Beberapa waktu belakangan, warga Tegalrejo, Yogyakarta, ramai-ramai membuat gentong air (padasan) untuk diletakkan di depan rumah. Jauh sebelum himbauan cuci tangan digulirkan akibat persebaran virus corona (covid-19), sejatinya masyarakat Jawa memang sudah mengamalkan tradisi leluhur yang satu ini sebagai bagian dari ritual membersihkan diri.

Dahulu, gentong yang terbuat dari gerabah (padasan) berisi air, lengkap dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa (siwur) selalu tersedia di depan rumah. Sebab masyarakat Jawa terbiasa membasuh tangan, kaki dan wajahnya dengan air padasan, ketika bertamu maupun saat hendak memasuki rumahnya sendiri. Selain menghilangkan kotoran yang melekat di tubuh, tradisi ini diyakini dapat menghilangkan sawan atau penyakit yang tak terlihat secara kasat mata. Kala itu, masyarakat Jawa belum menemukan terminologi yang tepat untuk menamai jenis penyakit yang diakibatkan oleh virus, sebagaimana hari ini. Dalam keyakinan masyarakat Jawa, tubuh harus dalam keadaan bersih sebelum memasuki rumah.

Jika hendak bertamu, air di dalam padasan digunakan untuk membasuh, kendati pada masa itu, rumah-rumah orang Jawa pada umumnya masih beralaskan tanah dan berdinding bambu. Namun tetap saja, menjaga kebersihan tubuh menjadi peristiwa penting. Sebab etika bertamu menurut kultur Jawa adalah dengan tidak menyusahkan tuan rumah, sedangkan membersihkan diri adalah sebagian kecil dari upaya itu.

Semua dapat memanfaatkan air padasan, termasuk dapat diminum oleh siapapun yang melintas di depan rumah. Sebab pada zaman dahulu, alih-alih memiliki kendaraan (kuda atau pedati), orang Jawa lebih sering bepergian dengan berjalan kaki. Oleh karenanya, air di dalam padasan juga berguna bagi mereka yang ingin melepas dahaga di perjalanan. Para pelintas dapat langsung mengambil dan meminumnya tanpa perlu meminta izin kepada sang pemilik rumah. Seturut dengan kebiasaan itu, tuan rumah pun bertugas memastikan agar air di dalam padasan tetap tersedia.

Masyarakat Jawa mengenal adagium lawas yang berbunyi: “urip mung mampir ngombe”, atau yang berarti "hidup hanya mampir untuk minum.". Dalam arti kiasan, orang Jawa menganggap hidup layaknya persinggahan sementara. Oleh karena itu, sudah semestinya manusia berlomba-lomba dalam perbuatan baik. Di antaranya, dengan menyediakan gentong berisi air yang menjadi salah satu ikhtiar yang dapat dilakukan di jalan kebaikan.

Eksistensi padasan menunjukkan bahwa orang-orang dahulu terbiasa membersihkan tubuh di luar rumah. Hal itu sekaligus menjadi kritik bagi gaya hidup manusia di hari ini, yang memperlakukan hunian hanya sebagai tempat tinggal (house) saja, bukan sebagai rumah (home). Rumah tidak lagi menggambarkan kenyamanan dan keteduhan. Di masa lampau, penghuni rumah perlu mewaspadai segala bentuk ancaman bahaya, salah satunya, dengan menempatkan gentong air di depan rumah, sebab air dipandang sebagai salah satu unsur yang mampu menghilangkan sukerta atau kesialan, baik penyakit fisik, maupun hal-hal yang dipandang mistik.

Hari ini, himbauan untuk mencuci tangan digalakkan di mana-mana agar masyarakat tak terjangkit virus corona. Hal ini menunjukkan bahwa manusia kiwari semakin jauh dari gaya hidup sehat (mencuci tangan) yang telah diajarkan sejak dahulu. Kendati telah digantikan oleh cerat pancuran (keran), namun tradisi menaruh gentong air di depan rumah, nyaris tak ditemukan lagi. Gentong-gentong air di depan rumah semakin tersingkir seiring berjalannya waktu. Ia bahkan menjelma benda antik yang diperlakukan semata-mata sebagai pajangan. Kini, orang-orang cenderung membangun rumah dengan pagar tinggi menjulang yang membuat keran air sulit untuk dijangkau. Pagar itu serta merta membatasi interaksi dengan sesama, serta mempertegas ruang antara penghuni yang ada di dalam dengan orang-orang yang berada di luar rumah. Mereka yang ada di luar pagar, dipandang sebagai makhluk yang perlu diawasi, kata lain dari berbahaya.

Gentong air menjelma kisah masa lalu ihwal harmoni kehidupan sosial masyarakat Jawa, sekaligus menjadi katalisator komunikasi, budaya tegur sapa, serta konsep tolong-menolong tanpa membedakan agama maupun golongan. Orang Jawa meyakini bahwa selain menjaga kebersihan tubuh, menjaga silaturahmi dalam konteks sosial-kutural adalah kunci hidup sehat, baik fisik maupun rohani.

Namun, apakah air sepenuhnya dapat membersihkan tubuh dari kuman (virus)? atau, sehatkah untuk dikonsumsi kendati tidak dimasak sebelumnya? Jawabannya, tidak. Namun, orang Jawa tak menyandarkan kebersihan pada konsep itu saja, melainkan dari sisi kebahagiaan yang membuat sistem kekebalan tubuh meningkat. Meminum serta membersihkan diri dengan air gentong, membentuk sugesti tersendiri ihwal kebersyukuran atas hilangnya dahaga selama di perjalanan. Selain itu, segar dan sejuknya tubuh sebelum bertemu dengan tuan rumah merupakan berkah tak terhingga.

Sedangkan tradisi memasak air dan membersihkan tubuh dengan sabun muncul belakangan, di kala slogan hidup bersih digalakkan oleh pemerintah. Slogan itu setidaknya bernuansa kapitalistik, akibat munculnya iklan-iklan pembersih tubuh dan air kemasan. Hal itu menggantikan logika berfikir manusia Jawa ihwal konsep hidup sehat yang berlandaskan batin atau spiritual, dengan  kesan 'higienis' yang ditentukan dari kebersihan fisik semata.

Peristiwa serupa terjadi lantaran hadirnya tradisi-tradisi lain, seperti bersih desa, slametan, larung sesaji dan ruwatan. Masyarakat Jawa berupaya membentengi tubuh lewat kebersihan batiniah, serta membentuk kepercayaan diri—sehingga kekebalan tubuh kembali meningkat. Hasilnya adalah kehidupan yang sehat, terbebas dari pelbagai penyakit. Kini, tatkala dunia dilanda wabah, kita mulai merenungkan kembali manfaat "padasan".  Warisan budaya leluhur yang nyaris ditinggalkan. Padahal, keberadaannya dapat melindungi kita dari ancaman wabah atau pagebluk.

Penyunting: Nadya Gadzali