dan sawah."

Karnita selama ini menggunakan pestisida alami seperti daun mimba, buah berenuk dan tanaman brotowali untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Cukup beralasan, selain untuk menghindari pencemaran lingkungan, Karnita mendapat pola kembali ke alam dengan memanfaatkan apapun dari alam agar dapat menekan biaya produksi pertanian."Petani Indonesia sudah terjerat industri dan monopoli pertanian, sehingga ketergantungan dan menjadi tidak kreatif," ujar Karnita.

Lantas bagaimana soal bantuan pemerintah, apakah ia tidak pernah menerima bantuan?. Karnita menjawab, meskipun tidak memiliki kartu identitas, namun istrinya memiliki KTP. Untuk pengajuan kartu tani dan fasilitas administrasi pelayanan pemerintahan misalnya, ia mengandalkan KTP istri.

Aku mengenali Karnita lewat Penyuluh Pertanian Pemkab Indramayu, Wilayah Binaan Desa Krimun, Ruwendi. Wendi sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan orang Dayak Losarang. Ia merasa bahwa masyarakat sekitar Krimun, tidak terusik dengan adanya Dayak Losarang. "Biar begitu, pemerintah Desa Krimun tetap menganggap mereka bagian dari wilayah administrasi Pemdes Krimun", tandas Wendi.

Dalam hidup Wendi, ada dua hal menarik yang ia ingat selama hidupnya. Pertama, saat momen 17 Agustus, masyarakat Dayak Losarang berniat memeriahkan kemerdekaan RI dengan mengadakan lomba-lomba di padepokan, namun sayangnya, mereka mengibarkan bendera berwarna hitam putih. "Akhirnya Babinsa, Babinkamtibmas dan perangkat desa turut membubarkan acara Agustusan di padepokan," ujarnya.

Kedua, saat masyarakat petani Desa Krimun menolak menanam budidaya palawija jagung di musim tanam ketiga, seperti imbauan penyuluh pertanian. Alasannya, jangankan dibudidayakan, yang tumbuh liar di bantaran kali saja, diambil oleh orang Dayak Losarang. "Orang Dayak Losarang beralasan, segala yang tumbuh di bumi ini adalah milik alam," tambah Wendi diseling tawa.

Menurut Wendi, di Kecamatan Losarang, pengikut Dayak Losarang tidak banyak. Mayoritas bermata pencaharian non petani. Kebanyakan pengikutnya berasal dari luar Kecamatan Losarang. "Tidak semua anggota Dayak Losarang (yang berdomisili di Losarang), sepengetahuan saya, tidak memiliki KTP. Ada juga kok yang punya memiliki KTP.”

Sementara Nia Sjarifudin, Ketua Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) juga punya pandangan lain. Kata Nia, selama ini mereka bersemangat mengawal dan memperkenalkan orang Dayak Losarang. ANBTI menganggap bahwa masyarakat Dayak Losarang memiliki hak konstitusi yang menjamin kedudukan mereka sama dengan warga negara lainnya di mata hukum.

Selama berdekatan dengan penganut kebatinan ini, ANBTI punya banyak cerita, selama itu pula mereka berusaha untuk terus memahami orang Dayak Losarang, baik dari sejarahnya, maupun hal lainnya. "Keunikan mereka itu, agar bisa diterima orang umum, memang butuh waktu. Terutama dalam konteks sejarah, keberadaan mereka dianggap sebagai komunitas baru. Keyakinan mereka dilekatkan stigma sesat dan banyak kecurigaan lainnya," beber Nia.

Kata Nia, perkenalan ANBTI dengan Dayak Losarang terjadi secara tidak disengaja, dimulai saat upacara Seren Taun, sekira 2007 silam. Sejak berkenalan sampai hari ini, ANBTI mengaku belum pernah melakukan pendampingan hukum, namun mereka lebih banyak membantu Dayak Losarang dalam kampanye dan pendekatan kultural pada banyak pihak.

Caranya, orang Dayak Losarang diajak untuk hadir secara rutin dan dilibatkan dalam beberapa program ANBTI, terutama yang terkait dengan advokasi bagi kelompok kepercayaan secara nasional. Dari sanalah buah dari perkenalannya melahirkan cinta. Nia menyebut, seorang warga (lelaki) Dayak Losarang dan seorang perempuan jaringan ANBTI dari komunitas Dayak Maanyan Kalimantan Tengah bertemu dan akhirnya menikah. Nia menganggap kedua orang itu kini hidup bahagia di Kalimantan Tengah bersama seorang anak perempuan.

"Kita berkenalan dan mencoba belajar dan mendalami pemahaman kepercayaan mereka, lalu dilanjutkan dengan kunjungan ke komunitas mereka." Nia dan ANBTI berupaya keras, saat sebagian kelompok masyarakat, bahkan anggota DPRD Indramayu melabeli dan menstigma komunitas itu sebagai aliran sesat. Mereka pun mengerahkan tenaga untuk membangun dialog antara pihak yang menuduh dengan menghadirkan beberapa tokoh nasional dalam gelar acara spiritual mereka.

"Dialog berlangsung walau tidak secara langsung didampingi ANBTI, namun strategi mendorong pendekatan persuasif seperti mencoba memahami ajaran, prinsip laku dalam praktek keseharian komunitas Dayak Losarang, sedikit bisa membantu mengurangi kecurigaan dan stigmatisasi yang pernah diberikan pada komunitas ini," tambahnya.

Ia juga menganggap, sikap keterbukaan dan praktik nilai-nilai luhur yang dianut oleh komunitas Dayak Losarang adalah investasi bagi mereka agar lekas diperhatikan dan didukung oleh masyarakat demi membantu proses adaptasi. Mengapa sedemikian penting?. Sebab dari adaptasi yang cepat, ada banyak pihak yang secara perlahan namun pasti, dapat mengurangi usaha oknum yang selama ini mempersoalkan keberadaan Dayak Losarang dengan keyakinan yang mereka anut.

"Selain komunitas Cigugur dan ANBTI, kemudian orang semakin banyak mengunjungi Dayak Losarang, baik sekedar berkenalan bahkan ada yang melakukan penelitian tentang mereka. Salah satu staf magang ANBTI, Viri, bahkan menulis skripsi S1 tentang Komunitas Dayak Losarang yang mendapat nilai terbaik. Skripsinya banyak diminati orang sebagai dasar referensi penulisan dan lain-lain."

Lebih jauh, Nia mengambil kesimpulan bahwa banyak masyarakat menimpakan stigma, kecurigaan dan penilaian secara kasat mata, tanpa usaha melakukan dialog atau perkenalan secara langsung dengan Dayak Losarang. Di samping itu, mereka mendorong opini buruk terhadap keberadaan komunitas Dayak Losarang. "Itulah sumber problem yang terjadi", jelas Nia.

Semua berpangkal dari pandangan bahwa keyakinan Alam Ngaji Rasa yang dianggap baru, sesat dari pemahaman agama yang jamak diketahui publik. Nia menyampaikan beberapa contoh pandangan yang keliru terhadap Dayak Losarang, salah satunya penamaan mereka sebagai Dayak yang juga dianggap klaim menyamakan diri sebagai bagian dari suku Dayak di Kalimantan". Sementara, memang mereka tidak ada keterkaitan sama sekali. Padahal bukan seperti itu pemahaman bagi komunitas Dayak Losarang sendiri," tegasnya.

Catatan: Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Penyunting: Nadya Gadzali