Etnis.id - Pemerintah mengimbau agar tidak mudik ke kampung halaman demi menghalau persebaran covid-19. Tapi sebagian orang masih nekad mudik
menjelang Ramadan. Sebagian dari mereka hendak nyadran dengan menabur bunga (nyekar), berdoa dan membersihkan makam leluhur.

Dalam nyadran, masyarakat Jawa berusaha memanggil kembali segala kenangan dan kisah tentang garis keluarga. Nyadran diperkirakan ada sejak zaman Hindu-Budha (Tri Handayani, 1995). Islam datang menjadikan ritus nyadran kental dengan doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Alquran.

Sebelum nyadran dimulai, masyarakat Jawa juga melangsungkan kenduri, membuat tumpeng, berkumpul dengan sesama, makan bareng dan berdiskusi. Terpenting, nyadran telah menjadi penanda karakter kultural. Menegaskan bahwa detak akulturasi Islam-Jawa bertahan dan berlangsung lama hingga kini.

Nyadran menjadi bagian hidup yang tak dapat dipisahkan bagi manusia Jawa. Sejauh apapun mereka berkembang dan mengubah citra diri menuruti laju modernitas zaman, namun telisik pada ritus-ritus tradisi masih dianggap penting untuk dijaga dan dihadirkan kembali.

Ritus itu merekatkan kohesi sosial yang selama ini telah renggang oleh berbagai hal dan kepentingan. Makanya nyadran menjadi jembatan bagi manusia Jawa untuk "bernegosiasi” dalam meneguhkan kembali sisi kultural dan religiusitasnya.

Nyadran berusaha mengingatkan ulang akan arti penting masa lampau guna menentukan arah dan posisi di masa kini dan mendatang. Manusia Jawa merunut jejak silsilahnya lewat makam leluhur, menghadirkan segala pergulatan dan kenangan tentang kebersamaan, kemudian menguatkan diri dengan doa dan harapan. Setelah ritus nyadran selesai dilangsungkan, orang Jawa merasa hidup kembali. Menjalani laku hidup dengan semangat baru.

Menziarahi makam bagi orang Jawa adalah laku spiritual yang tak dapat diukur dengan hitung-hitungan untung rugi materi. Pengorbanan dengan kerelaan mendatangi makam menjadi upaya persembahan bakti pada leluhur yang tak cukup dengan hanya lantunan doa.

Dengan demikian, makam tak ubahnya terminal yang mempertemukan dan mendekatkan. Bagi orang Jawa, makam bukanlah sebuah akhir, namun menjadi prasasti sekaligus bukti yang mengawali laku hidup baru. Olehnya, keberadannya haruslah dirawat dan dijaga (Setiawan, 2014).

Keindahan dan kebersihan makam menunjukkan kepedulian dan kecintaan pada keluarga. Nyadran adalah momentum untuk mengaktualisasikan eksistensi orang Jawa dalam berpihak dan patuh pada leluhur.

Ritus

Mendekati Ramadan harusnya dihadapi dengan kebersihan jiwa dan hati. Segala dengki dan keburukan harus dikikis di bulan yang suci. Bagi orang Jawa, melakukan kesalahan tak cukup dengan hanya meminta maaf pada sesama yang hidup, namun juga pada yang telah tiada.

Nyadran menjembatani akan peristiwa itu. Hal yang tak dapat dijangkau oleh nalar, namun dapat begitu jelas dirasakan. Leluhur yang telah tiada bukannya hilang dan pergi dari dunia. Orang Jawa percaya bahwa mereka masih hidup dan senantiasa mengawasi.

Ritus-ritus penghormatan bagi arwah dilangsungkan dengan berbagai bentuk dan rupa. Kesemuanya menegaskan jalinan yang harmonis tentang pewarisan garis keturunan. Nyadran dengan berbagai ritual yang ada tak lebih dari wadah yang menampung gagasan manusia Jawa tentang Islam.

