“Sekar Lodra atau Proboretno adalah seorang putri dari kadipaten Malang yang selalu gigih berlatih ilmu kanuragan. Semangat berjuang adalah kewajiban yang harus dilakukan. Berusaha untuk tidak mudah menyerah. Demi mempertahankan harga diri dan sebuah wilayah pemerintahan.”

Itulah sinopsis yang dibacakan pada pertunjukan karya tari bertajuk "Sekar Lodra". Sebuah garapan karya yang diciptakan oleh dua orang seniman asal kota Malang, yaitu Dyah Masita Rini dan Ika Pratiwi pada 2017 lalu. Sekar Lodra berasal dari kata sekar yang berarti bunga, serta lodra yang berarti pahlawan.

Melalui penjabaran terminologis tersebut, Sekar Lodra dapat diartikan sebagai bunga pahlawan atau bunga bangsa. Dengan kata lain, Sekar Lodra ialah sosok yang berjuang dan bekerja keras demi mempertahankan harga diri, kehormatan, kemerdekaan dan kebebasan—kendati ditempuh lewat pengorbanan dan pertarungan. Nilai-nilai kepahlawanan itulah yang dimanifestasikan dalam karya tari Sekar Lodra.

Tari Sekar Lodra merupakan folklor, cerita rakyat, kepercayaan, sejarah, sosial dan babad masyarakat Kota Malang. Tarian ini menceritakan kepahlawanan sosok Proboretno, seorang putri dari Kadipaten Malang yang pada saat itu masih bernama Kadipaten Sengguruh. Putri cantik nan sakti tanpa tanding itu merupakan putri dari Adipati Malang, Ronggo Toh Jiwo.

Sebagai sebuah tari garapan baru, Sekar Lodra tetap mengambil pola-pola yang direkonstruksi dari gerak-gerak tari tradisi, tetapi sudah disesuaikan dengan keadaan zaman. Kostum tari didominasi oleh warna merah untuk melambangkan semangat, perjuangan, kerja keras, perlawanan, dan keberanian. Dibalut dengan unsur-unsur warna emas yang menggambarkan kejayaan. Begitu pula dengan bunga melati sebagai simbol wangi perjuangan dan seorang putri. Hal ini dipadukan dengan properti cundrik atau keris kecil, karya tari itu begitu luwes dan energik dalam menggambarkan sosok Proboretno.

Trilogi Kepahlawanan Proboretno dalam Tari Sekar Lodra

Sekar Lodra merupakan pengejawantahan dari kisah kepahlawanan Proboretno yang dirangkai secara apik melalui gerak-gerak karya tari yang menampakkan diri lewat sentuhan wiraga, wirama, dan wirasa tanpa melupakan esensi tarian yang menggambarkan tentang aksi heroik sang senopati perempuan ini.

Perjalanan Proboretno itu kemudian saya sebut dengan trilogi kepahlawanan Proboretno, yaitu pertarungan, cinta, dan harga diri. Hal ini bermula ketika Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Surontani, hendak melebarkan sayap ekspansinya ke wilayah Brang Wetan atau timur Jawa.

Wilayah-wilayah seperti Caruban (Madiun), Ngrawa (Tulungagung), dan wilayah-wilayah sekitar berhasil ditaklukkan. Tetapi, untuk mencapai Surabaya, pasukan Mataram mengalami hambatan sekaligus tantangan yang cukup berat, yaitu perlawanan dari Kadipaten Sengguruh. Hal itulah yang kemudian memantik api peperangan di antara dua pasukan.

Ronggo Toh Jiwo, pemimpin Kadipaten Sengguruh, telah melihat pergerakan pasukan Mataram yang tidak bisa diremehkan. Dia memiliki wadyabala yang kuat, juga dipimpin langsung oleh putrinya, yaitu Proboretno. Seorang putri yang berparas cantik, juga sakti dan menguasai berbagai ilmu kanuragan.

Meskipun seorang perempuan, Proboretno adalah kesatria atau senopati yang pinilih. Dengan berbagai ilmu kanuragan yang ia miliki, hampir selalu pasukan Mataram dibuat kocar-kacir dan luluh lantak saat melawan kadipaten Sengguruh. Setiap pergerakan Mataram, selalu kandas dipalang perlawanan seorang Proboretno. Penggalan kisah inilah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal penamaan wilayah Malang. Kata malang diambil dari kata palang yang berarti mengalangi atau mengadang.

Sejak kekalahan yang dialami Mataram, mereka terus mengirim pasukan dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini memicu sedikit kekhawatiran pada diri Ronggo Toh Jiwo, baik sebagai pemimpin maupun sebagai seorang ayah bagi Proboretno. Mengingat kebudayaan Jawa yang memang terkesan patriarkal, Ronggo Toh Jiwo menganggap bahwa kodrat Proboretno adalah seorang perempuan.

Seorang perempuan butuh pendamping yang akan menemani alur kehidupannya, sekaligus membantu perjuangan Proboretno dalam mempertahakan diri dari serangan Mataram. Akhirnya, diadakanlah sebuah sayembara, barangsiapa mampu beradu tanding dan berhasil mengalahkan Proboretno, maka ia akan dijadikan suami. Para pangeran juga kesatria sontak berdatangan mengikuti sayembara ini, dengan keyakinan bahwa ia akan meminang Proboretno sebagai permaisuri.

Bagaimana pun, kesaktian Proboretno seolah tanpa tanding. Semakin banyak pangeran dan kesatria berdatangan, semakin banyak pula yang terjatuh dan tersungkur. Hanya ada seorang kesatria yang mampu menandingi dan mengalahkannya, yaitu Panji Pulangjiwo. Seketika perjuangan Proboretno pun mencapai puncaknya.

