Etnis.id - Kabut pagi menyelimuti pedalaman hutan Kao, Halmahera Utara. Dari bivak-bivak bambu, orang-orang tengah bersiap dengan penampilan rapi, berpakaian adat, jubah, kopiah dan kerudung.

Rombongan yang terdiri dari orang dewasa hingga anak-anak itu berjalan menuju sebuah bukit yang jaraknya sekitar 500 meter dari lokasi perkemahan. Dipimpin Imam Mesjid Kao, tanpa alas kaki, mereka mendaki bukit.

Mencapai puncak, mereka mengelilingi dua makam bertumpuk batu. Daun pandan ditaburkan. Puluhan lilin dinyalakan di batu-batu makam. Angin berdesir sejuk. Matahari perlahan terbit.  Wangi kemenyan yang dibakar membuat suasana khusyuk.

Antusias warga menziarahi makam Syekh Al Mansyur/Etnis/Adlun Fiqri

Sang Imam lalu memimpin tahlil dan memanjatkan doa-doa, dikirimkan kepada sang pemilik makam, Syekh Al Mansyur, penyiar Islam pertama di Kao yang diyakini datang dari Baghdad. Oleh masyarakat setempat, makamnya dikeramatkan
dan disebut Jere Basar.

Usai prosesi yang berjalan hampir 3 jam, semua bersalaman. Rombongan peziarah kemudian mengantre mengambil air dari sebuah mangkok putih di sudut jere. Jere artinya makam-makam yang tumbuh sendiri, tidak ditanam oleh manusia. Orang-orang percaya akan hal itu.

Imam masjid Kao memimpin prosesi ritual di salah satu jere/Etnis/Adlun Fiqri

Air yang berasal dari embun dan hujan itu diyakini mujarab dan membawa berkah. Di lain sisi jere, para peziarah berdoa sembari mematut nisan dengan telapak tangan. Mereka meyakini, segala doa dan permohonan yang dipanjatkan di sini, mudah diijabah oleh Allah SWT.

Prosesi ziarah makam Syekh Al Mansyur ini adalah puncak dari rangkaian ritual Tagi Jere. Tagi Jere berarti mengujungi tempat keramat. Saban tahun, di awal Syaban, Orang Kao melaksanakan ritus ini menyambut datangnya bulan puasa.

Dengan membawa segala “niat” dan permohonan, misalnya tolak bala agar kampung terhindar dari segala mara bahaya. Ritus ini diartikan pula sebagai “pulang” ke kampung asal. Sebab di kawasan itu, leluhur Orang Kao berasal sebelum berpindah ke pesisir pada abad 19 silam.

Warga mengantre mengambil air dari Jere Basar usai bertahlil/Etnis/Adlun Fiqri

Mereka menyebutnya Kampung Tua Kao. Jaraknya berkisar 13 km dari Desa Kao di pesisir Teluk Kao–tempat mereka bermukim saat ini. “Tradisi ini so (sudah) dari torang (kami) pe orang tua, sejak dorang (mereka) pindah dari kampung ini,” cerita Latif Tukang, Tetua Adat Kao.

Di kawasan Kampung Tua sendiri,  terdapat banyak peninggalan arkeologis terutama makam-makam tua yang diyakini sebagai makam leluhur Orang Kao. Makam-makam itu tersebar di sejumlah lokasi dan memiliki corak nisan yang beragam. Ada pula fragmen gerabah dan keramik yang berserak.

Yang paling mecolok ialah bekas masjid tua Kao yang kini hanya tersisa umpak-umpaknya. Terdapat pula beberapa gua. Dari penuturan warga sekitar, gua tersebut sebagai tempat bertepekurnya para leluhur Orang Kao sebelum memeluk agama.

Para tetua membaca barzanji sambil menabuk rebana sebelum ziarah ke Jere Basar/Etnis/Adlun Fiqri

Balai Arkeologi Maluku dalam penelitiannya menyebutkan, situs Kampung Tua Kao menjadi fakta berlangsungnya peradaban yang cukup maju pada masa lalu. Kawasan itu kini dipenuhi vegetasi hutan yang cukup lebat. Sebagian makam-makam ditutupi semak dan pohon bambu.

Sebelum Tagi Jere dimulai, Orang Kao bergotong-royong membersihkan kawasan Kampung Tua. Pohon-pohon ditebas, semak belukar dibabat. Mereka lalu membangun bivak-bivak dari bambu dan kayu untuk tempat berkemah bersama. Dapur umum juga didirikan. Lembaga Adat Kao, Badan Syara, dan Pemerintah Desa merupakan penggerak terlaksannya ritual ini.

Minggu, 29 Maret lalu, proses Tagi Jere dimulai dengan mendirikan salat di bekas masjid tua Kao. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan bertahlil di “kubur panjang”, sebuah makam sepanjang 4 meter yang tak jauh dari masjid. Makam tersebut milik seorang pemimpin Kampung Tua Kao di masa lalu.

Makam berbentuk bulat, peninggalan arkeologis di situs Kampung Tua Kao/Etnis/Adlun Fiqri

Setelah itu mereka mampir ke sebuah makam yang disebut “kubur bulat”. Makam ini hanya ditumpuk batu berbentuk melingkar. Menariknya, di makam ini  warga meletakan sebuah bambu berisi saguer, tuak tradisional khas Halmahera. “Sebeleum meninggal dia berpesan untuk bawa saguer setiap kali datang,” tutur Latif.

Idealnya, rangkaian Tagi Jere dimulai dengan salat subuh berjemaah di Mejid Raya Kao, lalu menggunakan perahu dari pesisir pantai menyusuri kali Wailamo saat matahari perlahan terbit. Rombongan akan mampir di beberapa tempat yang dianggap keramat, hingga tiba di Kampung Tua, dilanjutkan dengan pesta adat mementaskan tari-tarian khas.

Sayangnya, pelbagai rangkaian ritual itu tidak dilaksanakan pada Tagi Jere tahun ini, sebab pemerintah membatasi aktivitas masyarakat karena pandemi corona. Meski demikian. masyarakat tetap antusias berdatangan ke Kampung Tua Kao menggunakan kendaraan darat.

Warga yang berkumpul di lokasi perkemahan dalam hutan Kao/Etnis/Adlun Fiqri

Dari pengamatan, ada yang telah berkemah sejak 3 hari sebelumnya. Malam sebelum prosesi ziarah ke makam Syekh Al Mansyur, para tetua dan sejumlah anak muda berzikir, membacakan barzanji dan menabuh rebana hingga sepertiga malam. Mereka tidak tidur hingga pagi untuk bersiap menuju Jere Basar itu.

“Ke Jere ini harus hari Senin sebelum jam 9 pagi. Karena paitua (beliau) pesan, dia ada di sana pas (saat) jam itu,” tambah Latif.

Setelah segala prosesi di Jere Basar usai, rombongan bergerak menuju Jere Parampuang, sebuah kompleks istri sang syekh bersama para kerabatnya. Daun pandan kembali ditabur.

Rombongan warga bertahlil di Jere Basar/Etnis/Adlun Fiqri

Di jere ini, beberapa warga kembali memanjatkan doa. Namun doa yang dipanjatkan di makam ini biasanya perihal urusan rumah tangga maupun asmara. Ritual Tagi Jere akhirnya ditutup dengan mandi di sungai Wailamo dan makam bersama makanan tradisional Orang Kao.

Editor: Almaliki