Nyadaran adalah gelas yang berkisah Jawa, dan air sebagai isinya (doa) adalah Islam. Penyatuan yang menjadikan manusia Jawa memandang Islam dengan kejawaannya, tanpa adanya dekonstruksi terhadap nilai yang dikandungnya.

Kearifan

Nyadran adalah kearifan kultural Jawa yang berlangsung turun-temurun. Jauh sebalum musibah covid-19 melanda, ritual ini juga menjadi pusat penyatuan yang mempertemukan masyarakat Jawa dalam berbagai lapisan kelas dan golongan.

Keharmonisan akan kebersamaan dapat dijumpai kala ritus ini berlangsung. Di saat rumah-rumah di pelosok kampung dan desa berpagar tinggi menjulang. Pagar itu meneguhkan sikap arogansi atas individualisme pemiknya.

Dengan adanya nyadran, memaksa penghuni di setiap rumah berbaur dan melakukan komunikasi sosial. Saling sapa dan seolah mengingatkan bahwa hidup tidaklah mempribadi.

Nyadran juga tak hanya berkisah laku komunikasi sosial, namun juga kearifan lokal. Makanan khas Jawa hadir kembali seperti apem, ketan, kolak, nasi gurih, serta “jajanan pasar” lain dalam balutan tumpeng.

Nyadran menjaga kelestariannya. Menikmati menu sederhana yang kehadirannya dirindukan. Nyadran tak ubahnya lorong kecil dalam melihat detak hidup manusia Jawa dari masa ke masa.

Wahyu Nur Alifiana (2013) menganggap ritual nyadran tak cukup dengan hanya dilihat sebagai peristiwa ritual budaya, namun juga identitas yang meneguhkan jati diri manusia Jawa. Di beberapa daerah, nyadran banyak mengalami perubahan, dengan mengurangi dan menambah unsur baru di dalamnya.

Hal ini mengindikasikan jika nyadran bukanlah peristiwa yang berhenti pada satu titik, namun daya hidupnya dinamis, selalu berproses dan selaras dengan zaman. Hal tersebut mengingatkan kita bagaimana romantisnya sinergitas antara Jawa dan Islam. Berlangsung tanpa konflik, tampak indah dan damai.

Semangat akulturasi itu kini harus senantiasa didengungkan, mengingat banyak konflik dan kerusuhan terjadi atas nama agama dan kepercayaan. Nyadran berkisah arti penting kerukunan dan perbedaan.

Tradisi banyak memberi kita pelajaran berharga akan arti kehidupan. Karenanya, sejauh nyadran masih ada dan bertahan, manusia Jawa akan tetap memegang nilai-nilai kejawaannya.

Sejatinya, nyadran membuka gerbang bulan puasa dan hari raya lebih indah dan khusyuk. Manusia Jawa mengawali puasa dan mengakhirinya dengan berbagai laku atau ritus kultural. Kehadirannya ditunggu dengan segala persiapan matang dan sakral. Nyadran adalah salah satunya.

Masyarakat Jawa memahami nyadran bukan semata sebuah peristiwa, namun juga melekatkan sebuah makna. Laku nyadran membuncahkan semangat toleransi terhadap sesama.

Pelaku nyadran tidak hanya orang Jawa yang beragama Islam, namun juga orang yang mengaku bersuku Jawa dalam lintas agama. Mereka hadir dengan satu tujuan yang sama, menjalin “komunikasi” dengan leluhur.

Bunga, tumpeng, sesaji hanyalah benda yang dihadirkan dalam upaya membalut makna tentang Jawa dan Islam. Tapi kini, mungkin ritus nyadran tak dapat dilakukan sebagaimana lazimnya. Kerelaan tak nyadran di tahun ini, adalah ikhtiar agar berjumpa pada ritus yang sama di tahun setelahnya dengan lebih indah dan sehat. Aamiin!

Editor: Almaliki