Nukilan kisah ini menunjukkan bahwa pertarungan demi pertarungan yang dihadapi, tidak lain adalah bukti kecintaan Proboretno pada tanah kelahirannya. Kodrat sebagai seorang perempuan adalah upaya menunjukkan jati diri bahwa perempuan tak harus selalu berada di belakang laki-laki. Harga diri atas nama perempuan, kesatria, senopati, dan putri dari seorang pemimpin wilayah yang berdaulat adalah harga mati yang harus diperjuangkan.

Konstruksi Karya Tari Sekar Lodra/ Riqko Nur Andi Windayanto

Penampilan tari Sekar Lodra ini dibawakan oleh tujuh penari perempuan yang saling bersinergi, nyawiji, dan berkaitan dalam melakukan gerak-gerak yang menggambarkan sosok Proboretno. Adegan tarian dibuka oleh tujuh penari yang melakukan gerak penthangan tangan yang melukiskan kelincahan, kegesitan dan kesaktian Proboretno.

Koreografi energik diambil dari gerakan-gerakan tari Remo dan Kaki Tanjak. Para penari secara bersama-sama melakukan gerak rampak gagahan sebagai simbol semangat dan perjuangan sang senopati. Sementara itu, pola lantai dilakukan dengan mengambil gerak njranthal yang lincah nan gesit.

Meskipun mengemban peran sebagai senopati pasukan Kadipaten Sengguruh, Proboretno juga digambarkan sebagai seorang putri yang berwatak halus dan lemah lembut. Perwatakan tersebut dikonstruksi lewat gerakan jogethan yang diambil dari tari Gading Alit. Gerak ini disesuaikan dengan konsep yang dituju. Selain itu, ada pula gerak gejog dan ngrawit bawah untuk melukiskan hal serupa.

Setelah menggambarkan perwatakan lemah lembut dari putri Proboretno, adegan tari dilanjutkan dengan gerak-gerak gagah, njluwat, rampak, jengkeng, dan kaki njranthal. Gerak-gerak ini dilakukan guna menunjukkan Proboretno yang gemar berlatih ilmu kanuragan serta mengasah keprigelannya dalam olah tanding. Hal itu dilakukan agar kemampuan dan kecakapannya semakin terasah dan tak terkalahkan.

Meskipun karya tari ini menggambarkan keprajuritan atau kepahlawanan, tari ini juga bernilai estetika, baik dari segi substansi maupun gerak-gerak yang ditampilkan. Sebab, adegan selanjutnya menunjukkan Proboretno yang tengah memanjatkan doa kepada Tuhan atau Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.

Komunikasi antara manusia yang direpresentasikan oleh Proboretno dengan Tuhan ini dikonstruksi lewat gerak-gerak lengkung, lembut dan kalem sebagai bentuk penyerahan dan kepasrahan diri seorang kesatria kepada Tuhannya. Bahwa meskipun memiliki kesaktian kanuragan dan wadyabala yang berlimpah ruah, namun seluruh kekuatannya akan sia-sia jika tidak diiringi kecintaan dan keberserahan diri kepada Tuhan yang telah menciptakan marcapada. Hanya Dia-lah, sumber kekuatan abadi itu.

Para penari selanjutnya mengambil properti berupa cundrik yang sebelumnya ditancapkan pada sanggulnya. Hal ini juga menjadi bagian yang amat menarik, karena koreografer berhasil menciptakan semacam ketakterdugaan pada penciptaan gerak-gerak tari. Hal-hal yang semula tidak disadari oleh penonton, tiba-tiba disuguhkan lewat penggunaan cundrik yang sebelumnya diselipkan pada sanggul para penari.

Gerakan selanjutnya dikembalikan pada adegan peperangan. Adegan terakhir ini menunjukkan gerak-gerak yang menyatakan pertarungan-pertarungan dan krida tanding Proboretno dalam mengatasi berbagai persoalan. Proboretno menjadi pemimpin perang melawan musuh untuk mempertahankan harga diri dan wilayah pemerintahan. Adegan terakhir menampilkan tubuh seorang penari yang diangkat oleh dua orang penari, sedangkan empat penari lainnya duduk pada posisi yang lebih rendah. Para penari ini mengacungkan cundrik ke depan dengan ekspresi sorot mata tajam. Gerak pungkasan ini melambangkan bahwa seorang perempuan mampu berperan dalam kodrat dan keterbatasannya demi memperjuangkan cinta dan harga diri.

Cita–cita dan Identitas Kebudayaan

Beberapa kali menyaksikan karya tari ini secara langsung, rasanya seperti ada hembusan angin segar bagi perkembangan kebudayaan kita. Sebuah karya tari yang terbilang berusia muda, namun mampu mengangkat nilai sejarah dalam suatu masyarakat. Sebagai warga Kota Malang khususnya, saya berprasaran bahwa karya tari ini mampu mencerminkan banyak hal.

Bahwa cerita rakyat atau sejarah sosial berupa ingatan terhadap legenda kepahlawanan, ternyata mampu diadaptasi dalam sebuah karya tari. Dengan demikian, tidak hanya sekedar seni tari dalam arti murni, lewat karya tari, kita juga dapat memetik berbagai medium pembelajaran, mulai dari sejarah, nilai kepahlawanan, peran perempuan, serta segala bentuk pertarungan batinnya.

Saya melihat bahwa karya tari suatu saat nanti akan menjadi identitas kebudayaan bagi masyarakat Malang. Identitas kebudayaan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan diri dalam konteks kultural. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan pembangunan kebudayaan secara bertahap, dapat kita raih.

Penyunting: Nadya Gadzali