Seketika pandangan saya tertuju pada sebuah pertunjukan yang menampilkan beberapa atraksi. Awalnya, saya mengira bahwa pertunjukan tersebut hanyalah tarian tradisi yang bersifat hiburan semata. Namun, setelah menyaksikan kesenian itu, saya merasakan adanya unsur magis di dalamnya. Kesenian itu adalah Pojhian. Salah satu kesenian rakyat yang lahir dan hidup di Kabupaten Bondowoso. Pojhian diciptakan oleh seorang penduduk asli Desa Prajekan Kidul pada tahun 1920-an yang bernama Muridin (Sugeng, wawancara 10 april 2019).

Pojhian memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia yang berarti puji-pujian. Oleh karena itu, di dalamnya terdapat makna dan simbol tentang wujud syukur dan pengharapan manusia kepada Tuhan melalui puji-pujian. Menurut pandangan saya, eksistensi kesenian Pojhian merupakan salah satu fenomena yang menarik dan unik. Sebab, di dalamnya terdapat dua aspek penting yang menjadi kekuatan pertunjukan, yaitu musik dan gerak tari. Bentuk kesenian Pojhian hampir serupa dengan kesenian Sandur di Kabupaten Tuban. Keduanya, memiliki kekuatan vokal dan koreografi.

Vokal yang dilantukan di dalamnya berupa doa, mantra-mantra serta tembang-tembang yang memiliki makna khusus untuk memohon perlindungan serta keselamatan kepada Tuhan, dalam rangka mengusir wabah atau petaka lainnya. Dalam penyajiannya, vokal yang terdapat dalam kesenian Pojhian dilakukan oleh tiga orang pengrawit, yaitu panjhak sorak, pangojjhar dan dhukon. Panjhak Sorak berperan sebagai arketipe atau tumpuan ritme. Repertoar yang dilantunkan oleh panjhak sorak hampir sama dengan gaya vokal senggakan.

Senggakan dalam Pojhian bersifat metris yang bervariatif, diantaranya hik cahik, gembha gembhe, hordong, calelet dan arras. Keseluruhannya dilantunkan dengan cara bersahut-sahutan, sehingga membentuk harmoni dalam musikalisasinya. Pangojjhar merupakan seorang pengrawit yang melantunkan tembang di setiap adegan. Sedangkan dhukon dalam pelafalan bahasa Indonesia berarti dukun. Ia bertugas merapal mantra dan doa pada setiap adegan.

Makna Simbolik

Terlepas dari unsur musikalnya, Pojhian memiliki struktur tampilan yang begitu kompleks. Struktur yang dimaksud meliputi ngojharri, nyamodhai, dur-sandur dan songkar naèn. Adegan dalam kesenian Pojhian bersifat sakral. Hal ini tampak pada teksnya yang memiliki makna cukup mendalam tentang relasi antara manusia, alam dan Tuhan. Ngojharri merupakan bagian awal penampilan yang terdiri lantunan doa dan mantra-mantra untuk meminta perlindungan agar kemalangan atau pagebluk, segera berlalu. Dalam kesenian Pojhian, adegan tersebut dilakukan dalam posisi duduk berbaris dan bersila.

Makna simbolik dalam kesenian Pojhian yang mengandung konsep trilogi (manusia, alam dan Sang Pencipta), mampu menjadi stimulus bagi perilaku kita sebagai manusia, yang notabene selalu terhubung dengan alam dan Tuhan. Sehingga konsep trilogi itu dapat mengantarkan pada level kesadaran tertinggi kita sebagai manusia.

Tahap selanjutnya ialah nyamodhai. Pada bagian ini, seluruh penampil serta dukun mengelilingi punden yang menjadi arena pertunjukan nyamodhai, sambil melantunkan tembang khusus. Selepas nyamodhai, dur-sandur pun dilaksanan. Dur-sandur merupakan bagian penting dalam Pojhian, sebab di dalamnya terdapat beberapa atraksi menarik, yaitu ghilisan, ronjhangan dan ongghe perrèng yang sangat ditunggu-tunggu oleh penonton.

Atraksi tersebut memiliki makna mendalam tentang kehidupan. Ghilisan adalah atraksi yang dilakukan oleh dua orang seniman yang saling melempar batu besar ke arah tubuh secara bergantian. Adegan ini menjadi simbol ketangguhan manusia saat dihadapkan pada segala macam persoalan hidup. Sedangkan Ronjhangan, merupakan sebutan orang Madura bagi alat yang digunakan untuk menumbuk padi, atau disebut juga dengan lesung.

Pada atraksi ronjhangan, penggunaan media lesung sebagai jungkat-jungkit bermakna harapan agar manusia dapat hidup selaras dengan alam. Salah seorang penampil atraksi mengambil posisi terlentang tepat di bawah lesung, kemudian beberapa orang penari menguasai lesung dengan cara membawakan sebuah tarian diatasnya. Atraksi ini bermakna pengharapan agar manusia mampu mengimbangi dirinya dengan alam, sehingga tidak muncul ketimpangan yang berakibat munculnya bencana. Ongghe perrèng adalah atraksi yang dilakukan oleh seorang penampil dengan memanjat sebatang bambu berukuran 7 hingga 10 meter yang ditancapkan ke dalam tanah. Ketika bambu tersebut sudah tertancap sampai di bagiannya ujungnya, ia kemudian membawakan sebuah lagu dan tarian. Adegan ini menekankan bahwa manusia sejatinya akan memperoleh kedudukan yang sempurna lewat kerja keras dan ketekunan yang ia lakukan (Yuddan, 2017).

Penampilan berikutnya ialah songkar naen, bagian terakhir dalam kesenian Pojhian. Pada songkar naen, seluruh penari melantunkan doa yang mencerminkan bahwa manusia di akhir kehidupannya, akan diperhitungkan seluruh seluruh amalan yang ia lakukan di dunia. Dari beberapa babak yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa kesenian Pojhian mengandung banyak makna dan simbol kehidupan.

Kesenian Pojhian Menurut Keyakinan Masyarakat Prajekan

Kesenian Pojhian, oleh masyarakat Desa Prajekan Kidul dipercaya sebagai sarana yang ampuh untuk mengusir wabah atau pagebluk yang sedang melanda suatu desa. Hal ini pernah terjadi di Dusun Belengguen, Desa Karang Sengon, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso. Dusun tersebut mengalami pagebluk pada musim kemarau panjang, hingga persediaan dan sumber air yang terdapat di Dusun tersebut tidak mengalir dan kekeringan. Pagebluk ini berlangsung hingga kurun waktu 1 tahun (wawancara, Samsul 12 April 2019).

Akibat peristiwa tersebut, warga Dusun Belengguen mengundang kesenian Pojhian untuk mengusir pagebluk yang sedang dialami. Setelah kesenian ini digelar, sumber air di Dusun Belengguen yang semula mengalami kekeringan, perlahan mulai mengalirkan air kembali. Dari peristiwa ini, dapat diketahui bahwa kesenian Pojhian memiliki kekuatan supranatural yang dapat mengusir pagebluk. Hal itulah yang membuat kesenian Pojhian masih dilestarikan hingga kini, bahkan masih ditemukan di beberapa Desa, seperti Prajekan Kidul, Nangka’an, Karang Sengon, dan Sempol Belawan.

Penyunting: Nadya Gadzali