Sebagai negara dengan masa penjajahan yang cukup panjang, Indonesia tentu saja sesak dengan berbagai kisah perjuangan, pengorbanan, serta heroisme yang dapat menjadi pembelajaran bagi generasi penerus bangsa. Cerita tersebut, tidak jarang bersembunyi pada benteng-benteng peninggalan masa penjajahan yang terserak di berbagai sudut Nusantara. Salah satu dari ratusan benteng yang sarat akan kisah heroisme itu ialah Benteng “Janda” yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Keperkasaan Perempuan Aceh

Benteng Inong Balee berasal dari padanan dua suku kata. Inong berarti perempuan, sedangkan Balee bermakna janda. Benteng yang berlokasi di bukit kecil di sepanjang teluk Krueng Raya ini sangat lekat dengan kisah heroik Laksamana Keumalahayati dan pasukannya. Kisah perlawanan Laksamana Keumalahayati berawal dari ketegangan dan konflik yang terjadi antara Portugis dan Kerajaan Aceh. Portugis merupakan bangsa Barat pertama yang melakukan kontak dengan Aceh.

Pada tahun 1511, saat Portugis menaklukkan Malaka, Aceh belum lama berdiri sebagai Kesultanan besar. Kekuatan Kesultanan Aceh secara perlahan meningkat dan menjadi episentrum kekuatan di semenanjung Sumatera. Sebab, lada Sumatera sangat diminati oleh pasar Tiongkok dan Eropa saat itu. Berkat hal itu pula hubungan dagang antara Kesultanan Aceh dan pedagang dari pesisir Laut Merah, terjalin erat.

Hal ini membuat gerah Portugis yang menganggap Kesultanan Aceh sebagai ancaman dan begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, perang meletus. Kesultanan Aceh menyerang Malaka yang sudah dikuasai Portugis pada tahun 1537, 1547, 1567, 1574, dan 1629. Saat itu, perempuan juga ikut serta pada peperangan. Pasukan perempuan dalam perang tahun 1567 tersebut, menurut Jennifer Dudley dalam tulisannya “Of Warrior Women, Emancipiest Princesses, ‘Hidden Queens’, and Managerial Mothers”, tergabung dalam pasukan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. Mereka menemani suaminya berperang, sedangkan sebagian lagi merupakan janda-janda yang ditinggal mati suami akibat pertempuran sebelumnya.

Dudley juga mengatakan bahwa pasukan wanita ini bertarung dengan berjalan kaki, menunggang kuda atau gajah. Kelihaian para wanita Aceh ini diperoleh dari akademi militer Makhad Baitul Makdis yang diasuh oleh kesultanan Turki Utsmani. Aceh memang mempunyai hubungan mesra dengan Kesultanan Turki saat itu. Hasil dari hubungan mesra kedua kesultanan ini terwujud salah satunya dengan terbentuknya sebuah akademi yang merupakan tempat Keumalahayati menimba ilmu militer.

Menurut Atmosiswartoputra, dalam bukunya berjudul Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah (2020), Mahad Baitul Makdis ini mempunyai dua jurusan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut. Keumalahayati sendiri mempunyai darah bahari yang sangat kuat dari ayah dan kakeknya. Ayahnya, Laksamana Muhammad Said Syah, seringkali mengajak Keumalahayati muda untuk naik ke kapal perang. Hal ini membuat Keumalahayati terbiasa dengan kapal perang. Keumalahayati ditunjuk sebagai kepala pengaman istana selama masa kepemimpinan Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV, selepas menamatkan pelatihan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis.

Perseteruan Portugis dan kesultanan Aceh terus berkecamuk. Pada tahun 1589-1604, pada masa kepemimpinan Sultan Al Mukammil, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Kesultanan Aceh dan pasukan Portugis di Teluk Haru. Kemenangan memang diraih oleh pasukan Kesultanan Aceh, namun korban meninggal dari Kesultanan Aceh pun tidak sedikit. Para lelaki kehilangaan nyawa. Salah satu Laksamana terbaik Kesultanan Aceh, yang merupakan suami dari Keumalahayati, pun gugur di pertempuran ini.

Keumalahayati yang meradang akhirnya bersumpah untuk menuntut balas atas kematian suaminya. Ia lantas menghadap Sultan Al Mukammil dan meminta ijin untuk membentuk pasukan Inong Balee yang terdiri dari janda perang Haru. Selepas restu didapat, sesegera mungkin pasukan pun dibentuk. Pada awalnya, Keumalahayati hanya mempunyai 1000 pasukan Inong Balee. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah pasukan ini menggemuk menjadi 2000 pasukan.

Keumalahayati kemudian melatih para janda dengan berbagai keterampilan, mulai dari menunggang kuda, memegang senapan, mengangkat busur, hingga mengendalikan gajah. Teluk Krueng Raya dipilih sebagai markas pasukan ini. Di sana pula dibangun sebuah benteng yang kini disebut dengan benteng Inong Balee. Benteng Inong Balee bukan sekadar bangunan untuk berlindung, melainkan dilengkapi juga oleh sistem persenjataan dan kapal-kapal tempur. Benteng ini juga berfungsi sebagai markas akomodasi bagi bala tentara Inong Balee, fasilitas pelatihan militer, serta pusat logistik militer.

Pasukan Keumalahayati menunjukkan kekuatannya, saat menyerbu empat kapal dagang Belanda dibawah komando Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman yang disinyalir telah memanipulasi perdagangan. Tak hanya itu, mereka juga menyamarkan kapal tempur sebagai kapal dagang. Hal ini kemudian terendus oleh intelejen kesultanan. Akhirnya, sultan pun meminta pasukan Inong Balee untuk menyerbu rombongan armada Belanda. Dalam serangan ini, Cornelis de Houtman tewat terbunuh oleh tikaman Keumalahayati.

Kisah tentang  pasukan Inong Balee terus dituturkan oleh masyarakat Aceh. Ketika Gerakan Aceh Merdeka berkecamuk, kronik tentang Inong Balee dihidupkan kembali dan menjadi inspirasi pembentukan pasukan perempuan GAM. Para perempuan yang kehilangan suaminya, atau mereka yang murka terhadap kelakuan militer Indonesia, akhirnya memilih bergabung dengan Inong Balee yang merupakan salah satu basis kekuatan militer GAM.

Kondisi Benteng Inong Balee

Menurut badan Arkeologi Medan, benteng Inong Balee berbentuk rectangular dengan ukuran sekitar 60x40 m dengan batuan dinding yang melingkarinya. Ketebalan benteng sekitar 2 meter, dengan ketinggian 2,5 meter. Pada dinding-dinding tersebut, terdapat lubang-lubang tembak yang berbentuk setengah lingkaran dan menghadap langsung ke arah teluk. Dengan posisinya yang berada di perbukitan sekitar 100 meter diatas permukaan laut, benteng ini dapat mengawasi seluruh kapal yang berlayar ke arah Kerajaan Aceh. Oleh karena itu, pasukan Inong Balee sangat leluasa menyerang pasukan Portugis dan Belanda melalui pantauan benteng ini.

Sayangnya, sisa reruntuhan Benteng Inong Balee terbengkalai dan tidak terawat. Namun, pengunjung tetap bisa menikmati keindahan teluk Krueng Raya dan Pelabuhan Keumalahayati. Selain benteng dan makam Keumalahayati, artefak yang tersisa dari pasukan Inong Balee adalah desa Inong Balee yang kemudian dikenal sebagai Desa Janda.

Penyunting: Nadya Gadzali